Power of Now


“Menyadari setiap helaan nafas, setiap perubahan yang terjadi—detik per detik, maka kita akan hidup abadi. Tidak ada masa lalu yang menghantui atau memberatkan, tidak ada masa depan yang dicurigai atau dirisaukan. Semuanya hanya setiap detik yang kita sadari, waktupun berhenti meninggalkan kita atau merampok kita.” Begitu beberapa guru telah bersabda. Aku tidak tahu persis guru yang mana saking banyaknya. Dan kini aku sendiri mengikuti jejak mereka.

Sadarkah kita betapa ketika kita berusaha mengatur waktu, maka sebenarnya kita telah membuang-buang banyak waktu? Ketika seseorang menghangatkan sepotong roti dalam tungku gelombang, apakah ia membuang waktu dua menit atau lebih atau kurang? Ketika seseorang berkendara dari rumah ke tempat beraktivitas, apakah ia membuang-buang waktu 30 menit di kala lalu-lintas lancar atau 180 menit di kala kemacetan berkuasa? Ketika Anda menunggu makanan disajikan di restoran, apakah Anda membuang-buang waktu 20 menit atau bahkan 45 menit?
Jawaban atas semua pertanyaan di atas tergantung kepada penilaian masing-masing individu. Dan bersifat subjektif. Ketika Anda sedang terburu-buru, taksi online yang Anda pesan terasa lama sekali tiba di depan rumah. Ketika Anda sedang terburu-buru menuju suatu tempat, semua kendaraan di jalan seperti bersekutu memblokir laju kendaraan Anda. Ketika Anda sedang lapar, makanan yang Anda pesan disajikan sangat terlambat. Semuanya dinilai berdasarkan kesubjektifan pikiran kita.
Orang-orang bijaksana tidak lagi  dipermainkan kesubjektifan  waktu. Sebab pikiran, tubuh dan jiwa mereka sepenuhnya hidup di saat ini. Ketika mereka menunggu sepotong roti dihangatkan dalam tungku gelombang, mereka tidak menilai dua menit sebagai lama atau sebentar, sebab mereka terus hidup pada waktu 2 menit itu.  Ketika berkendara di jalan mereka sadar sepenuhnya;  sadar apa yang terlihat, terdengar dan perasaan di dalam maupun yang tercerap oleh inderawi. Ketika lalu-lintas sedang padat luar biasa, dan tarikan masa depan untuk segera tiba di tempat tujuan menggetarkan senar-senar marah, mereka menyadarinya dan menerimanya. Paling-paling orang-orang bijaksana itu memetik hikmatnya: “Lain kali aku akan alokasikan lebih banyak waktu untuk menempuh perjalanan serupa ini.”
Orang-orang bijaksana tidak membiarkan tekanan darahnya menanjak hanya karena pengendara-pengendara lain di depannya bergerak pelan, berhenti tanpa tanda, atau memangkas dari kiri dan melambat di depan moncong kendaraannya.
Orang-orang bijaksana belajar sesuatu yang bermanfaat ketika menunggu makanan disajikan di atas meja. Ketika orang yang hendak ditemui tak kunjung menongolkan diri, ia tidak kehilangan sabar, malah mendoakan atau memancarkan energy positif.
Selama tahun lalu Anda berhasil atau gagal mengatur waktu? Apakah Anda mampu menghitung berapa jam yang benar-benar digunakan untuk tidur? Anda tahu bukan, dari pukul nol-nol 1 Januari hingga pukul 23.59.59 31 Desember  total 365 hari atau 8,760 jam atau 525,600 menit atau 31,536,000 detik?
Bisakah Anda menghitung berapa jam terbuang karena Anda melamunkan masa depan dan mengenangkan masa lalu? Berapa lama waktu yang Anda gunakan untuk mandi, sikat gigi, berdandan dan menunggu entah; orang, tumpangan, antrian, atau sesuatu hal yang tidak pasti? Berapa banyak waktu yang Anda lanturkan begitu saja? Lalu apakah Anda harus mencatat secara detail detik per detik yang telah Anda manfaatkan? Tapi ya ampun…berapa banyak pula waktu yang dibutuhkan untuk mencatat dan menghitung itu?
Sesungguhnya apapun yang kita lakukan, tidak ada detik terbuang seandainya kita selalu memelihara kesadaran. Anda sadar sedang menyikat gigi. Anda sadar sedang mandi. Anda sadar sedang menunggu. Bahkan ketika pikiran mulai melantur sebagaimana naturnya, Anda sadar dan menarik kembali dengan penuh kelembutan. Juga saat Anda merasa marah, kegembiraan berlonjakan, kesedihan menenggelamkan,  Anda menyadari sepenuhnya. Itulah yang orang-orang memberi nama romantis kondisi sedemikian: mindfulness atau nama mengharukan: meditative, Eckhart Tolle menyebutnya The Power of Now, para guru Zen menyebutnya pikiran pemula. Apapun sebutannya, Anda berada di titik pusat Mandala kehidupan. Karena Anda berada di titik pusat, tak peduli secepat apapun kehidupan ini berputar, Anda tetap tak terguncang. Tenang bagaikan tiang penyangga langit dan tombak penenang bumi. Anda mengendalikan angin segemulai panji sutera dan mengalir seluwes air dari hulu menuju muara. 
Dunia memang kerap gempita setiap 365 hari. Menyebutnya meriah Tahun Baru, tanpa benar-benar sadar atau peduli apa artinya baru itu. Sebagian orang secara ngawur berusaha menutup lagi satu bab kehidupan dan berusaha menuliskan masa depan sebelum menyadari apa yang sedang dilakukannya hanyalah mengulangi kesia-siaan.
Di ruang kelas, orang bertanya kepada saya: Apakah hidup di saat sekarang berarti tidak perlu memiliki impian dan cita-cita? Ah, itulah pertanyaan yang pernah mengaluti neuron di dalam tenggorakku. Jawabku: Rancanglah apa yang ingin kau capai, dan berusahalah sungguh-sungguh untuk mencapainya. Sementara bekerja mencapainya, nikmatilah prosesnya dan sadari setiap detik yang kau lalui. Jika tanganmu meraih apa yang kau inginkan, hendaklah itu menjadi hasil yang bermanfaat bagi diri dan banyak orang lainnya, setidaknya tidak ada yang harus menderita. Nikmatilah prestasi gemilangmu penuh sadar. Seandainya impianmu masih tinggi menggelantung dan harapanmu masih lamur di tatapan, bersyukurlah penuh sadar telah memetik hikmat kehidupan. Prestasi itu bukan target yang kau kejar. Prestasi itu bukan ukuran. Tapi prestasi adalah cahaya usaha luhur meningkatkan mutu kehidupan.

Comments