Melabuh Di Surabaya

Sebelum "pindah" ke Surabaya, saya telah beberapa kali mengunjungi kota yang terkenal disebut kota Pahlawan ini. Lebih sering mendarat dengan menumpang pesawat terbang dan satu atau dua kali tiba dengan menumpang kereta api.
Bila kita tiba dengan pesawat terbang, sebenarnya kita mendarat di Kabupaten Sidoarjo, seperti halnya kota-kota besar lain, Kota Surabaya tidak memiliki bandar udara. Fakta ini akhirnya turut memberikan makna menarik  pada cara tiba di Surabaya melalui laut yang saya lakukan beberapa waktu lalu. Walaupun tidak menggunakan kapal besar melainkan hanya dengan menumpang feri dari Pulau Madura, saya berkesempatan mendapatkan kesan berbeda tentang kota yang terkenal terik ini. Berikut ini beberapa foto yang berhasil menangkap sisi lain Kota Surabaya.


Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya adalah tujuan kami untuk melabuh di siang yang panas terik ini. Tetapi sebenarnya kami tidak akan melabuh di sini, tempat merapat pantai nanti tepatnya adalah Pelabuhan Ujung.


Dari kejauhan atau dari sudut pandang yang berbeda, pantai Surabaya tersembunyi di balik pepohonan. Apa yang saya temui setelah berlabuh di luar dugaan, atau sama sekali tidak terbayangkan. Saya selalu merasa takjub betapa banyaknya sisi kehidupan yang "tersembunyi" di dalam sebuah kota. 


Musium dan pangkalan angkatan laut megah dengan semboyan terkenalnya "Jalas Veva Jaya Mahe" bahasa Sanskerta yang berarti di laut kita jaya pun tidak mampu menghapus jejak-jejak yang telah berumur beratus-ratus bahkan ribuan tahun. 



Namun saya memang harus tetap membuka pikiran sehingga tetap tertarik dengan apa yang kemudian saya temui di daratan.  Saya harus bersabar dulu berlayar selama 30 menit di atas kapal fery berukuran kecil ini. Fery ini dikelola oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Pesero) dan kami bertolak dari Kamal, Bangkalan, Pulau Madura.  Menurut beberapa sumber, sejak jembatan Suramadu dibuka pertengahan tahun 2009, PT ASDP mengalami arus bisnis surut hingga serendah-rendahnya. Orang lebih memilih melaju lewat jembatan yang mulus dan bebas hambatan daripada harus mengantri, menunggu dan berlayar di atas feri. Belum lagi perbedaan ongkos yang mencapai Rp 20 ribu. Tidak heran kalau mobil kami menjadi satu-satunya mobil pribadi di atas feri.  


Jembatan Suramadu yang saya maksudkan di atas memiliki panjang 5,4 Km dan lebar 30 meter letaknya tidak terlalu jauh dari jalur pelayaran feri Kamal-Ujung. Di Pulau Madura sendiri, antara mulut jembatan dengan Pelabuhan Kamal berjarak 11 Km.  



Tanjung Perak sendiri merupakan pelabuhan ekspor-impor dan pelayaran antar pulau tersibuk setelah Tanjung Priuk, di Jakarta.  


Banyaknya kapal-kapal tanker yang berlabuh di Selat Madura yang berarus tenang ini barangkali menjadi penolong bagi kelangsungan hidup feri Kamal-Ujung. Kapal kecil ini misalnya mengantarkan seorang pemuda dari salah-satu kapal tanker ke atas feri. Mungkin itu merupakan salah satu cara terefisien bagi dirinya yang ingin melabuh di Surabaya. 


Akhirnya kami pun berlabuh di Pelabuhan Ujung. Sebelum feri benar-benar menggandeng dermaga, penumpang-penumpang berhamburan turun bersicepat dengan pengendara sepeda motor. Kebiasaan yang sudah ada sejak dulu dan tidak pernah ada yang merasa perlu penertiban. 


Sementara yang naik pun enggan menanti. Walaupun jumlah penumpang hanya segelintir tapi sepertinya tidak ada yang rela melambat dua atau tiga menit. 


Dari pintu keluar Pelabuhan Ujung sebenarnya kami dapat melewati jalan berbeda, namun teman perjalanan saya yang asli Surabaya ingin menunjukkan sebuah jalan yang penuh bebauan. Jalan Panggung namanya. 



Sudah sejak entah kapan, Jalan Panggung sudah dikenal sebagai tempat perniagaan bibit minyak wangi. Segala jenis dan segala aroma dapat ditemukan di sini, mungkin juga minyak mawar asal Timur Tengah.  Hal ini tidak mengherankan mengingat pemilik toko atau pedagangnya memang keturunan pendatang dari Timur Tengah.


Pada masa penjajahan Belanda, daerah yang sekarang menjadi Jalan Panggung barangkali sudah menjadi tempat yang ramai orang berjual beli. Letaknya memang strategis di pinggir Kali Mas. Kapal-kapal ukuran sedang dan kecil dapat berlayar hingga jauh dari muaranya. Tetapi hari kini, jarang ada yang menyadari kehadiran sungai ini. 


Saya semakin tertarik dan menikmati petualangan kecil ini. Keramaian di petang menjelang sore ini barangkali sama riuhnya dahulu? Entahlah! Tapi sejujurnya tidak terbayang ketika memandang Pelabuhan Ujung dari atas feri tadi. Mobil kami berinsut di antara pembeli dan pedagang dengan segala moda transportasi dan berjalan kaki. Perempuan Madura dengan keahlian menjunjung baskom di atas kepalanya mungkin membuat iri para peragawati. Mengapa? Sebab salah-satu latihan supaya bisa berjalan dengan "benar" di catwalk mereka menaruh benda, umumnya buku di atas kepala sambil berusaha menjaga agar kepalanya tidak bergerak dan buku tidak jatuh. 


Kejutan berikutnya yang saya dapatkan di Jalan Panggung adalah bau-bauan. Bisa bayangkan pedagang ikan-ikan laut yang masih segar di depan toko bibit parfum?! Saya membuka jendela mobil dan terciumlah aroma yang luar biasa, amis. Jika saya ingin membeli bibit parfum mungkin saya hanya perlu bertanya apa nama wewangian seperti wangi mawar, melati, dan sebagainya. Bagaimana saya dapat memanfaatkan penciuman di tengah serangan bau ikan-ikan yang keseringan mandi?


Saya tetap terperangah. Senang dapat mengunjungi tempat seperti ini (sekali-sekali dan bukan setiap hari). 


Sebagai bukti geliatnya perdagangan ikan di Jalan Panggung dapat kita saksikan para pemikul yang pulang dengan gentong-gentong telah dikosongkan pembeli. 


Sedangkan pedagang eceran yang sudah mendapatkan kulakan pun segera menuju tempat berdagangnya seperti ibu ini. Tak terganggu dengan kemacetan ia tekun memotong cumi-cumi. Bagi saya tampaknya seperti time management yang pantas dicontoh orang-orang kota metropolitan dengan masalah laten kemacetan lalu lintas. 


Dan akhirnya kami mencapai ujung jalan. Matahari telah condong ke barat di antara menara mesjid yang memadu latar belakang budaya. 


Dominasi arsitektur bangunan beralih. Kami mulai memasuki Pecinan. Ruku-ruku kokoh namun kusam dengan aktivitas perdagangan miliaran. Saya membayangkan sinkhek-sinkhek dengan rambut dikuncir, celana hitam kutung dan pikulan. Sebuah kota selalu dimulai dari pesisir, merangsak ke dalam, membuka jalur perdagangan dan membangun pemukiman baru. Perkawinan campur antara pendatang dengan pribumi meramaikan pemukiman dan menjelma metropolitan. 


Mal-mal dibangun, hotel dan apartemen menjulang. Sementara orang tidak suka melupakan sejarah dan cara-cara lama, yang lain bernafsu membongkar hingga akar, bagaikan sura dan buaya yang terus bertempur. Perenungan pun berakhir. 

Comments