Kesempatan Coaching Orang Lain


Mengacu kepada pendapat Sir John Whitmore: "Coaching adalah bentuk komunikasi yang sangat mengagumkan", saya berkesempatan mengujinya setelah diuji hari ini. Ceritanya saya tahan dulu sebentar.  Mari kita sepahamkan terlebih dahulu tentang arti 'komunikasi'.

Komunikasi diterjemahkan dari bahasa Inggris communication berasal dari bahasa Latin commūnicāre yang berarti 'membagikan', atau perbuatan menyampaikan pesan-pesan dari satu individu atau kelompok kepada yang lainnya dengan menggunakan tanda-tanda, simbol, dan kesepakatan tata cara yang dipahami oleh pihak-pihak yang melakukan kegiatan ini.

Dengan kalimat yang lebih sederhana, komunikasi adalah proses pertukaran informasi antara individu yang satu dengan lainnya menggunakan simbol (bahasa adalah simbol), tanda-tanda dan perilaku. Komunikasi melibatkan pihak pengirim, pesan atau informasi yang ingin disampaikan, dan pihak penerima.

Di luar konteks coaching, komunikasi selalu dikaitkan dengan pembicara publik, pesan atau informasi melalui sosial media online maupun cetak. Dalam konteks tersebut komunikasi lebih condong satu arah, langsung, dan terbatas. Artinya satu pihak memiliki informasi atau pesan yang ingin disampaikan dan berinisiatif menyampaikannya. Respons yang diharapkannya bisa saja langsung atau tertunda untuk jangka waktu tertentu.

Kembali kepada pendapat Whitmore di atas, coaching sebagai bentuk komunikasi yang mengagumkan dan kesepahaman kita tentang arti komunikasi, maka sekarang kita dapat menganalisa dan menyimpulkan apakah selama ini kita melakukan komunikasi atau belum? Hipotesis sementara saya adalah kita telah melakukan komunikasi namun caranya belum tentu sudah benar.

Salah-satu asumsi NLP—"Berkomunikasi berarti menerima respons" (The meaning of communicarion is the response you get). Tentunya respons yang didapat belum tentu dengan respons yang ideal di mana penerima pesan mengetahui, memahami dan melaksanakan apa yang diharapkan oleh pengirim pesan. Jadi sukses tidaknya berkomunikasi adalah mendapatkan respons sesuai seperti yang dikehendaki pihak pengirim pesan. Pertanyaan saya kepada kita semua: Apa yang kita lakukan ketika respons yang kita harapkan sama sekali berbeda dengan yang kita mau? Kita meninggalkan the right way dan menempuh jalan "kekerasan" alias memaksa pihak lain untuk menerima kehendak kita. Yang terjadi tentu saja kita semua sudah tahu, semakin kita memaksakan dengan menjejalkan kata-kata, meninggikan intonasi dan mengeraskan suara, berperilaku mendelikkan mata, memberengut hingga memukul, maka semakin kita tidak bisa mendengar apa yang dikatakan orang lain dan semakin besar kesalahan paham yang terjadi.  

Itulah sebabnya mengapa coaching disebut komunikasi yang mengagumkan karena coaching mengajukan pertanyaan-pertanyaan berbobot dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memahami dirinya sendiri dan memahami respons yang seharusnya diharapkan darinya.

Sekarang saya akan ceritakan pengalaman diuji. Sejak siang (Rabu kemarin) saya menantikan pegawai dari sebuah perusahaan penyedia layanan servis AC. Satu jam dari waktu yang dijanjikan terlewati maka saya menelepon ke kantor perusahaan tersebut, dan mendapatkan jawaban bila petugas sudah tiba di kantor Badan Pengelola Lingkungan (BPL) Apartment serta sedang mengurus ijin melakukan pekerjaan. Namun hingga pk. 16.00 belum nongol-nongol juga, saya menelepon lagi. Jawaban masih sama, sedang mengurus ijin kerja di BPL. Tidak lama berselang, petugas yang sudah menunggu surat ijin tersebut menghubungi saya, mengabarkan bahwa mereka berdua tidak diijinkan oleh BPL. Saya memutuskan turun menjemput di basement di mana mereka masih tertahan. 

Ketika saya meminta Security di
basement untuk mengijinkan pekerja tersebut, Security meminta saya menunggu dan melaporkan melalui telepon kepada pegawai di kantor BPL. Setelah percakapan singkat, Security mengatakan bahwa petugas di BPL menolak memberi ijin dan meminta saya berbicara sendiri dengan pegawai BPL tersebut. Dan...saya pun melangkah ke "ruang ujian" yang saya dan Anda kenal baik sebab sudah sering kali masuk ke sana dan gagal.
Saya terjebak mengikuti pola-pola lama berkomunikasi yaitu: "berbicara cepat-cepat, banyak dan menekankan maksud tujuan serta kepentingan diri (ego)!" Kepentingan saya—tentu saja orang lain tidak pedulikan, adalah: AC di rumah saya kotor, bocor, dan tidak sejuk sehingga harus diperbaiki hari ini juga. Ditinjau dari kepentingan saya juga: hanya hari ini saya memunyai waktu untuk menunggui tukang AC, jadi demi kepentingan-kepentingan saya tersebut di atas, saya memaksa petugas BPL memberikan ijin kerjanya.

Petugas BPL tentu saja juga punya ego dan mempertahankan posisinya: "Tapi ini kan sudah lewat jam 4 sore, jadi tidak bisa...."

"Tapi kan mereka sudah datang sejak setengah tiga (padahal saya tidak tahu pasti soal ini), jadi jangan dipersulit." Tangkas saya. "Saya tahu Anda punya alasan demi keamanan, kenyamanan, dan bla-bla, tapi kan ini hanya servis AC, bukan mendodol tembok atau membongkar lantai yang dapat mengganggu kenyamanan tetangga!" Lanjut saya dengan jurus serangan "Wing Chun" dari jarak dekat.  

Agaknya manjur juga jurus Ronnie Yuen tadi sehingga petugas BPL itu menyerah: "Baik, saya kasih ijin, tapi kalau berisik saya hent..."

"Silakan kirim pengawas, nanti saya sediakan teh atau kopi dan kalau ada tetangga yang komplain silakan hentikan atau mau apa saja silakan!" Setelah badai berlalu saya berpikir: Ngapain juga saya omong banyak begini? "Tunggu sebentar kalau begitu."

"Loh, tunggu apa lagi?" Saya siap lagi dengan ancang-ancang menyerang.

"Saya harus lapor dulu ke atasan saya."

Tiba-tiba saya sadar diri. Saya tidak berkomunikasi sejak tadi dan jika sekarang saya membiarkan orang ini meneruskan birokrasi bertele-tele, justru pekerjaan servis AC ini tidak mungkin selesai tepat jam tenang, pukul 17.00 WIB. Saya cepat-cepat centering dengan menarik nafas panjang dan menyadari keadaan emosi saya saat itu. "Begini, Pak ..." Kata saya dengan nada suara tenang. "Apa kemungkinan terburuk yang akan terjadi kalau tukang AC diijinkan bekerja sekarang dan selesai paling lama satu jam kemudian?"

Hening.

"Apakah membersihkan AC menimbulkan kegaduhan seperti halnya dodol tembok, bongkar pintu atau mengebor, Mas?" Dengan nada Tai-chi kali ini.

"Kalau gaduh saya hentikan ya!" Mempertahankan ego. 

"Siap, Mas. Silakan kirim pengawas."

Wuih...!!! Akhirnya kedua penyervis AC diijinkan naik ke apartment saya dengan diantar oleh seorang Security. Setelah tiba saya mengucapkan terima kasih kepada Security sambil berkata: "Terima kasih ya Pak, supaya dapat mendeteksi apakah tetangga-tetangga akan mendengar suara gaduh atau tidak, Bapak terpaksa menunggu di luar nih. Saya akan menutup semua pintu supaya suaranya kedap. Kalau Bapak mendengar suara-suara silakan ketok pintu ya."

Jika Anda membandingkan kedua pendekatan saya di atas, Anda tentu setuju bahwa menggunakan cara berkomunikasi dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat (hanya dua pertanyaan) membantu kita menyampaikan pesan dan mendapatkan respons yang dikehendaki. Pada awalnya saya menggunakan pendekatan CRASHing dan setelah tersadar saya beralih ke cara COACHing. Tentunya tidak berguna menyesalkan apa yang menghentikan saya menggunakan pendekatan coaching sejak awal tanpa memetik hikmahnya.

Satu hal berharga yang saya pelajari dari kejadian keseharian ini adalah bahwa kita sering kali melupakan keterampilan berkomunikasi yang telah dimiliki dan malah memilih cara-cara keliru (tanpa sadar). Pola-pola berkomunikasi tidak efektif seperti itu sudah menjadi kebiasaan saya, terbentuk sejak kecil dalam lingkungan utamanya keluarga. Mengetahui cara berkomunikasi yang efektif seperti teknik coaching tidak otomatis menjadikan saya seorang komunikator efektif, saya membutuhkan latihan 10,000 jam dan terus-menerus berada dalam COACH state atau orang lain mungkin menyebutnya mindfulness, zen (begginner) mind atau awareness. Saya sangat berharap pengalaman saya di atas menjadi case study yang bermanfaat bagi Anda. 

Comments