Sepanjang Jalan Kenangan

Dengan mobil sewaan aku bersama seorang teman meluncur dari Kota Pontianak, menuju kota kecamatan Sungai Pinyuh. Kami berangkat pk. 10.15 WIB dan tiba pk. 11.30 WIB. 

Begitu meninggalkan Siantan dan memasuki Sungai Gedong, kami melihat hamparan padi yang hampir siap untuk dipanen di pesawahan . Walaupun tidak diatur seperti halnya pesawahan di Pulau Jawa dan Bali, kesuburan tanah 
memungkinkan padi bernas penuh. 
Akhirnya kami tiba di Sungai Pinyuh. Wajah kota yang malas berias dan lamban bergeliat untuk mengikuti perubahan jaman. Kendaraan beroda empat memang bertambah banyak, demikian pula sepeda motor sementara becak sangat berkurang jumlahnya. 
Sepeda ontel masih menjadi pilihan sementara orang. 
Kendaraan-kendaraan dari kota-kota Singkawang, Pemangkat, Sambas yang akan pergi ke Kota Pontianak bahkan yang akan melanjutkan perjalanan udara melalui 
Bandara Supadio melewati Sungai Pinyuh, demikian pula halnya 
kota-kota Anjungan, Ngabang dan sebagainya, maka 
Sungai Pinyuh menjadi salah-satu tempat yang 
penting di Kalimantan Barat. Rumah-rumah 
makan, toko-toko oleh-oleh 
mudah ditemukan di sini. 

Namun sejak dibukanya jalan baru Indonesia Malaysia yang melewati Sungai Ambawang tentunya mengurangi peranan Sungai Pinyuh bahkan meninggalkan daerah 
sepanjang jalan Sungai Pinyuh- Anjungan dalam keadaan mati suri. 
Buktinya dengan mudah dilihat pada photo ini, jalan yang sama yang pernah aku jejaki hampir setengah abab yang lalu, gubuk-gubuk di pinggirnya hampir seperti yang 
ada diingatanku. Semakin mendekati desa Galang, aku semakin menyadari 
perubahan; jika pun ada adalah menghilangnya pepohonan tapi tidak ada 
penambahan pembangunan baru sama-sekali. 
Seolah-olah tempat ini tidak pernah berubah sejak terakhir kali aku melihatnya.  Hal ini membuatku benar-benar tidak ingin memperlihatkan warna perasaanku sebagai orang yang dilahirkan di tempat ini 50 tahun yang lampau. 
Seperti rumpun 'daun mangkok' ini akan bercerita padamu, betapa seorang gadis kecil suatu waktu memetik daun-daun yang telah cukup tua, mengumpulkannya dalam 
ikatan-ikatan yang cukup berat bagi otot-otot tangan yang belum tumbuh 
sehingga ia harus meminta bantuan pada orang dewasa lain mengangkat 
daun-daun itu ke pasar untuk dijual kepada penjual ikan hingga penjual 
makanan: "Di sini perubahan tidak menjamah ramah, 
selain perusakan selama berwindu-windu." 
Bentuk daun-daunnya dilihat dari dekat ya tidak berubah. Dan aku sempat terharu ketika beberapa bulan yang lalu menemukan sebuah rumah makan yang masih menggunakan daun ini untuk membungkus masakan. Seandainya perubahan tidak menyentuhku, barangkali aku sedang mengajari cucuku memetiknya, mengikatnya dan 
membawanya ke pasar untuk ditukarkan sekedar recehan. 
Ah...bukan salah takdir...jika terjadi demikian, bukan? 
Segalanya terjadi secara random. 
Ah, bukan salah takdir! Aku bersyukur pada Tuhan, aku terpilih secara 
random untuk meningkatkan tarap kehidupan.  
Jika kau sempat bertanya kepada anak-anak ini, mengapa mereka menantang maut dengan memanjati sebuah mobil angkutan seperti ini, kau mungkin akan 
mendengar jawaban kalau mereka ingin mengubah nasib dengan 
bersekolah, dan karena tidak tersedia sarana, 
mereka terpaksa menantang maut. 
Namun jika terjatuh, mungkin memang salah takdir? Ah, 40 sekian tahun silam, aku tidak akan seberani mereka, aku mengandalkan sepasang kakiku untuk menempuh 
7 km setiap hari demi mencerdaskan diri. 
Pendidikan memang penting. Aku bersyukur, telah menyadari hal ini sejak dini. Jaman sekarang informasi menjadi kebutuhan dasar manusia dan tersedia luas untuk diakses. Jika seseorang tidak dapat ikut memanfaatkan kemajuan jaman, maka sekali lagi,
bukan karena takdir. Petani-petani nenas sepanjang jalan Sungai Pinyuh menuju Anjungan rupanya sedang panen raya. Kami melihat paling tidak terdapat
20 lapak sederhana seperti gambar di atas. Nenas di desa ini terkenal manis,
namun mungkin karena ketidakmampuan memasarkannya langsung kepada
konsumen, para petani menunggu pengepul (boleh ke disebut tenggulak?)
yang akan membeli dari mereka dengan harga rendah dan menjualnya
dengan mendapatkan keuntungan setelah dipotong ongkos angkut
ke Kota Pontianak.
Tidak dapat menikmati kemajuan jaman berarti pula tidak
dapat menikmati hasil jerih payah. 
Kemiskinan barangkali bukan monopoli desa-desa di Sungai Pinyuh saja, Oktober tahun lalu, aku sempat berada di desa lain yang sebagian besar penduduknya berprofesi
sebagai penangkap ikan. Bagi yang memiliki modal, mereka punya kapal motor
yang dapat berlayar hingga ke laut, namun lelaki ini hanya bisa mengandalkan
sampan kecil, alat pancing sederhana. Hujan yang lumayan deras tidak boleh membuatnya menyerah, sambil berteduh di bawah caping ia terus
melepaskan benang-benang dengan kail dan umpan ke dalam
sungai. Sebagian orang kota akan salah-sangka ia sedang
menikmati sebuah hobi, tapi aku tahu
ia sedang mencari nafkah.
Hobi tentu saja tidak ada dalam daftar gaya hidup orang desa yang terlindas perubahan. 
Alangkah misteriusnya kehidupan ini. Renungku waktu itu. Setiap manusia yang hadir di dunia ini hanyalah setetes air yang akan jatuh kembali ke danau, sungai dan lautan. Menghilang. Sementara tetes-tetes lain terus mengalir turun dari atas atap,
dedaunan dan caping si pemancing ikan.
Tidak ada yang abadi, bagaikan titik-titik hujan jatuh di atas permukaan sungai waktu itu.
Semuanya pasti berlalu. 

Comments