Konvensional Coaching Versus High Impact Coaching

Dalam Usaha Mencapai Impak Coaching Yang Permanen

Idealnya Coaching adalah untuk menciptakan perubahan dan pertumbuhan berkelanjutan. Namun sayangnya pendekatan konvensional seringkali hanya berhasil menciptakan perubahan sementara seperti tiga dari banyak contoh kasus  yang saya temui dalam praktek. 
      Kasus pertama: Prestasi Santi justru melorot ketika dipromosikan sebagai kepala cabang di tempat baru. Padahal, mulanya Santi adalah seorang account manager yang memiliki prestasi mengesankan di kantor pusat. Selama enam bulan Santi dan timnya tidak berhasil menutup satu penjualan pun. Dalam wawancara kemudian diketahui bahwa kemunduran prestasi yang dialaminya disebabkan ia tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang budaya masyarakat setempat sehingga sulit berkomunikasi dengan timnya. Setelah di-coaching oleh atasan langsungnya, Santi berubah menjadi lebih percaya diri dan dapat mengambil inisiatif untuk melakukan pendekatan dengan timnya. Perubahan telah terjadi dan coaching dianggap efektif. Namun perubahan yang dialami Santi tidak bertahan lama. Ia mampu mencapai target hingga akhir tahun pertama penempatannya di wilayah penjualan tersebut. Tetapi rutinitas membuat Santi merasa jenuh dan bosan. Santi mulai menderita kangen rumah dan kehidupan lamanya. 
Kasus kedua: Perusahaan bermaksud mempromosikan Budi seorang operator bagian dryer menjadi supervisor mengingat dirinya sudah berpengalaman di bagian tersebut dan konduitenya yang sangat memuaskan. Namun supaya mampu memimpin tim, atasan langsungnya berpendapat Budi perlu diberikan pelatihan kepemimpinan dan keterampilan administrasi ringan. Kedua hal tersebut merupakan skill deficiencies yang perlu diatasi sebelum Budi dapat menerima promosi. Hermawan, manajer produksi (atasan langsung Budi) memutuskan mengikutsertakan Budi dalam sebuah seminar kepemimpinan berdurasi dua hari dan mendelegasikan supervisor lain untuk menjelaskan kepadanya cara-cara membuat laporan. Setelah melakukan kedua hal itu Hermawan mengusulkan kepada manajer personalia untuk segera membuat surat pengangkatan Budi sebagai supervisor dryer. Beberapa bulan kemudian produktivitas bagian dryer menurun drastik. Operator-operator yang tadinya menjadi rekan kerja Budi tidak menghargainya sebagai pemimpin. Selain itu Budi sering lalai membuat laporan produksi. 
Kasus ketiga: Desi, manager keuangan suatu perusahaan mengeluhkan performance gap dari beberapa staf bawahannya. Salah-satu stafnya, Prambudi sudah bekerja di perusahaan tersebut lebih lama dibandingkan Desi, namun sering sekali melakukan kesalahan-kesalahan menuliskan angka karena tidak mau menggunakan separasi tiga digit. Setiap kali Prambudi menulis atau mengetik angka-angka, Desi harus membetulkannya. Sudah bosan rasanya Desi menjelaskan bagaimana menulis angka seratus ribu atau satu juta dengan separator, tetapi Prambudi tidak pernah mengubah cara menulisnya. Desi merasa sangat heran dengan perilaku bawahannya itu. Masa hal sesepele itu saja Prambudi sulit untuk menuruti nasihatnya?  
Ilustrasi di atas bukan fiktif melainkan kenyataan yang sering saya jumpai ketika men-coaching perusahaan-perusahaan klien. Ilustrasi di atas juga menunjukkan bahwa sebenarnya manajer sudah melakukan coaching secara konvensional. Dan coaching yang dilakukan telah mampu menciptakan perubahan namun hanya bersifat sementara sebab pendekatan konvensional hanya menyentuh level perilaku (behavior). 
Saya menggunakan istilah pendekatan konvensional tanpa bermaksud menilai  metode yang banyak digunakan selama ini tidak cukup baik. Namun untuk mendapatkan perubahan yang membawa pertumbuhan berkelanjutan kita perlu menggunakan pendekatan high impact seperti yang akan saya bagikan kepada Anda dalam buku ini. Pendekatan high impact dapat  mengatasi suatu isu performance pada seluruh sistem Neurological. Jadi, apa itu neurological levels?




Neurological levels adalah rangkaian sistem berpikir yang terdiri dari level-level yang saling memengaruhi satu terhadap lainnya. Level-level tersebut terdiri dari (lihat gambar di atas): 
Tujuan—sebagai bagian dari sistem yang lebih besar, individu atau organisasi memiliki tujuan (visi) yang ingin dicapai dan tercapainya akan memengaruhi sistem itu sendiri. Dengan demikian pertanyaannya adalah ‘untuk apa lagi’ atau ‘untuk siapa lagi’ yang akan ikut terpengaruh dalam setiap perubahan. 
Identitas—jati diri atau cara pandang individu, kelompok atau organisasi dan menjawab pertanyaan “siapa”.
Nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan—hal-hal yang dianggap penting dan membentuk sistem keyakinan yang berhubungan dengan motivasi “mengapa” melakukan hal yang satu atau menjadi alasan “mengapa” tidak melakukan yang lainnya.  
Kapabilitas—keterampilan atau kecakapan dan pengetahuan yang menjadi kekuatan individu ataupun organisasi sehubungan dengan “bagaimana” menyelesaikan problem-problem yang dihadapi. 
Perilaku (behavior)—merupakan ekspresi dari level-level di atasnya dan dapat diamati melalui “apa” yang dilakukan. 
Lingkungan—merupakan “di mana” ruang/tempat dan “kapan” waktu individu atau kelompok mengekspresikan diri. 
Perubahan yang terjadi pada level-level yang disebutkan terlebih dahulu akan memengaruhi level-level yang disebutkan belakangan walaupun tidak mutlak selalu demikian.  Situasi yang dihadapi Desi adalah perilaku Prambudi dan ia berusaha mengubahnya, tetapi selain tidak berhasil relasi mereka malah semakin tidak nyaman. Desi tidak menyadari bahwa bagi Prambudi menulis tanpa separator itu adalah hal biasa dan Prambudi juga percaya jika terjadi kesalahan itu manusiawi, tidak ada hubungannya menggunakan tanda pemisah tiga dijit atau tidak (nilai dan keyakinan). Cara dia menulis sudah merupakan ekspresi jati dirinya dan oleh karena itu dia tidak ingin mengubahnya hanya untuk menyenangkan atasannya yang jauh lebih muda itu (identitas). 
Sebaliknya level yang paling bawah yaitu lingkungan juga dapat memengaruhi level-level di atasnya. Prestasi Santi sebagai account manager di kota asalnya sangat signifikan. Ia dapat menjual melampaui target yang diberikan perusahaan tanpa kesulitan. Hal ini dapat dikatakan bahwa Santi dapat berperilaku efektif dan memaksimalkan kapabilitasnya di lingkungan tersebut. Begitu Santi dipromosikan dan ditempatkan di wilayah berbeda ia seperti kehilangan kemampuannya. Bagaimana dengan level-level lainnya seperti nilai-nilai dan keyakinan-keyakinannya, identitas dan tujuan? Santi mengalami konflik karena level-level tersebut tidak mudah mengalami perubahan atau penyesuaian dengan lingkung baru. 
Kembali kepada situasi yang dihadapi Desi, setelah diselidiki ternyata kesalahan-kesalahan yang dilakukan Prambudi semakin memburuk sejak Desi menjadi atasannya. Sebelumnya Prambudi adalah asisten manajer dari Donna yang mengundurkan diri dari posisi tersebut. Diam-diam Prambudi berharap akan mendapatkan kesempatan promosi menjadi manajer keuangan menggantikan Donna. Semua orang pun mengatakan kepada Prambudi bahwa dia memang layak. Namun hadirnya Desi memupuskan harapannya. Prambudi mulai sering melakukan kesalahan-kesalahan ketika menulis cek, menyiapkan pembayaran, menulis rekening bank. Semuanya hanya kesalahan-kesalahan sepele, kadang kurang satu kadang lebih satu atau dua dijit/angka. Ketika Desi mendapati kesalahan-kesalahan yang dilakukannya, Prambudi merasa yakin Desi sengaja mencari-cari kesalahannya. Prambudi beralasan Donna tidak pernah menegurnya seperti itu.  Maksud Desi men-coaching Prambudl pada level perilaku dan kapabilitas justru memperburuk releasi di antara keduanya. Ilustrasi ini menunjukkan bahwa sukses coaching adalah keberhasilan mencapai perubahan yang membawa pertumbuhan berkelanjutan. 


Organisasi sebagai sebuah sistem juga dapat dipandang dan diperlakukan menurut Neurological levels-nya. PT. Roma (nama dan lokasi telah disamarkan) adalah sebuah perusahaan yang telah beroperasi selama 37 tahun. Sejak awal berdirinya anak perusahaan dari sebuah grup konglomerasi ini tidak dirancang untuk mencapai profit dan bahkan disubsidi oleh perusahaan induk. Produk yang dihasilkan pun seluruhnya dipasok ke perusahaan induk. Namun dinamika perubahan yang sedang berlangsung memaksa dewan direksi untuk mengambil tindakan menghentikan subsidi dan sehingga unit perusahaan ini harus mampu mandiri. Maka sebelum melakukan perubahan struktural ini sebuah tim audit dikirimkan dari kantor pusat. 
Audit internal tim manajemen menemukan isu-isu performance gap, budaya kerja yang sangat tidak positif, suasana kerja tidak kondusif dan sering terjadi pemogokan yang mengganggu kelancaran operasional. Sementara itu General Manager yang telah memimpin PT Roma selama hampir 20 tahun ini merasa terganggu “ketenangannya” dan mengajukan pensiun dini. Penggantinya langsung dihadapkan dengan demo para buruh, keadaan semakin kacau-balau, oleh sebab itu kami diminta untuk memberikan konsultasi dan coaching kepada para manajer dan supervisor. 
Setelah mempelajari hasil audit dan melakukan interview, maka kami mempresentasikan permasalah-permasalah yang dihadapi PT Roma menurut neurological levels yang berbeda seperti berikut ini. 
Lingkungan: Isu-isu performance gap yang sedang dihadapi PT Roma dua tahun terakhir ini semakin memburuk. Tingkat produksi cacat meningkat 10 persen, keluhan pelanggan meningkat 20 persen di bandingkan tahun-tahun sebelumnya dan bilamana seorang manajer atau pengambil keputusan memerlukan data laporan yang tersedia tidak dapat memberikan informasi yang dibutuhkan. Ilustrasi di atas menjelaskan kondisi lingkungan, berhubungan dengan di mana dan kapan (perusahaan PT Roma; dua tahun terakhir ini). 
Bila ditinjau dari point of view para pekerja, lingkungan sangat tidak kondusif. Area produksi sangat panas dan suara mesin sangat berisik. Area kantor dipenuhi dengan arsip-arsip yang dibiarkan berantakan. Perabotan banyak yang rusak, pendingin udara tidak berfungsi dan peralatan yang ada sudah ketinggalan jaman atau tidak berfungsi maksimal. 
Perilaku—Perilaku yang dapat dipantau terdiri dari perilaku organisasi perusahaan dan perilau staf dan karyawan. Perusahaan memproduksi pembungkus berbahan plastik sebanyak kapasitas yang tersedia, beroperasi tiga shift selama 24 jam dan hanya menghentikan produksi bila sudah mencapai satu lot. Staf dan karyawan mengulang-ulang melakukan hal-hal yang sama dengan cara yang mereka ketahui sejak awal sehingga menjadi kerutinan yang membosankan. Para karyawan bagian produksi sering melakukan mogok kerja dan menentang supervisor dan team leader yang dianggap sebagai kaki tangan pemegang saham.
Kapabilitas—Hampir 70 persen staf dan karyawan tidak tahu bagaimana mengatasi berbagai problem baru yang timbul akibat tuntutan pemegang saham supaya PT Roma dapat menjadi perusahaan yang mandiri. Sebagai organisasi, PT Roma tidak memiliki kemampuan untuk menyediakan produk yang berkualitas dan tidak kompeten meningkatkan kapasitas produksi. 
Nilai-nilai dan Keyakinan—Mulai level team leader hingga manajer memiliki citra diri atau sense of self  sebagai pribadi yang tidak dapat dipromosikan sehingga mereka pun tidak ingin membantu bawahannya meningkatkan potensi diri sebab takut menciptakan pesaing-pesaing yang dapat mengancam kedudukan mereka sendiri. Staf administrasi dan produksi saling mencurigai dan masing-masing merasa yakin lebih penting. 
Identitas—Sebagai organisasi yang tadinya merupakan bagian dari induk perusahaan dan dikhususkan untuk memproduksi pembungkus berbahan plastik, citra diri PT Roma tidak pernah menjadi isu penting. Organisasi ini seolah-olah hanya eksis dan mendapat perhatian dari pemegang saham atau manajemen kantor pusat pada saat bermasalah saja. Staf dan karyawan pun memandang pekerjaan mereka di perusahaan kecil dan tidak penting sebagai insignifikan. Mereka yang menginginkan jenjang karir yang pasti sudah lama pindah ke perusahaan lain sedangkan yang bertahan bukanlah disebabkan kesetiaan, melainkan tidak percaya diri dapat bekerja di tempat lain. 
Tujuan—PT Roma tidak pernah memiliki visi yang jelas selain memproduksi untuk memenuhi permintaan induk perusahaan. Manajemen tidak pernah membicarakan tentang tujuan perusahaan selama 37 tahun dan dengan sendirinya para staf dan karyawan pun tidak peduli.  
Ketika men-coaching tim manajemen yang baru terbentuk, saya meminta mereka berkonsentrasi membenahi level-level tujuan, identitas, nilai-nilai dan keyakinan sebelum memulai pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan staf dan karyawan. Sedangkan untuk level perilaku saya meyakinkan bahwa perubahan ke arah yang positif akan terjadi sejalan dengan teraliansinya level-level lain dan pembenahan lingkungan kerja baik kantor maupun pabrik. 
Saya percaya jika tim manajemen memilih pendekatan konvensional, usaha mereka mengubah perilaku dan meningkatkan kapabilitas akan menemui banyak hambatan dan sulit terealisasi. Sementara menulis bagian ini, PT Roma sudah berhasil di-reengineering dan menjadi sebuah perusahaan yang profitable, people oriented serta planet friendly. Sekilas kita tidak akan mendapatkan kesan sama sekali kalau dulunya adalah sebuah unit yang bermasalah. 
Sampai di sini saya berharap Anda telah sependapat dengan saya bahwa pendekatan konvensional memang sangat bagus karena berfondasikan sistem yang teruji, namun jika Anda ingin mendapatkat hasil high impact, Anda perlu selalu mengingat bahwa manusia sebagai satuan sistem beroperasi dengan level-level neurological yang berbeda dan saling memengaruhi.  Saya menulis buku ini menggunakan frame work coaching yang umum dan konvensional namun dilengkapi dengan high impact techniques dari Neuro Linguistic Programming (NLP). Ketika Anda bekerja berdasarkan frame work dan berusaha mengubah perilaku, ingat bahwa Anda harus terlebih dahulu mengubah level-level yang lebih dalam dari struktur neurological. Dan untuk itu saya telah menyiapkan berbagai contoh dan pedoman menggunakan teknik-teknik perubahan. 

Comments