Teknik Mana yang Seharusnya Digunakan?

Apakah NLP benar-benar berguna? Tanya seorang teman dengan sikap skeptis. Selanjutnya ia pun berkomentar bahwa NLP tidak pantas diberi embel-embel “ilmu” sebab NLP hanyalah bualan yang dibentuk dari tambal sulam berbagai teknik; seperti hypnotherapy, Gestalt therapy, dan Family therapy. NLP juga memungut pemikiran-pemikiran sumber lain, sebut saja Noam Chomsky, Gregory Bateson dan….(cepat-cepat saya potong: Transformational Grammar!). Teman saya membeliak, “Apa itu transformational grammar?” Sambil tersenyum saya menjawab, “Itulah Meta-model yang menjadi cikal-bakal “ilmu gathuk ini!” (Silakan baca buku The Structure of Magic Vol I oleh Ricard Bandler dan John Grinder).

Di saat merenung saya justru dapat melihat dan menyelami kelebihan NLP, sebab diramu dengan banyak sekali pemikiran, maka teknik-teknik yang tercipta sangat fleksibel. Untuk melakukan terapi atau membantu seorang klien kita tidak perlu pusing-pusing memilih teknik mana yang akan kita gunakan, sebab teknik, model, atau alat mana saja dapat digunakan untuk mengatasi masalah mana pun sepanjang kita sebagai coach atau fasilitator percaya diri.  Hal ini telah sering saya saksikan dalam kelas-kelas pelatihan, dan berikut ini salah-satu contohnya.
Sesi assessment memastikan peserta yang lulus dari program
ini berkompeten dan berkualitas. 
Sebagaimana umumnya pelatihan untuk mendapatkan sertifikasi internasional, di hari ketujuh—hari terakhir, peserta telah mempelajari dan berlatih minimal delapan variasi teknik untuk menerapi yaitu: Swish Pattern, Resource Anchoring, Chaining Anchors, Collapsing Anchors, Parts Integration, Resonance Pattern, Perceptual Positions, dan New Behavior Generator. Penguasaan teknik-teknik ini juga didukung oleh penguasaan proses modeling, Meta Model, Milton Model, Hypnotherapy, Well-formed Condition, membangun rapport (mirroring, pacing leading) dan sebagainya.

Assessment atau evaluasi sebenarnya bukan ujian praktek yang perlu ditakuti peserta, sebalik justru merupakan kesempatan terakhir memantapkan penguasaan suatu teknik dan meningkatkan rasa percaya diri. Setiap peserta yang maju ke depan kelas untuk menerapi rekan peserta lain yang berperan sebagai klien, akan mendapatkan masukan-masukan dari teman-teman sekelas dan coach. Sehingga ia mendapatkan kesempatan memperbaiki kesalahan yang dilakukan sementara peserta-peserta lain mempraktekkan cara memberi feedbacks yang betul.

Peserta yang berperan sebagai klien juga dipilih dengan menarik undian dan dia tidak mengetahui teknik apa yang “harus” digunakan oleh peserta yang menjadi coach atau fasilitatornya. Pengaturan seperti ini menantang keterampilan peserta yang berperan sebagai coach atau facilitator membangun rapport, menggali problem state dan mengarahkan klien untuk mendapatkan solusi.

Supaya semua teknik ditampilkan di depan kelas dan sebagai usaha mencegah peserta memilih teknik yang paling sederhana, maka diadakan sistem undian. Nah, dalam suatu sesi assessment, Anjana (bukan nama sebenarnya) mendapat kesempatan mempraktekkan teknik Parts Integration.
Barangkali ada baiknya saya jelaskan terlebih dahulu sepintas teknik NLP Parts Integration ini, siapa tahu ada pembaca yang kurang atau belum familiar.

Pada dasarnya teknik ini dapat membantu seseorang yang merasa tidak congruent, misalnya ia merasa pada satu bagian ia ingin segera menyelesaikan suatu tugas yang membosankan, namun pada bagian lain ia merasa sesuatu sedang menahannya, dengan kata lain terjadi konflik internal. Proses yang dilakukan dengan Parts Integration adalah mengintegrasi kedua bagian yang berkonflik tersebut. Sebab, filosofi NLP tidak pernah menegatifkan perilaku (behavior) suatu bagian, maka bila kedua bagian tersebut dapat diidentifikasi dan digali maksud positif di baliknya kemudian diintegrasikan justru dapat memunculkan  suatu state positive. Proses pengidentifikasiannya tentu saja melibatkan positive intention dari bagian-bagian yang mengalami konflik itu. Setelah itu, atas “seijin” bagian-bagian tersebut, fasilitator membantu klien untuk memindahkan bagian-bagian yang konflik ke sepasang tangannya supaya dapat diintegrasikan secara kinesthetic. Sebagai contoh, bila salah-satu bagian yang konflik itu dirasakan berada pada daerah tengkuk atau leher, sedangkan bagian lainnya berada di punggung, tentu saja sulit melakukan simbolisasi penyatuan, bukan?

Kembali ke Anjana, tentu saja ia berharap mendapatkan klien yang merasakan konflik atau dalam keadaan kurang congruent. Nyatanya, ketika memilih klien dengan menarik undian—lagi, ia mendapatkan seorang peserta yang jauh dari harapannya. Peserta ini sebut saja, Mary justru ingin dapat bernyanyi di depan umum!

Keringat nervous mulai membasahi wajah Anjana, berkali-kali ia mengelap wajahnya. Saya memberi kesempatan kepadanya—siapa tahu Anjana dapat menemukan kepercayaan dirinya. Namun setelah lima menit berlalu, ia masih mengelap-ngelap wajahnya, saya terpaksa menginterupsi. Saya ajak dia menjauh dari Mary.

“Ada yang dapat saya bantu?” Tanya saya.

“Iya, Coach. Saya bingung nih, seharusnya saya menggunakan teknik New Behavior Generator untuk membantu Ibu Mary, tapi…ini Parts Integration, gimana nih?”

Saya memberi petunjuk kilat kepada Anjana, Mary ingin dapat bernyanyi di depan publik, bukan mau pergi ke Planet Mars, jadi mengapa ia tidak melakukannya sejak kapan-kapan, mengapa ia sekarang meminta bantuan Anjana? Saya curiga ada bagian tertentu dalam dirinya yang berusaha menahannya selama ini dan tentu saja ada bagian lain yang mendukung pula. Saya menganjurkan Anjana mengidentifikasi bagian mana yang mendukung dan bagian mana yang menahan Mary untuk bernyanyi di depan umum.

Dukungan saya agaknya menentramkan Anjana sehingga ia dapat membangun rapport yang intens dan memulai proses Part Integration dengan efektif.
Anjana meminta Mary rileks, dan membimbingnya untuk mendeteksi sinyal-sinyal dari sub-consciousness-nya, “Bagian mana yang memberikan sinyal mendukung ibu untuk bernyanyi di depan orang banyak?” Tanyanya penuh perhatian. Rapport yang terbangun juga membantu Mary berkonsentrasi.

“Pita suara saya.” Jawab Mary sambil menyentuh lehernya sendiri.

“Dan bagian yang terasa mencegah ibu?” Tanya Anjana.

“Hmmm…(berdiam sejenak sambil memejamkan mata) pipi kiri saya terasa panas. Nggak nyaman.” Jawab Mary setelah ia menuruti permintaan Anjana untuk semakin rileks dan berkonsentrasi.

Singkatnya Anjana dapat memfasilitasi Mary dengan mulus. Sinyal atau pesan yang disampaikan oleh pita suara Mary adalah bahwa ia memiliki suara yang indah, ia pernah belajar bernyanyi ketika muda. Sangat sayang jika ia menyia-nyiakan karunia tersebut. Sedangkan pesan yang dideteksi berupa rasa panas atau tidak nyaman di pipi kiri memiliki postive intention (maksud positif) untuk menghindarkan Mary ditertawakan karena “berani-beraninya” bernyanyi di depan umum pada usia 60-an tahun. Setelah pesan dan positive intention diterima, serta ingin saling menguatkan, Anjani membantu Mary memindahkan kedua bagian tersebut—pipi kiri dan pita suara—ke masing-masing tangan yang dipilih sendiri oleh Mary. Pada saat proses integrasi terjadi Mary dapat merasakan antusiasme untuk bernyanyi dan dia benar-benar melakukannya dengan indah di depan kelas! Saat itu juga!
Setting di ruang kelas dibuat semirip
mungkin dengan kenyataan. 
Pergulatan yang dialami Anjani di awal sesi proses itu menjadi pelajaran yang berharga bagi peserta-peserta pelatihan lainnya. Salah-satu filosofi NLP adalah behavioral flexibility. Filosofi ini bukan hanya dapat membantu kita memilih cara berbeda bila cara yang pertama dan cara-cara lama tidak memberikan hasil yang kita harapkan, namun sekaligus menunjukkan bilamana kita bersikap fleksibel dan penuh percaya diri, maka tool (alat) apa saja yang kita kuasai dengan baik dapat digunakan untuk membantu klien mengatasi masalah apa saja. Barangkali itulah kelebihan “ilmu gathuk” yo?!

Comments