Catatan Perjalanan Ke Kuching Malaysia I

Bagian pertama

Tulisan ini bukan tulisan wisata melainkan pengalaman melakukan perjalanan lintas perbatasan RI-Malaysia. Saya bagi menjadi tiga bagian: Menuju Tapal Batas, City of Kuching dan Hujan Batu Di Negeri Sendiri. Selamat membaca. O ya, komentar Anda akan sangat berharga bagi saya, jadi jangan pelit-pelit. Hitung-hitung latihan menulis juga kan?! Terima kasih sebelumnya. 

Menuju Tapal Batas

Bis Pontianak-Kuching saat beristirahat di rumah makan Roda Minang, Sosok, Kalbar.
Beberapa waktu yang lalu (11-12 Oktober 2012), Poedjiati dan aku melakukan perjalanan ke Kuching, Sarawak, Malaysia. Tujuan sebenarnya bukan untuk melancong atau menikmati liburan. Sebab perjalanan delapan jam dengan bis dari Pontianak tidaklah membawa nikmat sama-sekali dan Kuching tidak menyediakan apa-apa yang menarik untuk seorang pelancong. Kuching hanya sebuah kota kecil yang panas dan ‘ngebosani’.
Ikuti workshop High Impact Training Skills dengan Advanced NLP. Baca selengkapnya di: http://ernijuliakok.blogspot.com/p/bersama-ini-kami-kirimkan-program.html
            Kami berdua berangkat dengan bis Sri Merah, kelas super executive, yang menurut orang yang menerima pemesanan tiket kami, kelas ini menyediakan kursi empuk yang dapat direbahkan, sandaran kaki,  bantal, selimut, hiburan audio-visual dan lavatory. Pokoknya seperti kelas bisnis pesawat terbang pada umumnya. Tiket untuk satu orang adalah Rp 230.000.
Pada saat keberangkatan ternyata penumpangnya hanya kami berdua dan semua fasilitas yang disebutkan diberikan kecuali hiburan audio-visual yang sangat payah. Beberapa menit pertama supir menayangkan lagu-lagu karaoke lagu-lagu melayu, namun setelah melewati Sei. Ambawang dan jalan mulai berkelok-kelok serta bergelombang, audio-visual—untung—mati. Selain itu kami sangat kecewa sebab kamar kecil tidak dapat digunakan. Hal ini tentunya disebabkan pegawai yang bertanggung jawab malas membersihkannya. Poedjiati yang ‘kebelet’ terpaksa menggunakannya walaupun tidak ada penerangan dan setelah pintunya dibuka bau pesing yang diredam secara paksa dengan karbol menyeruak keluar dan hal ini ditanggapi omelan supir. “Aduh! Napa pintu wece dibuka? Baunya tak tahan nih!”
Aneh sekali sebenarnya supir bis ini mengomel. Bukankah seharusnya ia memastikan kamar kecil berfungsi dengan baik dan bersih? Tetapi kami kami hanya berdua, secara jumlah kami tidak cukup berdaya. Jadi sepanjang perjalanan kami menahan kencing dan tidak minum hingga memasuki Sosok. Untunglah kami dapat tertidur walaupun supir melarikan bis menerjang jalan Malindo bergelombang dan berkelok-kelok seperti kesetanan.
Lega rasanya tiba di pemberhentian Sosok. Walaupun kamar kecilnya sangat kotor dan kumuh, kami dapat membuang air kecil sebelum kantong kemih pecah. Melihat kondisi rumah makan Minang di mana semua bis antar negara beristirahat dan rasa kantuk yang berat pada pukul satu dini hari kami tidak bernafsu makan. Namun supir dan kenek bis yang kami tumpangi tampaknya belum hendak mengakhiri istirahatnya walaupun semua bis telah berangkat. Menunggu di luar udara terbuka di tengah malam sungguh tidak nyaman apalagi kami tidak memakai baju penghangat tubuh.
Ketika akhirnya bis berangkat kami berdua berusaha mengisi waktu dengan tidur. Dalam perjalanan menembus kegelapan malam setelah Sosok dan sebelum mencapai Entikong, agaknya bis harus melewati beberapa—paling tidak tiga—pos pemeriksaan di mana di setiap pos terdengar supir berteriak: “Penumpang cume due. Mau ke rumah sakit!” Otakku yang berkabut tidak dapat memahami tujuan pos-pos pemeriksaan tersebut dan jika pemeriksaan semacam ini memang penting mengapa petugas di pos-pos tersebut cepat puas dengan kata-kata sang supir bahwa penumpangnya yang hanya dua orang itu akan pergi berobat ke negeri jiran? Bukankah apa yang dikatakannya itu suatu kebohongan? Keesokannya aku menanyakan hal ini dan dijawab sang supir bahwa polisi di pos-pos itu kalau 'dibilangi' penumpang orang sakit dan mau berobat tidak rewel. Wah...?! Speak less lah awak!
Kami tiba di pos pemeriksaan lintas perbatasan kurang lebih 15 menit sebelum pukul 5 pagi. Aku merasa agak senang juga sebab supir kami berlama-lama di Sosok sehingga kami tidak perlu menunggu terlalu lama sekarang. Seluruh penumpang—kecuali dengan ijin khusus—harus turun dari bis dan mengantri di depan loket pemeriksaan. Sementara bis-bis melintasi perbatasan secara terpisah. Hanya dua loket dari 4 loket yang buka pagi itu sehingga antrian sekitar 120 orang menjadi lambat. Rasanya agak aneh sebab kami belum sepenuhnya “tersadar” dari tidur. Rekan Poedji sempat berkomentar: “Seperti antri  di masa perang.”
Akhirnya tiba giliranku berdiri di depan loket dan petugas di belakang loket itu meneliti pasporku dengan state yang cukup santai. Ia menanyai tujuanku. Aku menjawab Kuching. Dan ia bertanya lagi untuk apa aku ke Kuching. Tidak seperti supir bis, aku tidak berbohong, aku mengatakan ingin jalan-jalan saja. Lalu ia bertanya apa pekerjaanku? Nah, yang menarik adalah beberapa tahun ini aku kurang siap menjawab pertanyaan ini. Apa sebenarnya pekerjaanku? Jadi aku menjawab apa yang terlintas saat itu—penulis! Dan ternyata sempat mengesankan petugas imigrasi itu. 
Setelah mendapatkan cap ‘berangkat’ pada lembar buku paspor, kami berjalan ke pos pemeriksaan negara bagian Sarawak, yaitu Tebedu. Di sini antrian juga bergerak lambat apalagi untuk orang-orang Indonesia yang menyeberang ke Malaysia dengan maksud bekerja atau tinggal untuk waktu yang lama harus menjalani rangkaian prosedur panjang, tetapi terhadap pelancong seperti kami, petugas mencap paspor tanpa mengajukan satu pertanyaan pun. 

Comments