Oh, Tidak! Bagaimana Nasib Klien Jouska Indonesia?



 


Kasus PT Jouska Finansial Indonesia yang sedang viral sekarang ini kembali menggelitik keprihatinan saya, mungkin karena salah-satu anggota keluarga saya pernah (dan masih) menjadi korban investasi bodong? Atau karena saya merasa diri cukup berpengetahuan untuk mengikuti dan belajar dari kasus ini? Apapun...allow me to do a little talk here. Data dan fakta yang menjadi dasar saya adalah laporan Tempo.co 23 Juli 2020. Dalam contoh kasus yang disebut-sebut bernuansa milenial ini, salah-satu klien menyerahkan dana hingga mencapai Rp 65 juta dalam kurun waktu 2018-2019, yang menurut pengakuan klien ini adalah untuk dikelola oleh Jouska. Dia ini mengaku kaget sontak ketika mengetahui investasinya turun 70%, padahal dari awal dia berharap bisa mengembangkan dana ini untuk biaya pernikahannya nanti.

 

Itu dulu pengantarnya dari saya. Karena tujuan tulisan ini bukan sekedar membagikan berita yang sudah viral di medsos, melainkan untuk membagikan pengetahuan sederhana, umum, tapi senantiasa diabaikan masyarakat, bahwa menabung, berinvestasi dan berbisnis itu 3 hal yang berbeda. Kayak warna merah, hijau dan biru kalau dicampur akan jadi hitam!

 

Menabung


Apa yang pertama-tama harus dilakukan oleh setiap orang, termasuk yang punya maksud menikah itu seharusnya MENABUNG. Menabung di zaman now gak untuk mengembangkan uang, melainkan hanya untuk MENGUMPULKAN. Menurut istilah saya adalah mengumpulkan uang untuk tujuan khusus.  Selain untuk menikah, contoh kebutuhan spesial lain yang sebaiknya dapat dilakukan dengan MENGUMPULKAN uang adalah naik haji/umroh, wisata ke luar negeri, membeli barang yang bukan kebutuhan primer (motor gede, padahal sudah punya Terios, misalnya).

 

Sedangkan, MENABUNG sebenarnya adalah kebiasaan baik yang seharusnya dimulai sedini mungkin. Contohnya mulai menabung dari uang  saku/jajan sejak SD, menabung uang angpao dan setelah berpenghasilan menyisihkan minimal 10% untuk ditabung secara teratur.  Jadi sekali lagi inilah yang dimaksud menabung yang sebenarnya. Jika seseorang gak pernah menabung sebelumnya dan tiba-tiba ia sadar perlu uang untuk menikah, naik haji/umroh, dan sebagainya, belum terlambat juga sih untuk segera memulainya.  Hanya saja ia tetap ingat kalau dia tuh sedang ngumpulin uang, bukan sedang berinvestasi.  Jadi dia harus menghitung kapan ia membutuhkannya  dan berapa yang dapat dia kumpulin?  


Contoh A saat ini berusia 26 tahun dan merencanakan menikah pada usia 30 tahun, berarti dia punya waktu mengumpulkan uang  selama 4 tahun. Penghasilannya saat ini katakanlah Rp 10 juta perbulan,  dan  untuk  bayar kos,  makan sehari-hari, biaya transportasi, komunikasi dirinya butuh  Rp 5 juta,  maka pertama-tama ia  harus mengira-ngira berapa biaya pernikahan yang dibutuhkannya pada  waktunya,  katakanlah kalau  menurut saat sekarang Rp 120 juta cukup, dia perlu mengantisipasi 4 tahun lagi terjadi kenaikan harga-harga sehingga 4 tahun y.a.d ia butuh misalnya Rp 172 juta (compound value kenaikan 10% pertahun).  Artinya rata-rata perbulan ia harus menyisihkan Rp 3,5 – Rp 4 juta (Rp 172 juta: 48 bulan).  Hitung-hitungan kasar ini mengesampingkan faktor-faktor lain seperti kenaikan penghasilan, pendapatan bunga, dan sebagainya. Satu-satunya instrument untuk mengumpulkan uang ini adalah tabungan di bank, maksimal deposito.  Atau membeli  emas di pegadaian. Bagaimana kalau menabung saham? JANGAN! Sebabnya akan saya jelaskan di bagian lain.


Sekarang, si A masih punya uang Rp 1 – 2 juta (Rp 5 juta – 3,5-4 juta tadi)  untuk  hal-hal  yang bersifat menyenangkan hati, misalnya  nonton bioskop 2 kali sebulan ama calon, beli pakaian baru sekali-sekali, makan bersama calon atau menraktir mantan.  Tapi ada satu hal lagi  yang tidak boleh dilupakan yaitu;  ia perlu punya dana darurat sebesar 6 x Rp 5 juta (kebutuhan pokok),  lebih baik lagi 12 x 5 juta.  Ini untuk berjaga-jaga kalau ia sakit/kecelakaan hingga harus kehilangan penghasilan selama beberapa bulan (6-12 bulan), atau kena PHK. Dana darurat ini dapat pula didepositokan. Bunga yang walaupun gak seberapa dari tabungan/deposito kebutuhan khusus (menikah) dan dana darurat dapat diinvestasikan, karena ini disebut dana dingin. Kalau hilang atau menyusut gak bikin panik. 

Sumber uang dingin lain adalah terlebih dahulu dikumpulkan,  dari contoh di atas seseorang, dana dimaksud  semestinya berasal dari bagian Rp 1 - 2 juta tersebut. 

Catatan: Subjek pembahasan yang dapat menjelaskan cara mengatur keuangan pribadi juga sudah saya bahas di pos ini: Langkah Pertama Mencapai Financial Freedom


 

Investasi


Investasi atau berbisnis  selalu ada risikonya. Tidak ada satupun investasi di dunia ini yang pasti untung. Investor atau pebisnis sebaiknya terlebih dahulu menjadi investor ilmu pengetahuan.  Jadi waktu dia mulai menginvestasikan uangnya, ia sudah maklum bahwa, probablitas suatu investasi adalah 'impas-untung sedang, untung besar dan rugi sedang, rugi besar. Untuk jelasnya rentangkan telapak tangan kiri Anda depan mata dengan punggung tangan menghadap wajah  Anda sendiri. Pegang ibu jari dengan jemari kanan Anda, dan bilang “untung besar”,  pegang telunjuk dan bilang “untung kecil”,  pegang jari tengah dan bilang "impas aja nih".  Lalu  pegang jari manis dan bilang “rugi kecil” dan terakhir pegang kelingking dan bilang “RUGI BESAR”. Tidak ada yang dapat memastikan yang mana yang akan terjadi, tapi investor yang cakap mampu berusaha meminimalkan kerugian dan memaksimalkan keuntungan, dan keseimbangan di anatara keduanya adalah persentasi keuntungan yang menjadi targetnya.


Bila A tadi ingin berinvestasi maka seharusnya ia menggunakan porsi uang yang Rp 1-2 juta perbulan tadi.  Artinya, ia dapat menyisihkan Rp 500/bulan (berhemat-hemat dan gak gengsi-gengsian) untuk menginvestasikan di saham.  Tapi bisa gak sih beli saham Rp 500/bulan?

Di sinilah terlihat manfaatnya menabung ilmu pengetahuan dulu kan?!

Jelasnya gak bisa gaya-gayaan jadi klien di perusahaan Financial Planne.

Tahu caranya buka akun di BEI atau broker yang terdaftar di BEI (Bursa Efek Indonesia) 

Tahu memilih saham yang hendak dibeli.

Tiga hal di atas adalah bunga investasi ilmu pengetahuan yang akan menyelamatkan si A untuk tidak terjebak investasi yang berakhir rugi besar.  Selain itu  juga  kerugian psikis karena  kesal, marah, merasa tertipu, merasa diperlakukan tidak adil, repotnya  lapor ke OJK, tapi belum tentu ada manfaatnya, tapi yang pasti kerugian seperti kasus  Jouska sudah pasti deh, uang A gak akan kembali, kalau kembali pun ke pangkuan Ibu Bumi.  Soal psikis, rusaknya  lebih  parah sebenarnya dibandingkan kehilangan uang itu sendiri. Anggota keluarga saya hingga 10 tahun pun masih “sakit”, sampai-sampai menyebabkan patah semangat, patah hati, dan skeptis.


Menurut  saya, walaupun seseorang punya dana untuk diinvestasikan, dan mampu menyewa jasa penasihat keuangan, ia sendiri harus cukup paham tentang investasi yang akan diikutinya,  termasuk  apa  itu jasa penasihat keuangan itu sendiri.  Jangan menyerahkan semuanya kepada orang/lembaga lain.


Pengalaman saya jadi investor selama kurang lebih 10 tahun terakhir ini, saya menginvestasikan  banyak uang  untuk belajar,  hingga akhirnya  saya benar-benar  memahami tidak ada penasihat yang dapat saya andalkan, sebaik apapun nasihatnya.


Contohnya saham LUCK yang disebut-sebut menjadi sandungan Jouska (tanpa maksud menganalisis saham ini),  IPO akhir tahun 2018,  sekitar    akhir November 2018  harganya  Rp 428/saham.  Sebulan kemudian sudah naik 25% dan terus bergerak naik hingga sempat berada di atas 2,000 pada akhir Juli 2019, setelah itu bergerak sideway cenderung downtrend. Pada November 2019, jadi setahun kemudian, harganya hampir sama dengan harga November 2018, artinya jika saya membeli di awal perdagangannya,  setahun  kemudian nilai investasi saya tetap sama. Tapi kalau saya sempat jual di saat ia mencapai Rp 2,000, maka saya untung besar sekitar 400 persen. Namun, sekali lagi, bagaimana seseorang dapat memperkirakan secara  tepat seperti itu? Hampir mustahil  sebagaimana  Warren Buffett mengatakan: “You never know who’s swimming naked until tide goes out”. Hanya setelah momentum berlalu, analis akan mengatakan, ya, sudah naik 50 poin, ada kemungkinan  naik  besok. Kalau tidak jadi naik, cut loss saja.”  Kalau naik dan berhasil tembus MA-150,  baru boleh beli. Biasanya, saham di bursa kita, setelah menyentuh  MA-150 kebanyakannya turun karena profit taking. Besok ternyata tidak naik, dan si analis akan berkata: Makanya, kemarin aku ingatkan untuk pasang stop loss, kan?” Mungkin pembaca bertanya-tanya mengapa saya tahu saham LUCK ini? Ya, sebab ada “orang pintar” yang pernah menyarankan saya beli saham ini, untung saya tidak mengikuti sarannya. Orang-orang pintar ini, juga menyediakan alat analisis yang semudah ilmu memanggul sapi, namun mengingat nasihat Warren Buffett di atas, saya memutuskan belajar menyelam agar tidak termasuk orang-orang yang hanya bisa melihat siapa yang telah berenang telanjang setelah air surut, tapi sudah bisa mengira-ngira dengan menyelam ke dalam air yang sedang pasang. Jika Anda ingin belajar ilmu pengetahuan secara gratis, cobalah tonton youtube channel MIND Trading Institute, menurut saya channel ini cukup bagus untuk menambah wawasan.


Kembali ke LUCK 23 Juli 2020, harganya sudah  jatuh ke level Rp 274. Sekali lagi, jika saya ikuti  saran  orang  dan  beli waktu harganya sekitar Rp 1,450, dan pasang stop loss 10% di bawahnya, saya rugi kecil, kan? Tapi, kalau tidak dijual-jual maka sekarang saya sudah rugi BESAR.  Nah, satu-satunya cara menghindari rugi besar dengan stop loss 10% di bawah harga beli, pasti tercapai, tapi kata Liaw Budi (Mind Trading Institute), kita gak akan pernah jadi kaya. Malah lama-lama modal kita habis. Oleh karena itu, tidak benar ada ilmu semudah panggul sapi, maka investor harus belajar dan rajin menganalisa fundamental perusahaan-perusahaan yang sahamnya akan dibeli. Kalau saja LUCK fundamentalnya terbukti bagus dan naiknya bukan karena kena minyak panas, mungkin dapat di-hold terus untuk 5 tahun ke depan.

 

Apakah Jouska pasti benar atau pasti salah? Dalam hal ini belum terbukti. Menurut reporter Tempo.co Fajar Febrianto dalam tulisannya “9 Fakta Di Balik Kasus Dana Klien Jouska Indonesia” melaporkan OJK  belum pula akan segera mendapatkan respon, sebab lembaga pengawas ini  belum  mengatur industri perencanaan keuangan seperti Jouska. Berhubung lembaga perencanaan keuangan normalnya hanya memberi nasehat bukan mengelola dana klien layaknya manajer investasi.

 

Selain itu OJK pun tidak bisa semudahnya menetapkan Jouska beroperasi secara legal/ilegal, melanggar hukum atau tidak. Sedangkan menurut pihak Aakar Abyasa Fidzuno ngakunya hanya memberikan nasihat/saran dan edukasi, klien boleh-boleh aja ngikutin nasihat/saran yang  diberikan atau tidak. Kalau seperti ini dan, tercantum dalam kontrak, maka akan sulit membayangkan investasi yang rugi tadi akan tergantikan. Tapi misalnya itu dana semuanya dibelikan saham, dan sahamnya masih beredar di bursa, ya, siapa tahu, harganya akan kembali? Sekali lagi, kalau emang dibelikan saham, ya, bukan investasi bodong. Hanya investasi yang RUGI BESAR.

 

 

  

 

 

 

Comments