Window Shopper


Siang ini ketika berjalan-jalan ke mall, aku sempat memperhatikan tingkah laku anak ini. Penampilannya agak berbeda dibandingkan penampilan rata-rata pengunjung dan sepertinya bukan pengunjung rutin sebuah mall. Aku mencari-cari teman-teman atau keluarganya dan mataku tertumpuk pada sosok ibunya dan adik perempuannya. Sementara adik perempuannya yang tampak lusuh berlarian kesana kemari, anak laki-laki ini menyempatkan diri menjadi window shopper.


Bayangan-bayangan berkelebat di dalam benakku dan aku cepat-cepat mengambil gambarnya dengan kamera hape. Aku ingin menjadikannya topik cerita yang...ya, siapa tahu menginspirasi seseorang?!
Apakah anak ini seorang pemimpi? Akankah ia memvisualisasi mainan-mainan di balik kaca tebal itu dan mendapatkannya entah dari mana atau dengan cara gaib bagaimana? Entahlah!!! Aku hanya bisa mengangkat bahu.
Aku lalu teringat ketika seumur bocah ini. Aku bermimpi punya mainan ini dan itu. Kalau aku membicarakannya dengan ayah, beliau akan membelikannya, tapi lalu menimbulkan kemarahan ibuku, sebab menurut beliau membeli mainan itu pemborosan, lebih baik membeli beras.
Bila aku membicarakan dengan pamanku, beliau akan membuatkannya. Berhubung paman sangat cekatan membuat mobil-mobilan, maka aku pun dibuatkan berjenis-jenis mobil, dari truk kecil hingga bak yang dapat aku tumpangi. Sebenarnya aku dapat membicarakan apa yang kumau dengan ayah angkatku, beliau pasti akan membelikannya dan mampu secara ekonomi, tapi sayang beliau sudah meninggal dunia. Ibuku melarang aku meminta apapun dari ibu angkat. Gengsi!
Jangan meminta-minta kepada orang lain. Harga diri..., tahu malu! Seandainya setelah dewasa ternyata aku harus makan singkong rebus sementara teman-teman kuliahku makan steak, aku akan memakannya sambil bersembunyi di dalam kamar kecil juga?! Ah, ketika aku hanya bisa makan nasi bungkus dengan satu butir telur, satu bungkus nasi dibagi dua gitu, aku sih cuek saja. Pikirku yang penting aku beli sendiri, bukan meminta apalagi mencuri.
Ketika nasibku berubah tidak lama setelah “diet” nasi bungkus pake telur tadi, aku sempat mengikuti sebuah training Salesmanship di Hong Kong. Trainer-nya mengajak seluruh peserta ke sebuah mall dan meminta kami melakukan window shopping. Kami diminta "berani" masuk ke dalam toko yang menjual barang-barang branded untuk menemukan satu atau dua item yang sangat diinginkan. Tapi kami tidak harus membelinya, bahkan ia meminta kami menitipkan dompet dan seluruh isinya kepadanya supaya kami tidak kalap.
Aku pribadi sangat tergila-gila blazer dan rok Channel berwarna merah serta set pena Mount Blanc. Harganya? Hm...gaji aku setahun juga gak cukup. Tapi sang trainer meyakinkan kami untuk memiliki mimpi supaya semangat. Waktu itu aku sendiri belum tahu akan memilih karier sebagai trainer suatu hari kemudian, kalau tahu pasti sudah aku kritik cara memotivasinya. Tapi waktu itu aku nurut saja. Setelah makan siang, acara window shopping kami semakin menggila, kami diajak ke show room mobil mewah. Tujuannya sama, yaitu memicu mimpi indah sebagai sumber motivasi menjual.
Seumur hidup, aku tidak pernah membeli baju merek Channel, pertama, tidak sesuai dengan my core value, kedua aku lebih suka parfume-nya daripada bajunya. Mobil mewah? Aku pernah dapat mobil lumayan mewah dari kantor, tapi ketika membeli mobil sendiri, aku memilih yang murah meriah. Sekali lagi, aku lebih suka menginvestasikan uang daripada menghamburkannya, kalau toh aku lakukan, aku pasti mendengar suara ibuku dalam kepalaku.
Kembali ke bocah berbaju kuning ini, dia menyadarkan aku bahwa tidak semua orang seberuntung anak-anak sebayanya yang kulihat tiap hari. Anak-anak seumur dirinya sudah tidak lagi tertarik mainan balita, mereka pasti lebih tertarik video games, gawai super canggih dan arena-arena permainan yang super modern. Tapi bagi anak ini, juga ibu dan adik perempuannya, berkunjung ke mall mungkin laksana anak-anak yang lain itu berkunjung ke Disney World.
Di samping dirinya dan adik perempuannya (tampak seperti anak kurang sehat), juga masih banyak sekali anak-anak yang kurang beruntung, bahkan mengalami malnutrisi sejak dalam kandungan ibunya. Dari sebuah perbincangan di radio aku mendengar tentang stunting untuk pertama kalinya. Ketika aku menelusuri berita-berita on-line, statistik yang aku baca sungguh mengecutkan hati. Sekitar 8,8 juta anak Indonesia menderita stunting atau bertubuh kerdil karena kurang gizi. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 mencatat angka kejadian stunting nasional mencapai 37,2 persen. Angka ini meningkat dari 2010 sebesar 35,6 persen. Diperkirakan kenaikan ini terus berlangsung, maka berarti tahun 2016 telah mencapai 9 juta anak stunting. Dalam hal stunting, Indonesia menjadi kontributor besar tingkat dunia.
Stunting merupakan permasalahan kesehatan kronis akibat kurangnya asupan gizi dalam waktu lama. Stunting terjadi sejak bayi dalam kandungan karena saat hamil sang ibu kurang mengonsumsi makanan bergizi. Anak pendek (kerdil) ini merupakan gambaran kekurangan gizi kronis yang sebenarnya telah dimulai sejak janin hingga masa pertumbuhan sampai usia dua tahun. Pada periode tersebut, kurang gizi akan berdampak sangat signifikan pada kejadian anak pendek.
Selain itu, kekurangan asupan gizi pada masa-masa tersebut juga dapat meningkatkan kematian bayi.  Stunting tidak hanya mengakibatkan tubuh anak yang pendek, tapi juga memengaruhi pertumbuhan anak saat dewasa menjadi tidak maksimal. Anak yang menderita stunting rentan terhadap berbagai penyakit kronis, seperti diabetes dan kardiovaskular. 
Perkembangan mental anak juga menjadi terganggu karena stunting ini. Kemampuan kognitif yang terhambat pada anak kurang gizi ini akan mengakibatkan produktivitas ekonomi mereka menurun dan tentu saja  berdampak pada perekonomian secara nasional.
Nah, membaca sampai di sini mungkin kita mulai mendengar suara tuntutan kepada Pemerintah, bukan? Apa yang dilakukan Pemerintah sekarang, kok dibiarkan penduduknya kekurangan gizi?! Tuntut lawan politiknya terutama. Tapi, sebagai rakyat biasa mungkin sebaiknya kita mulai menuntut diri sendiri agar pertama-tama bertanggung jawab untuk menyejahterakan diri sendiri, setelah itu menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab menyejahterakan keluarga. Tapi tahukah Anda apa yang sebenarnya terjadi?
Nilai-nilai keluarga kita yang sangat patriarki menjadikan ayah sebagai raja dan istri sebagai hamba sahaja. Kalau ayah punya uang lebih ia dapat tidak semena-mena membelanjakan uangnya untuk rokok, dan sekarang lebih parah lagi…selain rokok, beli pulsa! Hitung saja sendiri berapa banyak telur, atau daging dan sayur yang dapat ditukar dengan sebungkus rokok dan pulsa? Selain itu, karena suami adalah raja, jadi kalau ada makanan yang enak, raja dong yang makan paling kenyang dan banyak, sisanya baru untuk hamba. Celakanya kalau sang hamba sedang hamil calon penerus tahta.
Nah, kalau seperti itu keadaannya eh, masih juga si raja punya selir? Poligami? Ah, janganlah pula minta Pemerintah mensahkan undang-undang poligami ya? Hahaha. 
-->

Comments