Merawat Pikiran Di Tengah Pandemi Covid-19

Saya percaya kita semua pernah menyaksikan atau bahkan mengalaminya kondisi kesehatan yang diakibatkan stres, lalu timbul sakit pada bagian tubuh tertentu. Saya sendiri, selain sering kali menyaksikan dan membantu orang lain mengatasi gejala-gejala psikosomatik—ketika pikiran (ada yang menyebutnya jiwa) terganggu/sakit menyebabkan tubuh fisik merasakan akibatnya.  Saya  juga sering mengalaminya, tapi itu dulu. Tentu saja sebelum saya mempelajari teknologi berpikir seperti NLP, saya tidak paham dan secara asal saja minum obat-obatan lingkaran biru. Sakit kepala karena stres dihantam dengan obat-obatan anti nyeri (mengandung analgesic). Sejak usia belasan tahun saya sudah menjadi pelanggan obat sakit kepala yang dapat dibeli secara bebas di warung-warung. Untunglah, setelah belajar NLP dan mulai bisa mengendalikan stres, migrain dan sakit kepala dapat diatasi hingga akhirnya saya terbebas 100 persen. Setidaknya 10 tahun terakhir ini,  saya tidak pernah lagi menyentuh obat-obatan yang dulu harus selalu tersedia di kabinet obat dan dalam tas. Bersama hilangnya gejala sakit kepala hilang pula gejala tukak lambung.

            Pengalaman lain yang luar biasa adalah sering sakit di punggung setiap kali pikiran tegang. Tahun 2009 dalam perjalanan ke Santa Cruz untuk mengambil sertifikasi Master Trainer di NLPU,  dan setelah duduk di dalam kabin pesawat terbang lebih dari 12 jam, rasa nyeri di punggung tak tertahankan lagi.  Tentunya saya redakan dengan obat penahan sakit yang dibawa dari Indonesia. Hari kedua atau ketiga, dokter John Amaral, pendiri dan CEO Body Centered Leadership serta pemilik The Well Being Center di Santa Cruz melakukan presentasi di kelas kami. Keesokan harinya bersama beberapa teman saya berkunjung ke kliniknya setelah “termakan” promosi yang di-endors oleh Robert Dilts.

            Setelah antri sekitar 30 menit, saya mendapat giliran masuk ke dalam kamar terapi. Dokter berwajah ganteng lulusan Life Chiropractic College West itu meminta saya berbaring tengkurap di atas dipan terapi sementara ia menangani pasien-pasien lain. Suasana ruang terapinya sangat nyaman. Musik meditasi yang menenangkan, harum aroma terapi dari dupa yang dibakar serta tata ruang yang lembut spontan merasuki  pikiran saya dan menimbulkan rasa damai. Beberapa menit berbaring sambil mengatur nafas, saya mulai mendengar suara dan merasakan sinyal dari dalam pikiran berbicara kepada tubuh. Ada rasa sakit pada syaraf punggung, namun bukan nyeri yang menggigit, hanya kesadaran kalau punggung saya sedang menderita, rasa sakit itu terasa samar-samar atau seolah-olah berada di luar tubuh. Dengan cara seperti itu pikiran dan tubuh terus berkomunikasi selama beberapa menit berikutnya. Suatu rasa haru muncul, terasa seperti ketika dua orang sahabat karib bertemu kembali setelah berpisah sekian tahun dan mereka saling berbagi rasa dengan penuh pengertian.  Sebuah konsolidasi yang sangat mengharukan membuat air mata saya mengalir.

            Tak lama kemudian, Dr. John Amaral memeriksa saya. Ia menekan beberapa titik sepanjang tulang punggung, dari tengguk hingga tulang ekor. Saat itu rasa sakit sudah lenyap sama sekali dan saya kesulitan menjawab pertanyaan sang dokter apa saja gejala yang saya derita, sebab derita itu sudah berubah menjadi rasa damai. Akhirnya saya hanya bisa menceritakan rasa sakit seperti yang diingat pikiran sadar. Dr. Amaral mendiagnosis ada beberapa syaraf yang terjepit dan menganjurkan terapi pijat atau akupuntur. Tetapi anjuran tersebut tidak pernah saya ikuti, bukannya tidak mau, tetapi  sejak konsolidasi  pikiran - tubuh malam itu saya sudah lupa pernah sakit punggung. Dua minggu kemudian dalam perjalanan pulang dan transit cukup lama di Hong Kong, rasa sakit itu sempat muncul, namun saya tahu penyebabnya. Saya memikul ransel yang cukup berat. Saya segera mengistirahatkan tubuh saya dan meminta maaf, seketika rasa sakit itupun lenyap.  Pesan yang ingin disampaikan sudah diterima dan ditanggapi dengan lembut.

            Mewaspadai pandemi Corona yang entah kapan berakhirnya ini, saya ingin menambahkan bahwa, psikosomatik tidak melulu disebabkan stres karena pekerjaan maupun problem kehidupan yang nyata-nyata kita alami, tetapi juga dapat terjadi karena kita lalai mengelola pikiran kita. Sejak pertama kali terungkap penyebaran virus ini di Wuhan, Tiongkok, berita-berita yang memapar kita setiap hari sungguh luar biasa menekan. Belum lagi hoaks dan berita basi yang terus menerus ditayang ulang di berbagai media. Analoginya seperti mengunduh semua data dari Internet ke komputer kita tanpa pilih-pilih, maka jangan heran kalau akhirnya “mesin” ini kepanasan dan rusak. Berhubung aktif mengamati pergerakan indeks harga saham, saya menyadari juga adanya pihak-pihak tertentu yang membesar-besarkan kekhawatiran demi menggoncang harga. Kalau kita tidak waspada, ada kemungkinannya kita terserang virus pikiran sebelum benar-benar terserang virus Covid-19. Maka dari itu, rawatlah tubuh dan pikiran menurut naturnya masing-masing dan bersamaan, kapan saja, dalam masa tenang maupun masa-masa bergolak.

            Pendapat senada dapat kita petik dari filosofi Zen, tubuh dan pikiran bukan dua dan bukan satu. Jika kita berpikir bahwa tubuh dan pikiran adalah dua, itu keliru;  jika kita menganggap  mereka adalah satu, itu pun keliru. Tubuh kita dan pikiran kita adalah dua dan satu. Prinsip ini dapat dipahami bahwa, tubuh dan pikiran memang dua bagian yang berbeda, tetapi juga berhubungan erat dan saling terkait. Bila tubuh menderita, pikiran terpengaruh, namun di saat yang sama pikiran memiliki kemampuan untuk menerima dan menetralisir penderitaan itu. Tidak jarang terjadi penderitaan tubuh hanya merefleksikan ketegangan atau stres pada pikiran, dengan kata lain pikiran berusaha menggugah kesadaran ‘whole being’ atau satu kesatuan tubuh pikiran untuk melakukan penyembuhan.

            Dalam mempraktikkan teknik-teknik NLP, praktisi sering diharuskan berdiri dan berjalan dari satu spot ke spot lainnya dengan pola terstruktur. Suatu cara yang dinilai “berlebihan” oleh para psikoterapis dan hipnoterapis yang biasanya “menidurkan” klien mereka di atas sofa.  Beberapa peserta workshop dari setiap kelas yang saya jalankan akan bertanya di hari pertama tentang cara  berbeda ini:  “Tidak bisa dilakukan sambil duduk, Bu?”

Tidak bisa adalah jawaban standar yang saya saya berikan, dan saya tidak berkeberatan menjelaskan alasannya. Karena tubuh dan pikiran adalah dua dan satu, maka tubuh sering menyimpan pengalaman batin. Bila tubuh diforsil, pikiran akan bereaksi dan mengirimkan sinyal, mulai dari kedutan yang ringan hingga sakit yang hampir tak tertahankan di kepala atau syaraf tulang belakang. Bila pikiran terlalu tegang, otak akan melepaskan hormon adrenalin sebagai upaya penetralisirannya. Trauma masa lampau yang berusaha dilupakan sudah sering terbukti dapat dilacak dan ditemukan di suatu bagian tubuh. Maka mempraktikkan teknik NLP sambil berdiri dan berpindah dari satu titik ke titik lainnya tidak saja membantu mengaktifkan sirkuit-sirkuit sistem syaraf, tetapi sekaligus menciptakan kondisi bagi tubuh dan pikiran untuk saling bekerja sama. Memang ada beberapa teknik yang dilakukan sambil duduk di atas kursi (tanpa meja), tetapi itu disebabkan teknik-teknik tersebut berfokus pada gerakan-gerakan mikro seperti gerakan arah mata atau menitikberatkan pada penggunaan hipnosis (relaksasi) dan trance state.  

            Pendekatan ini ternyata sesuai prinsip Zen. Praktisi Zen berlatih meditasi zazen dengan postur tubuh tertentu—sering dianggap sulit—seperti yang dijelaskan panjang lebar oleh Shunryu Suzuki. Dalam tulisan ini tidak akan dibahas, sebab ini tentang NLP bukan tentang Zen,  jika Anda tertarik silakan membaca bukunya sendiri, Zen Mind, Beginner’s Mind.  Tetapi penting untuk dicatat di sini penjelasan Shunryu Suzuki yang ada hubungannya dengan tubuh dan pikiran sebagai kesatuan systemic: Hal yang paling penting adalah menguasai tubuh fisik. Jika tubuh goyah atau merosot, konsentrasi buyar dan pikiran mengembara ke mana-mana. Melatih diri duduk, berdiri dan berjalan dengan postur yang benar tidak hanya ketika sedang berlatih zazen, tetapi juga ketika berkegiatan lain, misalnya; sedang menyetir mobil atau membaca buku sama pentingnya dan sama bermanfaatnya.   

Comments