Masa Depan NLP

Hari ini saya mendapatkan sebuah pertanyaan yang penting: Apa visi ku tentang NLP generasi berikutnya? Seperti kita ketahui, NLP yang pertama kali diformulasikan oleh Richard Bandler dan John Grinder pada tahun 1970an telah memasuki genererasi ke-3. Apa artinya hal ini bagi para NLP practitioner dan bagi masyarakat umum yang belum mengenal NLP?

Seorang teman saya mengatakan: komunitas NLP sedang sakit… Wah, saya setuju sekali. Di satu sisi NLP merupakan properti intektual yang perlu dihargai oleh kita semua—kalau mau disebut orang yang tahu etika. Di lain pihat banyak orang berpendapat neuro linguistic programming sudah ada jauh sebelum Bandler dan Grinder menciptakannya dan akan terus ada. Neuro linguistic programming melekat pada manusia yang  memiliki neuro, linguistic dan programming sejak balita.
Kontraversi lain yang—mungkin—menyebabkan teman saya menyebutnya “sedang sakit” adalah di mana sebagian orang menganggap NLP sesuatu yang perlu untuk dipelajari secara mendalam dan dengan format yang benar, oleh karena itu wajar saja bila harus mengeluarkan uang ratusan juta untuk tersertifikasi, sebagian lain beranggapan itu hanya akal bulus sekelompok orang mencari fulus.
Saya termasuk orang yang menghabiskan uang beratus-ratus juta rupiah untuk belajar NLP di berbagai institusi dan saya perkirakan belum selesai belajarnya. Tapi saya juga setuju dengan pendapat bahwa institusi dan orang-orang memanfaatkan NLP—akal bulus—untuk mencari fulus.
       Lha kog bisa?
      Bisa saja, jika pembaca memahami tujuan saya mengikuti berbagai pelatihan.  Pertama-tama saya tidak mencari sertifikat, sebab sertifikat diberikan secara otomatis pada waktu saya menyelesaikan serangkaian pelatihan dan membuktikan diri saya layak mendapatkannya.  Sudah banyak pula orang bertanya kepada saya, apakah memang perlu membelanjakan uang, menempuh ribuan mil dan menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk mengikuti suatu pelatihan NLP, bukankah setelah tersertifikasi practitioner dapat belajar otodidak,  bahkan teman saya, yang berjualan bakso, belajar NLP secara otodidak dan BISA???
     Ah, tentu saja saya bisa meniru teman saya, belajar secara otodidak. Bahkan 25 tahun yang lalu saya belajar Akuntansi secara otodidak. Bukti keberhasilan saya adalah beberapa perusahaan besar di Jakarta mempekerjakan saya sebagai Akuntan Managemen padahal saya belajar sendiri dari buku-buku. Namun demikian, begitu ada kesempatan saya mengikuti kuliah S1 Akuntansi dan mendapat gelar Sarjana Akuntansi.  Orang yang menguasai Akuntansi dapat saja otodidak Keuangan, tapi saya tetap saja melanjutkan kuliah S2 Manajemen Keuangan. Mengapa? Sebab proses pembelajaran yang ditempuh di suatu lembaga pendidikan tidak akan didapatkan secara otodidak.
     Kembali ke NLP, mengapa mengikuti berbagai pelatihan itu penting bagi saya—pribadi? Sebab bukannya saya tidak bisa membaca buku-buku NLP yang begitu banyak dan mudah didapatkan, bukan pula saya tidak bisa mendapatkan sertifikat yang diberikan oleh lembaga-lembaga online atau yang dipres (compact) menjadi satu atau dua hari.  Sebab proses dan interaksi dengan NLPer lain dari segala penjuru dunia membantu pembentukan diri saya sebagai trainer yang pantas membimbing orang lain yang ingin mendapatkan manfaat dari NLP.
     Beberapa orang juga bertanya kepada saya mengapa saya tidak mendaftarkan lembaga pelatihan NLP saya di bawah lisensi Grinder atau Bandler? Mereka kan dewanya, mendapatkan tanda tangan salah-satu orang tersebut sungguh membanggakan, demikian kata mereka. Walaupun mereka percaya akan mendapatkan pelatihan yang top dari saya, tanda tangan “dewa” tersebut sungguh diharapkan. Saya memiliki prinsip saya sendiri, dan saya mengajarkan NLP bukan dengan memfoto kopi guru-guru saya, tapi saya menyusun materi pelatihan saya dengan warna latar belakang yang unik dan pengalaman serta pengetahuan tentang budaya Indonesia yang tidak dimiliki guru-guru saya, jadi itu sebabnya saya tidak mau bernaung di bawah lisensi manapun.
     Jika Anda termasuk orang yang tidak atau tidak mau bernaung di bawah lisensi siapa-siapa, jangan buru-buru memihak saya sebab Anda setuju lisensi merupakan cara penjajahan baru terhadap bangsa kita. Saya percaya lisensi itu penting, dengan syarat si pemberi lisensi benar-benar dapat mengawasi, konsisten, bertanggung jawab dan jujur. Nyatanya banyak sekali lisensi diberikan begitu saja asal yang mengajukan lisensi rela mengeluarkan uang yang cukup banyak.  Beberapa trainer termasuk salah-satu teman saya memberikan sekaligus 6 sertifikat dari pelisensi yang berbeda-beda kepada aluminya. Tentu saja, uang yang dibayarkan kepada pelisensi dibebankan kepada peserta, dan ini menurut saya tidak adil. Bukankah NLP itu hanya NLP, bukan ilmu dari Tuhan sendiri? Lalu apakah resikonya jika orang mempraktekkan NLP? Memangnya mengendarai mobil atau mengoperasikan mesin boiler, perlu lisensi segala macam?
   Tanpa lisensi, peserta pelatihan saya hanya perlu membayar biaya-biaya akomodasi, biaya cetak materi dan jasa saya, oleh sebab itu saya mampu membagikan pengetahuan dan keterampilan NLP jauh lebih terjangkau. Jauh lebih otentik dan sesuai kebutuhan.
     Pertanyaan berikutnya adalah apakah sebenarnya belajar NLP itu memerlukan uang atau tidak? Bila meninjau sejarah terformulasinya NLP yang dimulai dari saat Grinder dan Bandler melakukan modeling di University of California Santa Cruz, dilanjutkan dengan seminar yang mereka lakukan kepada dunia usaha di seluruh Amerika Serikat, tujuan mereka sangat jelas adalah fulus! Sementara di Amerika Serikat sendiri sudah jenuh setelah lebih dari 30 tahun, “originator” maupun pengembang selanjutnya seperti Robert Dilts, Michael Hall, Tad James dan sederetan nama lain mengalihkan perhatian ke Eropah dan Asia. Jelas mereka mengharapkan sumber penghasilan dari apa yang mereka usahakan. 
     Selanjutnya trainer seperti saya apakah tidak mengharapkan penghasilan? Sungguh naif bila ada yang berpikir ada trainer seperti itu di Indonesia dan di bagian Bumi lainnya. Bila trainer-trainer yang mencurahkan seluruh tenaga dan waktu mereka untuk melatih NLP tidak mengharapkan penghasilan dari peserta trainingnya, mereka mau makan apa?

      Namun, visi generasi NLP berikutnya tidaklah harus tertutup oleh ego kita dan harus berakhir sebagai produk yang kehilangan peminat atau menjadi terlalu mahal untuk didapatkan. NLP telah bertumbuh kembang selama tiga dekade, barangkali bisa disebut teruji. Tapi apa gunanya bila hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang punya fulus saja? Dan hari ini di tempat kelahiran NLP, saya memvisi bahwa suatu hari, dengan semakin banyaknya NLP practitioner, maka akan semakin banyak orang yang dapat merasakan dan tersentuh oleh NLP. Tidak bisa menunggu orang lain, tapi dari kita masing-masing—NLP practitioner—yang dapat melakan hal ini. Saat ini NLP masih merupakan praktek di ruang kelas pelatihan, di luar kelas banyak trainer dan praktisi belum sepenuhnya menjadi praktisi, jika demikian, maka kita belum bisa membaurkan NLP di tengah masyarakat. Dalam visi ini, saya melihat metafor air terjun yang menerima curahan hujan dari langit, air terjun tak pernah menahan air yang diterimanya, tapi mengalirkannya hingga jauh. Ketika terjun ke bawah itulah, suatu energi yang maha dahsyat terjadi. Air yang jatuh di bawah akan mengalir sejauh-jauhnya, membentuk sungai-sungai, menyuburkan tumbuh-tumbuhan di sepanjang alirannya, dan mencapai lautan luas, menguap menjadi awan dan turun kembali dalam bentuk hujan yang menjadi sumber dari sumber air terjun. Bila terhambat alirannya, air akan membentuk aliran-aliran baru dan dengan demikian jangkauannya bahkan semakin meluas.

Tempat Di mana NLP diciptakan,
University of California Santa Cruz.

Comments

  1. He..he.. baru tahu kenapa NLP mahal ... Tahun depan atau akhir tahun ini saya belajar dari Bu Erni ...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih untuk komentarnya. Saya tunggu Pak Ridwan. Dan saya ada kelas tanggal 7-13 Desember 2013.

      Salam berdaya

      Delete

Post a Comment