We Can Not Not Communicate


Berkomunikasi merupakan kegiatan utama manusia. “You can not not communicate, and the meaning of your communication is the respon that you get”, demikian kata guru-guru NLP. Kita tak mungkin menghindari atau menolak untuk berkomunikasi dengan orang-orang di sekeliling kita. Tetapi meskipun kita telah melakukan kegiatan ini seumur hidup, belum tentu kita telah menguasainya dengan baik. Michael Hall seorang trainer NLP Semantic papan atas mengaku bagaimana mind-line di atas menohok pintu pemahamannya ketika ia mendengarnya untuk pertama kali. Tadinya Hall mengira berkomunikasi berarti mengatakannya secara jelas dan tegas. Jika belum berhasil, maka ia akan memperkeras suaranya, demikian papar Hall.
Hal lain yang sering disalahpahami adalah memberi masukan yang sering kali disalahkan sebagai mengkritik atau mencela. Orang yang memberikan masukan sering menggunakan pendekatan yang salah dan hal itu membuat orang yang diberi masukan tersinggung. Permintaan melakukan atau tidak melakukan sesuatu juga sering menjadi penyebab kesalahpahaman. Tidak jarang pula  maksud baik kita ditanggapi secara salah. Celakanya, reaksi negatif atas maksud baik itu kita tanggapi sebagai “perlawanan, pertentangan, tidak tahu berterima kasih dan seterusnya.
Apakah kesalahpahaman disebabkan para pelakunya tidak saling mengenal? Tidak, sebaliknya kegagalan berkomunikasi justru terjadi dalam lingkungan keluarga di mana setiap individu beranggapan pihak lain seharusnya memahami sudut pandangnya. Pernahkah mendengar seorang suami berkata kepada istrinya: “Seharusnya kau tahu apa yang sedang aku pikirkan!” Atau istri berkata kepada suaminya: “Kau tak pernah berusaha memahami aku!”

Apa yang tak disadari suami atau istri yang berkata seperti itu kepada pasangannya adalah bahwa sudut pandang kita selalu mengalami perubahan dan dipengaruhi banyak faktor. Salah-satunya adalah ekspektasi (harapan) bahwa orang-orang terdekat kita sudah pasti mengerti kita, mengenal diri kita seperti ia mengenal telapak tangannya sendiri. Namun hal seperti itu tak pernah terjadi dengan sendirinya. Untuk memelihara hubungan harmonis dalam rumah tangga, di tempat kerja, dan dalam lingkungan, sebaiknya sebelum menyampaikan suatu permintaan yang kemungkinan sulit dipenuhi pihak lain, persuasi, dan kritik ada baiknya dibingkai ulang terlebih dahulu. Berikut ini ada beberapa contoh reframing yang menarik.

Meminta Ibu untuk Minum Obat
John merasa kesal karena ibunya tidak mau meminum obat batuk yang dibelikan istrinya. Maklumlah sejak John menikah dengan Suzy, ibunya merasa mendapat pesaing dalam mendapatkan perhatian putranya. Sebab itu ia tak sudi meminum obat batuk yang dibelikan sang menantu. Malam itu batuk perempuan berumur 65 tahun itu menjadi-jadi, membuat seisi rumah terganggu.
John akhirnya tak tahan lagi, ia bangun dari tempat tidurnya, mengenakan sandal kamarnya dan bermaksud ke kamar ibunya. Tetapi Suzy menarik tangannya. “Apa yang akan kau lakukan?” tanyanya lembut. “
“Suruh dia minum obat, apa lagi?!” Jawab John dengan nada kesal.
“Sebaiknya kau pikirkan apa yang akan kau ucapkan dan jangan dengan sikap kesal seperti itu.” Kata Suzy.
John menarik nafas panjang berkali-kali, menenangkan kekesalannya dan setelah itu ia mendatangi ibunya di kamarnya sambil membawa segelas air putih dan obat batuk yang tadi siang dibeli istrinya.
“Bunda, karena kita ini ibu dan anak, hubungan batin antara kita berdua telah menyebabkan aku tidak bisa tidur ketika Bunda batuk-batuk. Kalau aku tidak bisa tidur, besok aku akan mengantuk di kantor dan hal ini akan mengganggu aktivitasku. Aku juga pasti gelisah memikirkan batuk Bunda ini. Aku akan lega sekali bila batuk Bunda reda dengan minum obat ini.” John pun menyodorkan obat dan air putih kepada ibunya.
Perempuan itu menatap putra tunggalnya. Ia tersadar, batuknya menyebabkan kesulitan bagi putranya. Ia pun merasa telah mendapatkan perhatian yang dicarinya. Dengan patuh ia meminum obat batuk itu, tidak masalah lagi bahwa yang membeli obat itu adalah menantunya.
Sekarang bayangkan apa jadinya kalau John datang ke kamar ibunya dengan sikap kesal dan berkata keras: “Kenapa sih Bunda tidak mau minum obat yang dibelikan Suzy? Suara batuk Bunda bikin seisi rumah terganggu, tahu nggak sih?”

Meminta Istri Menutup Jendela
Sepasang suami-istri sepuh sedang duduk di ruang keluarga yang terletak di daerah pegunungan. Udara terasa mulai dingin karena hari menjelang senja. Sambil merapatkan syalnya, sang suami melirik ke arah jendela yang terpentang lebar. Ia tahu kebiasaan istrinya yang merasa sesak berada di suatu ruangan dengan jendela-jendela tertutup. Tetapi itu hanya perasaan istrinya saja, dan sebenarnya ia pun merasa kedinginan, kalau tidak buat apa ia membungkus tubuhnya dari leher hingga ujung jari dengan rapat dan berlapis-lapis?
Perlahan sang suami berdiri dan melangkah mendekati istrinya: ”Istriku, udara terasa sangat dingin, tidak baik untuk kesehatanmu, bagaimana kalau aku menolongmu menutup jendela besar itu? Jendela di ujung sana akan kita biarkan tetap terbuka, ya?!”
“Terserah kau sajalah!” Sahut istrinya tak acuh. Dalam hati ia merasa senang karena suaminya memperhatikannya.
Bayangkan apa jadinya kalau saja sang suami berkata sambil tetap duduk di atas kursinya: “Hei, jendelanya ditutup dong! Gak merasa dingin ya? Dasar sudah tua masih sok tahan udara dingin begini. Rematiknya kambuh baru tahu rasa!” Tentu saja sang istri akan melompat dari tempat duduknya dan sambil melotot, menuding-nuding, berkacak pinggang balas memaki suaminya. Boleh jadi, sang suami yang kesal akan menutup jendela-jendela, dibalas sang istri mementangkannya kembali, begitu terus sepanjang malam?

Tukang Reparasi Telivisi
Seorang polwan tiba di depan pintu sebuah rumah. Tetangga penghuni rumah  itu menelepon kantor polisi beberapa saat yang lalu,  melaporkan suatu kejadian KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) sedang berlangsung di sana. Dari depan pintu flat itu dia bisa mendengar suara teriakan seorang pria, jerit tangis wanita dan anak-anak serta bunyi benda-benda pecah dibanting.
Polisi itu bertindak hati-hati, harap dicatat saja, kejadian tersebut terjadi di AS di mana tingkat pembunuhan tinggi karena mudahnya seseorang memiliki senjata api. Jika ia membunyikan bel tanpa terlebih dahulu mempelajari situasi, bisa-bisa penghuni yang sedang marah itu mengamuk dan menembak siapa saja. Atau ia terpaksa harus melumpuhkan pria yang sedang marah itu.
Dan mendadak saja sebuah pesawat televisi “terbang” menembus jendela rumah yang terbuka. Si polisi memburu ke arah pintu dan menggedor sekeras-kerasnya. Dari dalam terdengar suara pria menghardik penuh kemarahan: “Who in the hell is that?” Sambil menatap pesawat televisi yang hancur berkeping di depan pintu flat, polisi itu menyahut: “Tukan reparasi televisi!”
Sesaat lamanya hening meliputi tempat itu. Tak lama kemudian seorang lelaki membuka pintu dan keluar sambil tertawa. Akhirnya polwan itu dapat melakukan intervensi dan mencegah kekerasan lebih lanjut.
Apa kiranya akan terjadi jika polwan itu menjawab: “Polisi! Buka pintunya!” Mungkin saja lelaki itu akan merasa terdesak atau terpergok lalu melakukan perlawanan, membela diri berlebihan.
           
Jangan Menjatuhkan Pamor Papa
Seorang ayah sedang menasihi anak-anaknya: “Putra dan putriku tercinta, papa ingin kalian belajar baik-baik dan menuntut ilmu setinggi-tingginya. Lulus S1 nanti, papa akan mengirim kalian ke universitas ternama; Harvard!”
Putranya yang saat itu baru saja lulus SMA menjawab: “Buat apa buang-buang waktu dan uang untuk sekolah?! Papa aja gak lulus SD tapi kaya raya!”
“Yup! Benar banget kata kakak tuh!” Sahut putrinya yang baru kelas 2 SMP.
Lelaki itu adalah seorang pengusaha sukses, salah-satu orang kaya di negeri ini, ia sering diminta menjadi pembicara, memotivasi pebisnis-pebisnis lain, mulai dari tukang bakso hingga konglomerat. Dalam waktu singkat ia terkenal sebagai motivator nomor satu. Uangnya banyak, dan ia mendendam pada masa lalunya yang miskin. Ia tidak lulus SD bukan karena ia malas belajar melainkan karena ibunya yang sangat miskin tak sanggup membiayainya. Sekarang ia ingin membalas dendamnya melalui anak-anaknya, mereka harus bersekolah dan mendapatkan gelar sebanyak-banyaknya dari sekolah yang paling prestise sejagat. Namanya juga motivator, lelaki itu menatap kedua anaknya dengan tegas. “Tidak lulus SD tapi sukses seperti papa itu adalah pamor papa. Kalau kalian tidak mau bersekolah dan sukses, pamor papa jatuh dong! Masa kalian tega sama papa?!”
Sesungguhnya lelaki itu meragukan semangat juang anak-anaknya. Tanpa membekali mereka dengan ilmu yang cukup, ia khawatir kekayaannya yang diwariskannya tak akan berumur panjang. Namun ia tidak mengatakan yang sesungguhnya. Ia meminta anak-anaknya agar tidak mengalahkan dan menjatuhkan pamornya. 

Comments