Saya Bukan Guru

Dalam salah-satu tulisannya, Saya Bukan Guru, Robin Sharma, sang guru kepemimpinan menulis: [“Kata guru mengacu pada seseorang yang menghalau kegelapan sebab dalam bahasa Sanskerta ‘gu’ berarti kegelapan dan ‘ru’ berarti menghalau. Saya rasa ketidaknyaman saya berasal dari fakta bahwa jika Anda berpikir bahwa saya berbeda dari Anda, lalu Anda akan berkata, “tapi saya tidak bisa melakukan hal-hal yang dikatakan Robin karena ia memiliki bakat dan kemampuan yang tidak saya miliki. Ia gampang saja melakukan apa yang ia katakan. Ia kan seorang guru.” Tidak. Maaf telah mengecewakan Anda. Saya hanyalah seseorang yang berusaha keras untuk melakukan yang terbaik setiap hari…”]
Media memang sering menyebut Robin “guru” kepemimpinan. Tapi ia membantahnya dan menulis dalam artikel tersebut di atas. [Saya bukan guru. Saya hanyalah manusia biasa yang kebetulan mempelajari berbagai gagasan dan cara yang telah membantu banyak orang mencapai kehidupan terbaik mereka, dan membantu banyak organisasi menjadi organisasi kelas dunia.]
Berbeda dengan Robin Sharma, saya menemukan banyak orang yang pekerjaannya jauh dari pada—membantu banyak orang mencapai kehidupan terbaik mereka—dengan enteng mengaku dirinya guru bahkan mengaku mampu mencetak guru-guru baru dalam sebuah workshop berdurasi singkat. Tulisan ini bukan bermaksud untuk mengecam cara “bisa-bisanya” strategi marketing mereka, namun saya hanya ingin memaknai arti guru secara lebih bijaksana. Menurut pandangan saya, seorang trainer sebetulnya lebih tepat dibahasaindonesiakan pelatih atau pakar. Bukan guru, terlepas dari materi apapun yang dibawakannya dalam sebuah workshop atau seminar.
Lalu bagaimana dengan para pemateri spiritual yang sedang marak belakangan ini? Pantaskah mereka menyebut dirinya guru? Jika menggunakan parameter Robin di atas, maka kepantasan tersebut tergantung kepada apakah mereka benar-benar mampu menghalau kegelapan dalam kehidupan diri dan orang lain. Tentu saja ada resiko senjata makan tuan, jika mereka terlalu jumawa menyebut dirinya penghalau kegelapan kemudian melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan yang pernah mereka ajarkan.
Seseorang pantas disebut guru jika dia tidak lagi dibebani oleh pergumulan diri, frustrasi dan ketakutan seiring dengan harapan, tujuan dan mimpi-mimpinya. Jika seseorang menyelenggarakan sebuah pelatihan dengan tujuan mendapatkan bayaran, menginginkan keuntungan materi, dan mengkhawatirkan pemasukan yang akan diterimanya serta merisaukan persaingan, maka dia hanyalah seorang penjual ide-ide dan keterampilan saja. Saya akan kembali mengutip kalimat Robin: [Namun, perlu saya tekankan: saya tidak berbeda dengan Anda. Saya juga memiliki pergumulan, mengalami frustrasi dan ketakutan seiring dengan harapan, tujuan dan mimpi-mimpi saya.]
            Bagaimana dengan pengajar-pengajar di sekolah? Tidakkah mereka pantas disebut pengenyah kegelapan? Dalam bahasa Inggris mereka disebut teacher, dari kata dasar teach (mengajar). Sebuah profesi yang dilakoni—terkadang— sebagai pilihan hidup dan tidak jarang karena terpaksa, (baca: tidak sesuai dengan mimpi-mimpi sehingga menimbulkan frustrasi). Saya yakin sepanjang tahun-tahun bersekolah, kita semua pernah mengenal kedua jenis pengajar ini. Saya beruntung bertemu dengan beberapa pengajar golongan pertama. Beliau-beliau itu memang penghalau kegelapan dalam kehidupan saya, sehingga pantaslah saya mengenang mereka sebagai guru yang mulia.

NLP Untuk Pengajar
Apakah NLP bisa menjadikan kegiatan mengajar semenyenangkan main Face Book? Demikian saya bertanya-tanya pada diri sendiri setelah seorang teman FB “bertanya” tips NLP yang sederhana dalam mengajar itu seperti apa? Menurut pendapat saya, mengajar akan menjadi kegiatan yang menyenangkan—tanpa perlu NLP—asal saja orang yang melakoni kegiatan tersebut mencintai apa yang dilakukannya. Tapi teman ini belum terpuaskan dengan jawaban sederhana ini dan menyatakan akan menunggu artikel dari saya buat seluruh ‘guru’ di Indonesia agar kegiatan mengajar menjadi senyaman main fesbuk.  
Di luar rana NLP, seorang pengajar perlu betul-betul memahami dirinya sehingga dia dapat mencintai pekerjaannya. Dalam rana NLP, pertanyaan yang perlu diajukan adalah “apa yang aku mau?” Apakah dengan menjadi seorang pengajar aku dapat mencapai apa yang aku inginkan untuk terjadi dalam hidupku? Jika jawabannya tidak, maka lebih baik orang tersebut menemukan pekerjaan atau karir lain yang dapat mendekatkan dirinya dengan apa yang diinginkannya. Memaksakan diri tentunya akan menimbulkan pergumulan batin dan frustrasi.
Apakah orang tersebut dapat merasakan kedamaian? Kedamaian timbul bilamana keselarasan berlangsung dalam diri kita. Dalam istilah NLP congruent atau harmonis adalah rapport antara nilai-nilai dan keyakinan dengan perilaku kita. Jika seseorang meyakini menjadi pengajar adalah pekerjaan yang mulia, bertemu dengan para pelajar di kelasnya merupakan kesempatan yang berharga dalam kehidupan ini, maka kegiatan mengajar otomatis akan sangat nyaman baginya. Sebaliknya jika orang tersebut meyakini kekayaan, prestise, dan glamor merupakan sesuatu yang harus diraihnya, maka kegiatan yang cocok baginya mungkin berdagang, memproduksi barang atau jasa dengan berlaba tinggi atau berinvestasi di bursa saham, bukannya mengajar di sekolah.
Sejak dua atau tiga dekade terakhir ini, kita telah sering mendengar istilah accelerated learning. Hal ini belumlah umum pada saat saya sendiri duduk di bangku sekolah. Sebagai contoh, murid-murid di kelas harus duduk dengan rapi, kedua tangan di atas meja, dan tidak banyak menggerakkan tubuh bila tidak dibutuhkan atau tidak sedang berolah-raga. Akibatnya, pelajar-pelajar yang memiliki kecenderungan kinesthetic sulit menyerap pelajaran. Cara menguji kemampuan membaca seorang anak adalah dengan menyuruhnya melafal kata dan kalimat dengan suara nyaring. Hal ini baik bagi anak yang memiliki kecenderungan auditory tapi menurunkan kemampuan membaca cepat—apalagi kilat—di kemudian hari. Menghafal perkalian 1x1=1 sampai dengan 9x9=81 seakan-akan itu satu-satunya cara belajar matematika, dan ini hanya bagus buat yang kecenderungan auditory pula. Buku-buku pelajaran yang disediakan pada umumnya gersang, tidak menimbulkan daya imajinasi tinggi dan sungguh merupakan penghambat buat anak-anak dengan kecenderungan visual.
Untunglah, accelerated learning yang mengindahkan kecenderungan operasional inderawi sebagai sistim representasi manusia dengan lingkungan sekitarnya telah banyak diterapkan di sekolah-sekolah sekarang ini, namun seorang pendidik seyogyanya memahami dan mampu terhubung dengan semua anak didiknya yang tentu saja sangat heterogen dalam suatu kelas. Cara menyampaikan informasi kepada anak yang memiliki kecenderungan visual harus berbeda dengan anak yang berkecenderungan auditory maupun kinesthetic. Tidak itu saja, sang pengajar juga perlu memahami kecenderungan dan model of the world dirinya sendiri dan mampu memasuki dunia anak-anak didiknya. Dalam NLP dikenal sebagai sensory awareness.
            Perilaku, yaitu cara, termasuk sikap pikiran dan tubuh ketika mengajar di kelas juga ketika berhadapan dengan anak-anak didik secara individu membawa pengaruh signifikan baik bagi sang pendidik maupun yang dididik. Seorang pengajar perlu terus-menerus mendapatkan feedback dari hasil yang dicapai anak didiknya. Adakah cara yang lebih efektif untuk mengajar kelas ini? Adakah cara yang lebih tepat untuk menegur kesalahan anak didik itu? Apakah cara yang aku gunakan sudah tepat? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini perlu diajukan terus-menerus sehingga kemampuan si pendidik itu sendiri juga meningkat karena apa yang dialaminya bukan sekedar kerutinan yang membosankan melainkan sumber peningkatan diri yang berharga. Bila cara mengajar  yang lama atau yang telah digunakan tidak mencapai hasil yang diharapkan, ubahlah cara mengajar itu sendiri.
            Apa yang saya sajikan di atas merupakan intisari NLP: outcome thinking, sensory awareness, rapport dan behavioral flexibility. Pengalaman menunjukkan kebenaran the NLP presupposition: There is no unresourceful person only unresourceful states (tidak ada orang yang tidak bersumberdaya—untuk mencapai hasil maksimal—hanya ada orang yang berada dalam kondisi yang tidak tepat). Tidak ada pengajar atau pendidik yang tidak mampu menjadi pengajar sekaligus guru yang baik jika terdapat keharmonisan (congruent) dalam dirinya, antara nilai-nilai dengan perilakunya. Jika mengajar itu merupakan pengabdian tulus dan dia terbebas dari pergumulan batin ketika tidak pernah menerima bintang jasa, maka dia akan menjadi penghalau kegelapan. Sungguh sesuatu yang sangat dalam pada diri sang pendidik itu sendiri dan tak terjamah oleh siapapun. Dari kedalaman tersebut bisa muncul kenyamanan ataupun deraan. 

Comments