Catatan Perjalanan Ke Kuching Malaysia II

Bagian Kedua
Tulisan ini bukan tulisan wisata melainkan pengalaman melakukan perjalanan lintas perbatasan RI-Malaysia. Saya bagi menjadi tiga bagian: Menuju Tapal Batas, City of Kuching dan Hujan Batu Di Negeri Sendiri. Selamat membaca. O ya, komentar Anda akan sangat berharga bagi saya, jadi jangan pelit-pelit. Hitung-hitung latihan menulis juga kan?! Terima kasih sebelumnya. 

City of Kuching

Astana atau Istana (tampak dari Waterfront) adalah kediaman resmi Yang Dipertua-Negeri Sarawak. Dibangun pada 1870 oleh White Rajah Charles Brooke sebagai hadiah pernikahan kepada istrinya Margaret Alice Lili de Wint. 

Setelah mendapatkan ijin masuk ke negeri jiran Malaysia, segera kami merasakan perbedaan dengan negeri sendiri tercinta Republik Indonesia. Pengalaman pertama menggunakan kamar kecil umum yang disebut tandas itu harus diakui di sisi Tebedu jauh lebih bersih dibandingkan di sisi Entikong. Perbedaan apa lagi yang membuat perbedaan kalau bukan sikap manusianya?! Barangkali orang Indonesia memandang wc umum adalah tempat jorok untuk membuang kotoran. Jadi buat apa harus bersih-bersih? Sedangkan orang Malaysia memiliki pandangan bahwa tandas adalah tempat di mana manusia menggunakannya—tak peduli apapun tujuannya—harus manusiawi. Setidaknya tersedia air bersih yang cukup, bebas dari bau sehingga orang tidak harus menutup hidung selama berada di dalamnya.
            Perbedaan sikap ini juga dengan mudah diidentifikasi pada berbagai aspek kehidupan berbeda. Misalnya rumah ‘hanya’ sebagai tempat berteduh atau rumah sebagai tempat menjalani hidup yang bermakna. Makanan sekedar untuk membuat kenyang atau makanan sebagai seni yang tidak hanya mengenyangkan dan menyehatkan melainkan juga untuk dinikmat oleh mata, hidung dan mulut. Perbedaan sikap ini akhirnya bermuara pada perilaku melakukan berbagai pekerjaan. Memeriksa setiap bis harus dilakukan tanpa pandang buluh berapa penumpang di atasnya dan apa yang dilaporkan supirnya harus dapat dibuktikan kebenarannya jika informasi tersebut memang penting. Jika tidak penting, lalu buat apa melakukannya?
            Bis kami melanjutkan perjalanan menempuh jarak Tebedu menuju kota Kuching yang memakan waktu sekitar dua jam. Hal pertama yang kuinginkan sesampainya di terminal bis Kuching yang berada satu kompleks dengan pertokoan adalah secangkir kopi susu hangat. Tanpa seringgit pun dalam dompet bukanlah masalah, kami menarik 300 ringgit Malaysia dari ATM dan segera mendatangi satu-satunya kopitiam (warung kopi) yang buka.
            Sebelumnya kami sudah mendapatkan informasi dari beberapa teman tentang cara dan ongkos taksi di Kuching. Seorang teman menganjurkan supaya aku meminta supir taksi mengantarku keliling kota dan ongkosnya 30 ringgit. Pagi itu kami berdua cukup beruntung mendapatkan seorang supir taksi yang baik, Tuan Lie namanya, ia seorang pria Tionghoa berumur antara 55-60 tahun. Ia menerangkan setiap tempat yang menarik sepanjang perjalanan dari terminal menuju hotel yang belum dipesan. Aku sangat bergembira ketika melewati stasiun radio Sarawak ia menunjukkannya dan pada saat yang sama radio dalam taksi juga sedang tune-in di stasiun radio tersebut. Alasanku bergembira? Beberapa dekade yang lalu, di kala berbicara Mandarin merupakan dosa dan tidak ada satu pun radio dalam negeri yang menyiarkan program bahasa Mandarin, aku sering mendengarkan radio tersebut melalui gelombang pendek atau short wave (SW).
            Supir taksi Lie membawa kami ke sebuah hotel di bagian waterfront dan kota lama. Bangunan-bangunan di sini terpelihara dengan baik. Hotel kami Furama Lodging House yang disarankan supir taksi Lie termasuk satu dari sekian banyak bangunan lama itu. Menurut supir taksi Lie ada banyak hotel atau penginapan yang dikenal dengan bed and breakfast di sekitar daerah itu, tanpa ragu ia menyarankan Furama Lodging House. Ternyata setelah proses check-in yang berlangsung sekitar 15 menit, Supir Lie masih menunggu di luar. Ia memastikan kami telah mendapatkan kamar dan tidak perlu diantar ke hotel lain. Sebuah pelayanan yang pantas dipuji.
            Rencananya kami ingin menginap dua malam, namun setelah keliling-keliling dan mencobai beberapa macam makanan yang dikatakan khas Kuching, kami memutuskan untuk meninggalkan kota ini dengan bis siang. Selain tidak ada atraksi yang menarik—bandingkan beberapa tempat terkenal di Indonesia Kuching hanya sebuah kota yang ‘ngebosani’! Mataharinya panas terik dengan kelembaban tinggi, terasa gerah—sangat-sangat tidak nyaman. Karena sangat panas itu pula, kami naik taksi ke mal terbesar di Kuching, The Spring dengan maksud cari adem. Kami menuju food court dan memesan minuman sebab kami sudah makan sebelumnya. Pendingin ruangan segera membuat kami mengantuk berat. Jadi akhirnya kami kembali ke hotel untuk bobok! Kami berembuk, daripada membelanjakan uang di negeri orang lebih baik kami belanjakan di negeri sendiri. Keputusan bulat, pulang ke Kalbar keesokan siangnya.
Malamnya kami bermaksud berjalan-jalan di sepanjang waterfront, namun bukan copet—baik supir taksi maupun resepsion hotel telah memperingati kami supaya berhati-hati dengan tas kami—yang membuat kami membatalkan rencana melainkan hujan deras. Untunglah hujan segera berhenti sehingga kami masih sempat mengambil beberapa gambar. Kami sempat pula membeli souvenir di pusat kota, tidak jauh dari hotel. Pada saat kami duduk-duduk menikmati kopi instan dicampur susu kental manis, aku mengamati empat laki-laki yang gerak-geriknya seperti copet yang digambarkan supir taksi kami. 

Tempat penjualan tiket bis dan ruang tunggu yang nyaman di Kuching Central Terminal. Selain itu di lantai atas pengunjung dapat membeli berbagai makanan dan minuman serta menukar uang di penukaran uang berhad alias resmi.
Ada juga sih orang yang aku curigai sebagai calo, tapi terbukti kemudian bukan seperti calo-calo kita,  mereka tidak menjual tiket melainkan mengarahkan saja. 
Dari atas bis secara kebetulan aku melihat Supir Lie dan rekan-rekannya sedang beristirahat. Di musim sepi supir-supir ini memunyai banyak waktu untuk berdebat kusir—debat supir—mungkin sebutan yang lebih tepat untuk encek-encek ini. 
Sudut kota lain dilihat dari arah Waterfront. Pusat bisnis, perbankan dan beberapa musium, salah satunya musium Batik. 
Pasar tradisionil yang menjual berbagai kebutuhan rumah tangga. Pedagangnya ada Melayu, Tionghoa maupun India. Namun mayoritas pedagang dan pembeli sepertinya adalah kaum Muslim hal ini terlihat dari adanya mesjib dan penjual kurma. 
Menikmati kopi susu hangat. Kopi instan dicampur dengan dengan susu kental manus. 
Ngeceng di depan kapal cruise yang sedang sandar karena tidak ada turis yang naik. 

Comments