Memaafkan dan Dimaafkan

Ada seorang anak muda yang sangat pemarah dan kasar perilakunya. Dia sangat sering memaki-maki dan mengucapkan kata-kata yang menyakitkan hati. Kedua orangtuanya kewalahan menasihatinya dan sudah menyerah. Hingga suatu hari kakek anak muda tersebut berkunjung dan ketika orang tua yang bijak itu mengetahui apa yang terjadi, dia memberikan kepada anak muda itu sekantong paku, palu dan sebilah papan yang bersih sambil berpesan: “Setiap kali kamu merasa marah dan hendak menyerang orang lain dengan kata-kata, tumpahkan kemarahanmu dengan memaku sebatang paku di atas papan ini. Bila semua paku ini sudah habis, beritahukan Opa.”

      Anak muda itu menuruti pesan kakeknya. Pada hari pertama dia memaku 37 batang paku di atas papan yang mana menunjukkan bahwa dia berhasil menahan diri sebanyak 37 kali. Pada hari kedua jumlah paku yang dipakukannya berkurang menjadi 35 batang, demikian pula hari-hari selanjutnya menjadi 21 batang, 15 batang, 9 batang dan akhirnya paku dalam kantong telah habis. Anak muda itu melapor kepada kakeknya.
            “Bagus sekali, Cucuku! Sekarang Opa ingin kamu meminta maaf kepada orang-orang yang pernah kamu sakiti hatinya, yang pernah kamu perlakukan dengan kasar, dan setiap kali kamu melakukannya, cabutlah sebatang paku dari papan ini.”
Tiga bulan lagi berlalu dan semua paku telah tercabut dari atas papan, anak muda itu melaporkan kesuksesannya kepada sang kakek. “Bagus sekali, Cucuku! Perhatikan papan ini, kamu telah berhasil menahan diri selama berbulan-bulan dan meminta maaf kepada banyak orang selama berbulan-bulan, tapi apa yang terjadi pada papan ini? Penuh dengan lubang bekas paku. Cucuku, perbuatan kita yang menyakitkan hati orang lain meninggalkan bekas luka meskipun kita telah meminta maaf. Opa berharap kamu telah belajar dari aktivitas sederhana ini.”
            “Iya, Opa. Saya akan selalu berperilaku sabar, menerima dan menghargai orang lain sehingga tidak menyakitkan hati siapapun.” Jawab anak muda itu.

Memaafkan dan melupakan kesalahan-kesalahan orang lain adalah kecerdasan spiritual, seperti dapat ditemukan pada hampir semua ajaran agama. Umat Muslim memanfaatkan momentum 1 Syawal untuk saling memaafkan. Setelah menjalankan puasa selama 30 hari di bulan Ramadan, maka 1 Syawal merupakan hari yang Fitri, termasuk tidak lagi mengingat-ingat kesalahan orang lain. Berapa kali kita harus memberi maaf kepada orang yang melakukan kesalahan terhadap kita? Dalam Injil Yesus menjawab pertanyaan serupa yang diajukan murid-muridnya bahwa, kita harus memaafkan sebanyak 77 kali  kesalahan orang lain. Betapa indahnya dunia jika semua orang dapat memaafkan kesalahan orang lain, dan tidak ada lagi orang yang saling menyalahkan atau menghukum orang lain karena kesalahannya tak termaafkan. Rasa damai dalam hati setiap orang akan meringankan langkah kaki kita semua. Oleh sebab memaafkan itu mulia dan membuat diri kita menyadari kita pun tidak terlepas dari dosa dan kesalahan, maka kita pun merasa meminta maaf kepada orang lain merupakan hal yang sama mulianya.
            Karena pengajaran dan kebenaran tentang memaafkan yang kita yakini seperti ini adanya, maka kita akan merasa nyaman dengan diri kita ketika telah menjadi pemaaf. Merasa diri lebih kaya, lebih mulia, lebih berbesar hati dan layak. Kita tak ingin disebut sebagai pendendam atau pemarah sebab sebutan demikian itu membuat diri kita merasa tidak nyaman.
Tetapi sering tidak kita sadari bahwa ketika mengucapkan kata: “Sori, maaf” kita tidak benar-benar meyakininya sebagai kebenaran. Jika seseorang menyadari telah melakukan kesalahan, misalnya secara tidak sengaja mengucapkan kata-kata yang menyakiti perasaan orang lainnya, maka dia sigap mengakui kesalahannya. “Sori, maafin aku telah menyakiti hatimu.” Permintaan maaf seperti itu sebenarnya belumlah memadai, sebab jika seseorang meminta maaf, maka permintaannya—seperti halnya permintaan lain—harus mendapatkan tanggapan atau menerima pemaafan. Sampai seseorang mendengar kata, “Ya, sudah, kesalahanmu aku maafkan,” maka orang tersebut belum menerima maaf. Dan selama belum dimaafkan, maka seseorang dapat merasa belum termaafkan, akibatnya dirinya merasa tidak damai karena dihinggapi perasaan bersalah.
Sedikit berbagi dengan Anda, beberapa waktu yang lalu secara tidak sengaja saya mengucapkan kata-kata yang membuat seorang sahabat saya merasa tersinggung. Saya menyadari ketersinggungannya karena dia mendadak terdiam, maka saya buru-buru minta dimaafkan, namun sahabat saya tetap cemberut sambil diam seribu-basa. Beberapa hari setelah kejadian itu kami berjumpa kembali dan sahabat saya telah ceria sebagaimana biasanya. Sementara saya sendiri—yang belum menerima pemaafan—masih menanggung perasaan bersalah, saya mengulangi permintaan maaf saya. Sayang sekali bukannya menjawab atau memberi maaf, sahabat saya berkata dengan nada galak: “Sudah ya, ga usah disinggung-singgung lagi kejadian itu!” Tanggapan seperti itu meninggalkan bekas paku dalam batin saya hingga lama. 
Memaafkan itu sungguh-sungguh penting. Namun jika kita di posisi yang menantikan maaf orang lain, maka kita juga harus bisa memaafkan diri sendiri. Cepat memaafkan bukan berarti melupakan perbuatan buruk. Perbuatan buruk orang lain terhadap kita merupakan pelajaran yang berharga. Namun ketika memaafkan pisahkan intensi positif dari perilaku orang lain. Semua orang punya alasan yang bagus ketika melakukan sesuatu. Dengan demikian kita dapat mengingat perbuatan buruk tanpa mendendam orangnya. Dan hati tanpa dendam membuat kita merasa damai. 
Setiap kali seseorang minta maaf, perlakukan dirinya dengan serius namun lembut. Jika Anda tidak merasa tersinggung apalagi sakit hati, katakan demikian dan jelaskan mengapa Anda tidak merasa tersinggung. Barangkali hal itu disebabkan keyakinan atau nilai-nilai Anda berbeda dengan orang tersebut. Tetapi hindari mengatakan: “Ah, sudahlah, aku bukan orang pendendam, aku bukan orang pemarah,” atau  “Aku bukan orang yang suka tersinggung.” Sebaliknya jelaskan sikap dan pandangan Anda, misalnya: ”Aku menyadari apa yang kamu ucapkan barusan itu benar bagi pihakmu, dan cara kamu mengucapkannya dapat saja menyakiti hatiku, tapi aku sepenuhnya memahami maksudmu atau sikapmu. Jadi, aku sama-sekali tidak tersinggung.” Sebaiknya kita selalu terbuka untuk mendiskusikan perasaan masing-masing dan bukannya melarikan diri dari perselisihan.
Sebagai pihak yang memberi maaf, Anda dapat menginisiasi rekonsiliasi. Berikan maaf Anda tidak saja melalui ucapan, tetapi juga dengan sikap yang tulus. Beritahu mengapa Anda merasa tersinggung atau merasa tersakiti dan nyatakan harapan Anda dengan menggunakan “I language” bahwa Anda berharap dirinya tidak mengulangi perbuatan yang sama di kemudian hari. Dan bila orang tersebut secara khilaf mengulanginya, Anda akan mengingatkannya. Untuk kesalahan sangat serius yang dimaafkan, secara tidak langsung Anda telah menjadi sponsor bagi orang tersebut. Artinya, ketika orang itu tidak mengulangi kesalahan yang sama atau sebaliknya perilakunya memenuhi harapan Anda, seharusnya Anda memberikan pujian. Sponsorships seperti ini tidak saja membantu orang lain selalu berperilaku baik, nanum juga membantu kita “menyembuhkan” luka bekas paku di atas papan kayu batin kita sendiri.
Bagaimana Anda menyikapi perbuatan orang lain yang menyakitkan sementara orang tersebut tidak menyadari kesalahannya apalagi meminta maaf? Saran saya adalah mengaplikasikan The NLP Presupposition: “Selalu ada tujuan positif di balik setiap perilaku.” Kita dapat menerima perbuatan atau sikap orang lain begitu kita memahami maksud di balik perilakunya. Namun, tujuan positif tersebut tidak selalu berarti sesuatu yang berkenan di hati orang lain, jadi bila perbuatan tersebut Anda rasakan “keterlaluan” Anda perlu memberitahukan kepada orang tersebut. Bagaimana pun pemahaman akan tujuan positif dari perilaku menolong kita untuk bersikap bijaksana. Alih-alih mencap orang tersebut sebagai “orang tak tahu diri”, atau “orang sinting”, kita dapat menyikapinya sebagai umat manusia yang sama dengan diri kita, hanya perilakunya saja yang buruk. Atau mengingatkan kita bahwa dia tidak selalu berperilaku demikian sepanjang waktu kita mengenalnya.
Kapan dan di mana permintaan maaf harus dilakukan? Sebaiknya sesegera kita menyadari perbuatan kita dan di tempat di mana kejadian yang merugikan orang lain terjadi. Sebagai contoh jika Anda menginjak kaki penumpang lain di atas bis kota, maka di tempat tersebut, saat itu juga Anda dapat meminta maaf. Tetapi jika Anda tidak sadar telah melakukan kesalahan dan karena itu Anda ditegur, maka nyatakan permintaan maaf Anda dan ucapkan terima kasih sebab Anda telah diingatkan. Pertengkaran biasanya terjadi, ketika seseorang diberitahu bahwa dirinya telah menimbulkan gangguan terhadap orang lain, orang tersebut bukannya meminta maaf dan berterima kasih malah menyangkal atau menyalahkan. Sebagai contoh Anda menginjak kaki penumpang lain secara tidak sengaja dan orang tersebut mengingatkan Anda. Alih-alih minta maaf dan berterima kasih, Anda balas menyerang: “Siapa suruh lu menjulurkan kaki panjang-panjang, makan tempat aja!” J

Comments