Menelusuri Asal Usul Kata 'Cina'

Artikel di bawah ini saya kopas dari Forum Diskusi Budaya dan Sejarah Tionghua. Sebagai seorang Indonesia keturunan Cina saya merasa tulisan ini sangat bagus dan perlu diketahui oleh orang banyak. Awalnya saya ingin melakukan riset kecil-kecilan sehubungan dengan dikeluarkannya Keppres No. 12/2014 yang ditandatangani oleh Presiden SBY 14 Maret 2014. Keppres ini mengubah secara sah sebutan Cina atau China menjadi Tionghoa. 
Sebagai salah-satu warga negara naturalisasi dari warga negara Tiongkok, saya sesungguhnya pernah sangat tidak suka disebut Cina. Namun membaca tulisan dari FDBST di bawah ini, saya merasa "somehow" Keppres di atas malah melahirkan satu lagi kata salah kaprah. 

Kata Cina tentu saja (seharusnya) tidak berlaku lagi untuk saya setelah naturalisasi dengan Instruksi Presiden (Soeharto) No. 2/1980. Saya lebih tepat--tidak saja dianggap/disebut melainkan diperlakukan dan berlaku sebagai Orang Indonesia. Hal ini yang sering saya beritahukan kepada teman-teman manca negara saya dan terutama bagi mereka yang mengira saya orang dari RRC, ROC (Taiwan), Korea atau Jepang, saya selalu menjawab: I am Indonesian." Saya orang Indonesia." Beberapa kawan saya akan bertanya lagi: "Oh really? But you aren't looked like some other Indonesian I knew." Dan saya akan menjawab: "Yes, my ancestor was from China, but I was born in Indonesia and I am Indonesian." 
Ya, itulah kenyataannya, saya keturunan suku Hakka dari Daratan Tiongkok tapi saya bukan orang Tiongkok (Negara Tengah). 

Seperti tulisan dalam Forum Diskusi Budaya dan Sejarah Tionghoa di bawah ini sebenarnya yang perlu diubah bukanlah cara menyebutnya, tapi perilaku merendahkan itu sendiri. Saya pernah mengalami beberapa kali perlakuan seperti itu. Seorang teman sekolah di SMA pernah memperlakukan saya secara menghina dengan berkata (kurang lebih): "Dasar Cina kau!" Nah, seharusnya dia dapat bersikap lebih sopan dan menghindari sikap rasial dengan to the point apa yang diinginkannya. 

Tahun 1995 saya mengurus KTP DKI Jakarta, di Sudin Kependudukan, ketika sedang mengantri saya mendengar sebuah nama, yaitu: Maria Fransiska, dipanggil untuk maju ke loket dan dia diminta membayar sekian ratus ribu rupiah. Orang tersebut mengatakan: "Kok bayar? Saya asli Menado?" 
Petugas menjawab: "Oh, asli Menado? Namamu dan tampangmu seperti orang Cina sih. Ya, sudah, tidak perlu bayar kalau begitu." 
Di belakang Maria Fransiska, saya menggigit bibir. Nama saya tiga suku kata, tidak bisa lagi mengelak dan saya diharuskan membayar Rp 750.000. 

Tentu saja perlakuan diskriminasi yang pernah saya terima tidak hanya itu saja. Tak terkirakan pula rasa sakit di hati ini ketika harus menjadi saksi yang membisu. Teman sekelas saya menyandang nama tiga suku kata, pintarnya bukan main, tapi ketika sekolah kami harus memilih mengirim satu dari dua kandidat mewakili sekolah, teman saya tersingkir. Soegeng yang tidak begitu pintar itulah yang dikirim sebab dia orang pribumi. Puncaknya tentu saja peristiwa Mei 1998. 

Jadi Keppres 12/2014 hanya akan menambah kesalahkaprahan dalam berbahasa saja bilamana perilaku rasial dan diskriminatif masih terus berlaku. Karena sudah terbiasa, saya pun rasanya sulit mengubah sebutan Cina ke Tionghoa (dialek Hokkien) atau Zhungfa (Mandarin). Walaupun bunyinya menabuh sakit di dada, tapi Cina sebenarnya adalah kata yang benar dan saya adalah orang Indonesia keturunan Cina. 

Supaya lebih jelas, silakan simak tulisan dalam Forum Diskusi Budaya dan Sejarah Tionghoa di bawah ini.

Kata Cina dalam Bahasa Indonesia, yang sejatinya merupakan serapan dari kata Inggris, China, seolah telah menjadi 'momok' bagi masyarakat Zhonghua Indonesia.
Kata yang terdiri dari 4 huruf ini seolah menjadi 'anak haram' yang justru ramai-ramai 'dilarang' pada era keterbukaan pasca rezim Orba.
Terdapat berbagai pandangan dalam menolak kata tersebut. Satu pandangan, yang dianut mayoritas, berpendapat bahwa kata tersebut adalah kata penghinaan yang dipakai Rezim OrBa. Pandangan lain menyebutkan kata China, merupakan nama yang diberikan barat kepada Zhongguo bukan merupakan nama Zhongguo menyebut dirinya. 

Untuk kedua pandangan tersebut, memang dua-duanya adalah mengandung "kebenaran". Kata Cina, dalam berbagai interaksi sosial di Indonesia, pada beberapa daerah memang pernah dipakai sebagai panggilan merendahkan atau bertujuan 'mencari masalah'. Walaupun kemudian mengapa ditimpakan ke kata, bukan pada aktivitas merendahkan atau 'mencari masalah' nya tersebut, justru mengundang pertanyaan tersendiri. Pandangan mengenai kata China bukanlah nama negara sah, karena diberikan begitu saja oleh asing. Justru memunculkan debat panjang pada para ahli di level Internasional selama berabad-abad. 

Jadi kata China, yang memang sudah menjadi polemik karena asal-usulnya yang tidak jelas, kemudian ditambah lagi penyebutan tidak semestinya pada sebuah masa di Indonesia, sehingga dipandang sebagai kata negatif. Kata Cina dianggap sebutan penghinaan juga pernah dialami oleh negara Jepang. 

Menurut Joshua A Fogel, Aksara Jepang Sinna (支那) merupakan aksara netral yang berasal dari Text Buddhisme yang asalnya justru dari Zhongguo. Awalnya Jepang mengenal Zhongguo berdasar nama dinasti sesuai jaman-jamannya. Walaupun ada dikenal juga kata seperti Ka Ka (Hua Xia), Cudo (Zhongtu). Di Jepang, kata Sinna, hampir setali tiga uang dengan di Indonesia. Untuk menghormati perasaan orang Zhongguo (yang menganggap Sinna sebagai sebutan hina untuk mereka selama perang Sino - Japan), Jepang pun memberangus penggunaan kata Sinna dan diganti dengan Chugoku.

Pada masa terbentuknya PRC, Jepang resmi mengganti istilah Sinna menjadi Chugoku. 
Walaupun Chugoku sebenarnya adalah nama provinsi di Jepang, pada bagian barat pulau Honshu yang meliputi wilayah Hiroshima,Yamaguchi, Shimane, Tottori, Okayama (山陰山陽地方 San'in san'yō-chihō). Jaman dahulu, Jepang dibagi atas 近国 kingoku, 中国 Chugoku, 遠国 Ongoku. Pemilihan Chugoku mungkin karena memiliki aksara yang sama dengan Zhongguo (negara tengah). 

Daripada kita terus terlibat dalam diskusi maupun debat kusir tidak berawal dan tidak berakhir, bukankah lebih baik kita menelusuri dahulu asal usul kata China yang di-Indonesiakan menjadi Cina tersebut? Apakah kata tersebut memang menghina atau dirasakan menghina oleh sebagian orang? Hal ini tentu diharapkan bisa kita jawab sendiri setelah mengetahui asal-usulnya (sejarahnya).

Seperti kita ketahui, nama negara di dunia ini, dinamakan secara exonym maupun endonym. Exonym adalah nama yang diberikan oleh orang luar terhadap negara tersebut. Seperti Zhongguo disebut China,  Bharat kita kenal sebagai India, Nippon secara exonym adalah Japan, Deutchland - Germany, dan lain lainnya. Sedangkan Endonym adalah nama menurut orang-orang dari negara tersebut, Seperti hanguk, zhongguo, Nihon. 

Sebagai sebuah negara sebesar dan dengan sejarah sepanjang Zhongguo, pastilah memiliki perkembangan jaman yang dicatat oleh masing-masing negara lain dengan nama berlain-lainan. 
Secara Exonym, nama Zhongguo biasanya sesuai nama Dinasti yang berkuasa. Sejarah mencatat beberapa nama panggilan untuk Zhongguo sesuai masa-masanya:
Mulai dari Sebelum Masehi (BCE-Before Common Era) ada Chin, Seres, Ser, Cin.
memasuki Masehi (CE - Common Era) ada: China, Kina, Cathay, Tabgach, Nikan, Kara, Morokoshi, Mangi

Zhongguo atau untuk memudahkan menggambarkan tujuan dalam tulisan ini, selanjutnya saya sebut China sendiri secara endonym masih memiliki banyak sebutan.
Seperti:

Zhongguo
Bukti sejarah tertua yang menyebut kata Zhong Guo adalah artifak He Zun dari kerajaan Zhou Barat yang tersimpan di Museum di Baoji, Shaanxi.
Konsep zhongguo pada masa ini (Zhou Barat) jelas bukan merefer pada kata Negara seperti konsep negara di era modern. 

Han
Sebutan untuk orang-orang utara pada masa dinasti Han, untuk membedakan diri (orang utara asli) dengan orang asing.
Pada jaman Yuan, Han dikelompokkan sebagai bangsa tersendiri.
Pasca Qing, Han menjadi orang Cina.

Tang
Orang Selatan lebih suka menyebut dirinya Tang Ren 
Hal ini terlihat secara sangat kasat mata dari semua kelompok dialek Han-Selatan yang bermigrasi ke Asia Tenggara terutama Indonesia dalam hal ini: 

"Teng Lang, Tong Yan, Tong Nyin"

dan menyebut Negaranya adalah TangShan : Teng Sua (Teng Snua), Tong San. 
Hal ini bisa secara kasat mata kita amati dalam kehidupan sehari-hari (di Indonesia) dalam bahasa dialek yang notabene minim terpengaruh oleh gejolak dunia dan perkembangan sejarah: 

Huaxia
Xia kemungkinan merujuk pada Dinasti Xia.
Kata ini dipakai hanya dalam bahasa tulisan (sastra).
Kata ini untuk menggambarkan lembah Huang He yang subur (yang artinya makmur pada jaman dahulu).
Kata Huaxia populer sebelum kemudian digantikan kata Han yang menjadi Populer.

Tianxia
kata ini populer pada jaman dahulu, 
populer kita saksikan pada karya2 sastra.

Jiangshan
atau Sungai dan Gunung.

Shenzhou
secara literal artinya Tanah Dewata. 
Merujuk pada dunia

Jiuzhou
Merujuk pada sembilan wilayah disekitar huang he

Sihai
Merujuk pada 4 lautan. 

Dalu 
atau daratan utama, masih banyak dipakai pada saat ini oleh untuk orang-orang Chinese Overseas menyebut orang dari negara Zhongguo ( dalam hal ini PRC) .


Tulisan berikut, adalah berisi gambaran perkembangan dan perdebatan asal usul kata Cina lebih dari  3 abad terakhir. Apakah kata Cina adalah sebuah exonym atau justru merupakan endonym, yaitu sebutan dari dalam Zhongguo sendiri? 

Teori-teori asal usul kata China

Pencarian asal-usul 'Cina' ternyata sudah menjadi concern masyarakat Internasional bahkan sejak abad ke-19. Beberapa karya tulis yang mencoba menggambarkan asal-usul kata China. Tercatat teori yang paling populer yang dianut dimana-mana, adalah buku dari Jesuit Martino Martini Novus Atlas Sinensis (1655). Yang menyebutkan asal usul China adalah dari kata Qin pada dinasti Qin. Teori China berasal dari Qin, dipercayai sampai abad ke-19. Berthold Laufer dalam bukunya The Name China, mengatakan bahwa pendapat ini bukan pendapat pribadi Martino Martini melainkan bersumber dari text Buddhist Tibet Grub-mt‘a šel-kyi me-long(1). 

Pada abad 19, Baron Ferdinand von Richthofen (2), mengatakan kata 'China' mungkin berasal dari daerah Rinan (日南) yang sekarang menjadi wilayah Tonkin, Vietnam. (3). Pendapat ini dibantah oleh Terrien de la Couperie, Terrien malah mengusulkan kata China berasal dari Dian, sebuah politi di daerah yang sekarang dikenal sebagai Yunnan. Kesamaan bunyi (phonetik) Dian dengan China menurut Terrien yang menyebabkan kata Dian berevolusi menjadi China. Kedua pendapat ini kemudian dipatahkan oleh Herbert Giles yang mengatakan kedua teori tersebut hanya menebak dan kembali menyatakan kata China adalah berasal dari dinasti Qin (3).

Perdebatan baru, kembali muncul pada 1911. Kali ini kesimpulan didasarkan kepada pandangan kata Cina adalah bersumber dari India. Pendukung teori ini menyatakan bahwa kata China sudah ada jauh sebelum dinasti Qin. Adalah Hermann Jacobi, seorang pakar Sankrit mendasarkan teorinya kepada kata Cina yang terdapat dalam karya India, Arthasastra,  didalamnya terdapat kata “kauceyam cīnapattācca cīnabhūmijā" tertanggal 300BCE(5). Pandangan ini kemudian didebatkan oleh cendekiawan China,  Xia Zheng You (夏曾佑), yang menyatakan bahwa dalam teks India dimaksud Cina disana adalah sebutan untuk perbatasan(6). Melanjutkan thesis Xia Zheng You, kemudian muncul Ge Fang Wen (葛方文) yang mengusung teori, kata Cina merupakan terminologi untuk kata 'Timur' dalam bahasa India, jadi menggambarkan perbatasan timur India (7). 

Shu Zongxiang (苏仲湘) dalam bukunya menyarankan hal baru, asal kata Cina bukan Qin melainkan negara kuno bernama Jing (荆) (8)

Tetapi, dengan beragam teori dan pendapat yang saling mendukung dan saling membantah, bagi kita akan timbul satu pertanyaan. Baik berasal dari kata Qin dan kata Jing, semuanya merupakan satu suku kata. Sedangkan kata Cina/China adalah terdiri dari dua suku kata (dibunyikan dengan dua silabel). Dan bagaimana menjelaskan asal kata India Cina yang banyak dipakai dalam karya sastra kuno India? Ternyata ada teori lain yang lebih memuaskan.

Teori Yelang sebagai asal kata Cina

Dalam tulisannya, Geoff Wade menceritakan mengenai Yelang.  Yelang dalam bahasa Mandarin modern, memiliki aksara berbentuk:
夜郎. Mengingat, bentuk aksara Hanzi berubah-rubah dari jaman ke jaman. Maka para peneliti hanya bisa merekonstruksi bunyi yang kira-kira sama untuk aksara-aksara kuno. Edwin Pulleybank merekontruksi kata Yelang dan kira-kira bunyinya pada jaman dulu adalah  jiah lang(9). Yelang/Jiah Lang adalah sebuah nama politi besar pada masa dulu yang terletak pada selatan politi Shu (sekarang merupakan daerah Sichuan). Daerah ini termasuk dalam daerah berbahasa dialek Yi.

Salah satu teks kuno yang relevan menghubungkan Yelang dengan phonografi Cina adalah Yelang shi zhuan (10). Dalam Yelang Shi Zhuan , tertanggal 500BCE,  terdapat syair yang bercerita mengenai ʐina (Yelang). Sebuah Clan di bantaran sungai T'i zi (Taiye - 太液 ), dan pembentukan politi bernama Yelang. 

Perhatikan teks syair berikut :


Perhatikan Aksara pada gambar berikut :


Menurut Geoff Wade, orang-orang Yelang menyebut diri mereka Zina (dibunyikan Cina). Zina secara aksara modern adalah dibaca Yelang. Yang pada abad pertengahan dibaca Jiah Lang (Pulleyblank).
Mengapa Yelang? Karena menurut text kuno, Yelang digambarkan sebagai sebuah politi besar yang merupakan pintu gerbang ke anak benua dan Asia Timur. Sehingga dari sinilah ditarik kesimpulan bahwa kata inilah yang merupakan sumber dari bahasa Sankrit 'Cina' (चीन), yang banyak tertulis pada Mahabrata (ditulis sebelum jaman Qin) sehingga menjawab keraguan mengenai asal dari Qin. 


Kesimpulan:

Menurut saya sendiri, pandangan Geoff Wade ini patut dipertimbangkan, walaupun saya masih kurang puas dengan asal kata Ye Lang yang dikaitkan dengan penduduk lokal yang menyebut diri mereka Zina. Beberapa poin teori Geoff Wade memang membuktikan asal kata 'Cina' India. Karena secara logika saya, tidak mungkin bangsa India kuno bisa memberikan sebutan tanpa asal usul, mengingat kebiasaan negara-negara kuno selalu memanggil negara lain dengan nama kerajaan/dinastinya. 

Sekaligus teori ini menutup perdebatan mengenai teori Martino Martini yang bertentangan dengan teori India (kitab kuno India yang menyebut kata Cina jauh sebelum dinasti Qin ada). Juga kata Qin yang hanya satu suku kata, bagaimana dapat menjadi dua suku kata, darimana asalnya akhiran Na nya?

Beberapa hal yang perlu diteliti lebih lanjut adalah penduduk bernama Zina (baca: Cina).


(1) Laufer, “The name China,” pp. 720–21
(2) seorang ilmuwan petualang dari German, yang namanya pernah diabadikan sebagai nama pegunungan di China, sekarang bernama Gunung Qilian (祁连山)
(3) Ferdinand P.W. von Richthofen,  China: Ergebnisse eigener Reisen und darauf gegründeter Studien (Berlin, 1877), Vol. 1, pp. 504–10.
(4) Henry Yule and A.C. Burnell,  Hobson-Jobson: A Glossary of Colloquial Anglo-Indian words and Phrases, and of Kindred Terms, Etymological, Historical, Geographical and Discursive (London: John Murray, 1903), pp.196–98. 
(5) H. Jacobi, “Kultur-, Sprach- und Literarhistorisches aus dem Kautilīya,”  Sitzungsberichte der Königlich- Preussischen Akademie, XLIV (1911), pp. 954–73. See especially p. 961.
(6) 《 中國古代史》上海,商務印書館, 1933
(7) Ge Fangwen 葛方文, “Zhongguo mingcheng kao”《中国名称考》[A Study of the Names of China], in Huadong shifan daxue xuebao《华东师范大学学报》1981 年第 6 期. 
(8) Su Zhongxiang 苏仲湘, “Lun ‘Zhina’ yici de qiyuan yu Jing de lishi he wenhua” “论“支那”一词的起 源与荆的历史和文化” [On the origin of the term China and the history and culture of Jing], in  Lishi Yanjiu《历史研究》, 1979 年第 4 期, pp. 34–48.
(9) Pulleyblank, Lexicon of Reconstructed Pronunciation, pp. 364, 183
(10)  Wang Ziyao and Liu Jincai (eds.), Yelang shi zhuan, Chengdu, Sichuan minzu chubanshe, 1998. 王子堯, 劉金才 主編,《夜郎史傳》, 成都 四川民族出版社,1998. 

Sumber Referensi:

- On Japanese Expressions for "China " Joshua A. Fogel university of California, Santa Barbara ( http://chinajapan.org/articles/02.1/02.1.05-16fogel.pdf )
- Wade, Geoff, "The Polity of Yelang and the Origin of the Name 'China'", Sino-Platonic Papers, No. 188, May 2009. 
- berbagai sumber 
- Wikipedia

Comments