Belajarlah dari Susi Pujiastuti

Jangan jadi pengusaha kalau takut susah (karena harus kerja keras)
Business autopilot mode, bukan tanpa kerja keras terlebih dahulu. 

Sejak beberapa lima atau enam tahun terakhir ini saya sering mendengar istilah "bisnis autopilot". Saya kurang begitu peduli. Namun akhir-akhir ini berhubung saya harus menasihati beberapa pengusaha muda dan mereka baru saja mengalami kegagalan mengoperasikan bisnisnya secara autopilot, mau tidak mau saya menaruh perhatian.

Bagi saya, berbisnis itu sebuah venture, jika Anda tambahkan ad menjadi adventure yang berarti penjelajahan, perjalanan yang semestinya menarik seperti para penjelalah yang datang ke dunia baru. Kalau begitu, buat apa autopilot dan leyeh-leyeh? Dengan autopilot Anda tidak mungkin membesarkan bisnis semaksimal-maksimalnya.

Kata auto atau otomatis dan pilot adalah menerbangkan ke satu arah, ya, kita berbicara tentang menerbangkan pesawat tentu saja. Autopilot itu sendiri adalah instrumen dalam ruang kemudi pesawat. Supaya bisa dioperasikan  pesawat harus terlebih dahulu diterbangkan hingga mencapai ketinggian tertentu dan dalam keadaan stabil.  Ketika pesawat terbang secara autopilot biasanya pilot dan co-pilot beristirahat. Ongkang-ongkang kaki.
Tetapi para anak muda yang termakan istilah bisnis autopilot tidak mau tahu metode kerjanya, maunya mereka duduk di dalam kopit dan pencet tombol autopilot-nya langsung, maka pesawatnya akan take off sendiri dan membawa mereka ke tempat tujuan yang diinginkan. Naif sekali.

Orangtua juga sering melakukan kesalahan, terutama yang berduit. Mereka mendirikan perusahaan yang tidak sanggup diusahakan sendiri dan berharap dapat dibesarkan oleh anak-anak mereka yang sejak kecil hidup nyaman. Tetapi belajarlah dari pengusaha sukses mana saja, mereka bekerja keras, berpikir keras, terus-menerus melakukan inovasi. Mereka tidak langsung sukses, melainkan harus babk-belur karena terjatuh dan bangkit kembali berulang kali.

Seharusnya sebelum belajar autopilot kita terlebih dahulu belajar dari para pengusaha sukses di atas Bumi ini, maka sudah dapat dipastikan mereka semua bekerja keras di awal usahanya. Belajar saja dari Susi Pujiastuti yang baru saja dipekerjakan sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan dalam Kabinet Kerja RI. 

Berani bermimpi, berani bangun pagi-pagi dan bekerja keras untuk mewujudkannya.
Kini bisnis Susi Pujiastuti sudah bisa autopilot.
Hari ini boleh jadi bisnis-bisnisnya sudah bisa autopilot, kalau tidak akan berabe sekali harus merangkap sebagai menteri.  Tapi ia memulainya dari bakul ikan. Bakul ikan adalah sebutan untuk pengepul hasil laut tangkapan nelayan, yang dilakukan oleh kaum wanita. Tahun 1983, berbekal Rp750.000 hasil menjual gelang keroncong, kalung, serta cincin miliknya, Susi mengikuti jejak banyak wanita Pangandaran sebagai bakul ikan. Tiap pagi di jam-jam tertentu, Susi nimbrung bareng yang lain, berkerumun di TPI (tempat pelelangan ikan), menjadi peserta lelang. Ia harus dapat menaksir cepat berapa harga jual ikan-ikan di keranjang yang sedang ditawarkan juru lelang, memperkirakan kepada siapa ikan-ikan itu akan dijual, dan dengan cepat memutuskan untuk membeli ikan-ikan yang dilelang itu atau tidak. 

Sungguh  bukan pekerjaan mudah bagi Susi yang masih muda dan drop out SMA ini. (Saya baru menyimak wawancara yang dilakukan Prof. Rhenald Kasali, ternyata Susi beralih dari jualan bed cover ke bisnis pengepulan ikan karena menikah dengan suami yang bekerja di bidang tersebut). Di hari pertama misalnya, ia cuma berhasil mendapatkan 1 kilogram ikan saja, pesanan sebuah resto kecil kenalannya. Esoknya, setelah ia mulai lebih bisa meyakinkan calon pembeli, ikan yang didapat lebih besar lagi jumlahnya. Tiga kilo, tujuh kilo… begitu seterusnya. Tak jarang, ia juga salah taksir hingga merugi saat ikan-ikan yang dibelinya harus dijual lagi. Bahkan, tak jarang pula pemesan ingkar, tak jadi membeli ikan dari bakul Susi. Semua itu dinamika kerja bagi Susi, yang mesti dilalui di bidang apa pun. Belajar dari pengalaman.

Hanya karena Susi terjun sendiri mulai dari titik paling bawah, maka ia cepat belajar dan menangkap peluang besar yang mungkin tidak terlihat jika ia tidur saja dan mengaktifkan autopilot. Cuma setahun Susi berhasil menguasai pasar Pangandaran, dan bahkan pasar Cilacap yang bisa ditempuh dalam tempo tiga jam bermobil dari Pangandaran. Kian maju usahanya, Susi pun mulai mengusahakan perahu untuk disewa nelayan. Hasil tangkapannya ia beli dengan harga yang baik. Dari satu dua perahu, kini ada ratusan perahu di Pangandaran dan Cilacap yang diakui nelayan penggunanya sebagai ‘punya Ibu Susi’.

Karena terjun langsung, Susi menemukan ide, dan didukung oleh pengetahuan dari hasil belajar langsung, dan sudah terampil pula, maka ia mulai merambah pasar di luar Pangandaran dan sekitarnya. Sasarannya, kota besar. Bukan, bukan Bandung, apalagi Ciamis ataupun Tasikmalaya. Ia menyasar Jakarta, yang menurut perhitungan Susi penduduknya memerlukan pasokan banyak ikan. “Puluhan ton ikan segar tiap hari masuk ke Jakarta, dan selalu terserap habis! Intinya, ya, itu tadi… harus segar!” ucap Susi, yang cuma beberapa bulan saja jadi bakul, untuk kemudian meningkat jadi pengepul besar hasil laut.

Segar! Inilah kata kunci yang ditemukan Susi dalam melakoni bisnis hasil laut. Tetap, bagaimana membawa ikan ke pasar sesegar saat ikan diangkat nelayan dari laut? Sementara, ia tahu pasar besar itu ada di luar sana, berpuluh bahkan beratus kilometer jaraknya dari Pangandaran. Bagaimana hasil laut yang dikumpulkannya dari para nelayan yang menyewa perahu-perahunya, bisa sampai ke pasar dalam keadaan segar? Ia berusaha menemukan solusinya, bukan autopilot—kembali ke tempat tidur dan bermimpi sementara pesawat terdiam di hangar!

Kerja keras! Kerja cepat! Belum bisa autopilot dong! Saya mesti bisa berpacu dengan waktu! Nah ini dia! Solusi untuk memasok ikan ke Jakarta dalam keadaan segar.  Saya mulai mengusahakan mobil untuk mengangkut ikan-ikan yang berhasil saya kumpulkan,” katanya. Dari sekadar menyewa, ia pun lantas membeli truk dengan sistem pendingin es batu, dan membawa hasil laut ke Jakarta. Dari sekadar membawanya langsung ke pasar-pasar di Jakarta, sampai kemudian ia menemukan pelanggan yang mau menerima langsung ikan-ikan yang dibawa truk-truknya. Bahkan kemudian ia dipercaya oleh beberapa pabrik sebagai pemasok tetap ikan segar untuk ekspor.

Tiap hari, pukul 15.00, saya berangkat dari Pangandaran. Sampai di Jakarta tengah malam. Mandi dan istirahat sebentar, lalu balik lagi ke Pangandaran,” kata Susi tentang rutinitasnya. Bertahun-tahun itu dilakukannya. Di mobil, sering ia tak sekadar tidur, istirahat menjaga kesehatan, tetapi juga berpikir keras bagaimana membesarkan usahanya. Bagaimana menerbangkan pesawatnya di atas ketinggian 30 ribu kaki yang tenang.

Karena ia berpikir. Karena ia bekerja keras. Karena ia bekerja cepat dan karena ia berpikir maka suara kodok pun memberinya inspirasi untuk menggapai dolar dan yen. “Saya amati, sepanjang kawasan Cikampek hingga Karawang itu, kalau malam selalu ramai oleh suara kodok,” katanya.  Ada banyak pencari kodok di kawasan itu. Kodok hidup laku di pasar Glodok. Bahkan, ada orang yang ingin membelinya untuk diekspor ke Singapura dan Hong Kong. Peluang bisnis yang tak Susi sia-siakan. Dalam perjalanan Pangandaran-Jakarta pun ia tak pernah lupa mampir ke sentra-sentra pengepul kodok itu, membawanya sekalian ke beberapa pasar di Jakarta. Tak heran bila di tempat-tempat itu ia sempat juga dijuluki ‘Susi Kodok’!


Nah, jika Anda adalah seorang pengusaha pemula yang bermimpi untuk membesarkan bisnis Anda berkali-kali lipat, tanyakan pada diri Anda sendiri, "sudahkah aku bekerja keras dan berpikir keras?" Saran saya, sebelum bisnis Anda stabil di tempat yang tinggi janganlah berpikir tentang autopilot!

Comments