Apakah Anda Korban KDRT?

Seterika Ajaib (Bisa Terbang) Hingga Samurai Tumpul

(Tidak mengena yang dibacok)


Saat ini masyarakat Indonesia memang sedang dihebohkan oleh masa lampau seorang motivator terkenal. Tentunya tanpa harus menyebutkan nama dan identitas lain, pembaca sudah tahulah maksud saya siapa. Seperti juga yang dikatakannya sendiri: "Tindakan kamu (pemuda yang datang ke Hitam Putih) akan membuat masyarakat Indonesia terpecah jadi dua." Namun bukan itu maksud saya membuat tulisan ini. Saya tidak termasuk masyarakat Indonesia yang merasa dipecahbelahkan, saya tetap bebas berdiri teguh di tempat yang saya pilih. Saya pun bukan penggemar gosip online maupun offline. Saya lebih tertarik kepada apa yang diungkapkan seorang perempuan bernama Aryani tentang KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Supaya tulisan ini lebih dapat dipahami, saya pasang tautan video #DeeperWithDeddy, tanpa menghapus atau mengubah segala atribut yang menunjukkan hak ciptanya. 

Mari kita kembali ke pokok pembahasan: Apakah Anda korban KDRT, dan kalau ya, apa yang membungkam Anda selama ini?

Menurut pengalaman atau pengetahuan saya, ada beberapa hal yang menghambat seorang wanita melaporkan perlakuan suami. Pertama tentu saja merasa malu dan secara ego merasa terancam atau potensi direndahkan bila urusan rumah tangga dibeberkan di muka umum.

Tetapi dari mana munculnya keyakinan ini?

Wanita merasa malu tentu juga ada alasannya, dalam hal ini wanita merasa malu melaporkan kekerasan rumah tangga adalah disebabkan pengajaran patriarkhi. Bayangkan, Anda dihajar oleh suami hingga babak-belur dan Anda lari pulang ke orangtua untuk mengadu. Apa yang Anda dapatkan?

Kemungkinan pertama: Nduk...kalau suami marah tuh ya, kamu harus sabar, sabar dan sabar toh.
Kemungkinan kedua: Salahmu sendiri tidak bisa memuaskan suami.
Kemungkinan ketiga: Sudah pulang, minta maaf sana!
Kemungkinan keempat: Konsekuensi pernikahan, jalani dan gak usah cengeng.
Kemungkinan terburuk: Kamu ini memang pantas digebuki kok. 

Kemungkinan keempat pula yang menahan Ibu Aryani (seperti yang dituturkannya dalam acara #DeeperWithDeddy.  Ibu Aryani mengatakan: "Selama ini apapun yang terjadi, saya akan tetap menjadi istri beliau."

Korban KDRT mungkin saja sangat cerdas, terpelajar dan mandiri seperti teman kantor saya dulu. Suaminya sangat penuntut, kalau teman saya banyak pekerjaan di kantor dan terpaksa pulang malam-malam atau melakukan perjalanan dinas, suaminya marah-marah. Teman saya orangnya mandiri dan berani, kalau suaminya marah dia meladeni, akibatnya sering terjadi perkelahian. Kami di kantor sudah tidak perlu lagi menebak apa yang terjadi malam sebelumnya bila dia datang ke kantor memakai kaca mata hitam besar.  Tapi karena malu, teman saya selalu berdalih: Sedang sakit mata.

Ibu Aryani juga wanita tangguh, terpelajar dan mandiri. Buktinya dia bergelar akademi doktoranda, dan setelah bercerai sanggup membesarkan putranya seorang diri. Tapi seperti teman saya, gengsi dan harga diri mencegahnya untuk mengadu ke keluarga atau bahkan membeberkan kesengsaraan yang dialaminya dalam berumah tangga. Silakan simak apa yang dikatakannya:
"Karena itu adalah pilihan saya. Kalau pun saya datang ke keluarga, kok rasanya saya tidak yakin dengan pilihan saya. Jadi pada saat itu saya simpan ..., karena itu pilihan saya sendiri dan saya harus menjunjung tinggi pilihan saya, begitu. Meskipun tidak nyaman..."

Budaya patriarkhi mengajarkan wanita untuk menurut dan tunduk kepada suami, hampir-hampir tanpa syarat. Hal ini juga tercermin dari kata-kata Ibu Aryani: "Saya ini wanita yang rela diajak melarat." Ya. Kalau seorang wanita menikah dan suaminya melarat, dia ikut melarat. Itu konsekuensi sebuah pilihan juga. Mungkin dalam hal Ibu Aryani memang pilihan sendiri, tapi bagaimana kalau dijodohkan orangtua? 

Wanita harus rela diajak melarat dan membantu suami mencari nafkah

Ketika pembawa acara menggali lebih dalam tingkat KDRT yang dialaminya, Ibu Aryani menjawab bahwa waktu itu belum ada undang-undang yang mengatur tentang KDRT. Nah, ini yang menarik sebenarnya bagi saya. "Dulu" yang dimaksud Ibu Aryani adalah sekitar tahun 1986-1993. Memang belum ada undang-undangnya. Setelah melalui perjalanan panjang dan berliku, aktivis perempuan baru berhasil mengusahakan UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga disahkan.

Lalu apakah dengan disahkannya undang-undang tersebut di atas lantas KDRT secara otomatis terhapus? Tentu saja tidak. Bahkan ada isu mantan suami Ibu Aryani meneruskan praktik KDRT dalam pernikahan berikutnya. Ketika kisah itu bocor di antara anggota komunitas, ada seorang penyiar radio di Surabaya dan beberapa orang lainnya hendak dimejahijaukan. Nah, tapi itu isu ya. Ini yang penting dan bukan isu saja dilanjut.

Kaum wanita masih harus berjuang untuk mendapatkan kesejahteraan dalam pernikahan: kesejahteraan lahir maupun batin. Tetapi sebelumnya perlu diketahui dulu tindakan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai KDRT.  Dalam UU No. 23/2004 menetapkan dalam ketentuan umum sebagai berikut.

  1. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
  2. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
  3. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
  4. Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. 
  5. Perlindungan Sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
  6. Perintah Perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban.
  7. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan perempuan.

Bila kita perhatikan butir 4 maka pihak keluarga juga telah diberikan kewajiban oleh undang-undang untuk memberikan perlindungan, jadi bilamana korban mencari perlindungan ke keluarga, keluarga jangan lagi menolak atau langsung menyuruh korban pulang. Seharusnya keluarga harus membantu proses pelaporan kepada pihak berwajib.

Sebenarnya sebuah undang-undang menjadi efektif jika semua pihak mengindahkannya. Ketika terjadi pelanggaran ada pihak yang melaporkan kepada yang berwajib untuk seterusnya diproses secara hukum. Jika masyarakat, utamanya korban mendiamkan saja karena malu, takut melanggar ajaran leluhur, agama dan sebagainya, maka rantai kekerasan tidak akan terputus selamanya. Di negara kita yang masih sangat menjunjung tinggi praktik patriakhi kekerasaan rumah dalam tangga yang belum terungkap pastilah sangat tinggi. Bayangkan saja, wanita terpelajar seperti Ibu Aryani saja mengalaminya, bagaimana lagi dengan perempuan-perempuan yang tertinggal secara pendidikan, ekonomi dan sosial?

Sebagai anggota masyarakat setiap diri kita pun memikul tanggung jawab seperti yang diatur Pasal 15 UU No. 23/2004. Barangkali ini pula alasan saya tiba-tiba mengasah pena lagi setelah kelamaan jeda menulis.

Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:

a. mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. memberikan perlindungan kepada korban;
c. memberikan pertolongan darurat; dan
d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

Comments