Wisdomnya Kita-kita



Neurological levels adalah metode yang disusun oleh pengembangan NLP Robert Dilts, bidang-bidang lain bisa saja menggunakan sebutan berbeda seperti menganalogikan dengan lapisan-lapisan bawang, tapi tolong dipastikan bahwa Anda sedang mempelajari sesuatu yang beda, apapun kata orang.

 

NeuroLogical Levels adalah level-level pembelajaran dan perubahan mulai dari yang paling conscious, perilaku atau behavior hingga yang paling unconscious; spiritual tiap-tiap individu maupun kelompok pada konteks ruang dan waktu. Yang dapat dipersepsi adalah perilaku masing-masing individu maupun kelompok yang berada dalam ruang dan waktu secara kontekstual.

 

Contoh: Perilaku pada konteks ruang dan waktu;

  1. Anda sedang membaca tulisan (menonton video) ini sekarang.
  2. Saya sedang menjelaskan NeuroLogical Levels dan merekam audio-visual ini di ruang kerja saya, pada waktu yang lebih dulu dibandingkan waktu Anda menontonnya.
  3. Pada 1 Mei sekelompok buruh berdemonstrasi di depan gedung DPR.

Melalui apa yang dapat dipersepsi secara indrawi contoh-contoh tersebut dapat dibayangkan dan diuraikan lagi “apa” dan “bagaimana”nya. Secara neurological levels, kita sudah menjajaki level perilaku; menonton, menyimak, berbicara, merekam, mencatat, mengetik dan lain-lain pada contoh 1, dan 2.

Berbaris, berkelompok, berteriak, mendorong, menaiki podium, menaiki bus, mengepalkan tinju, mengibarkan bendera, dan lain-lain untuk contoh ke-3.

 

“Bagaimana” menonton, mendengar, berbicara, berteriak, mengibarkan bendara, mendorong, berbaris dan perilaku macam-macam itu “dilakukan”? Dengan kata lain tingkat “kualitas” perilaku itu, maka kita sudah memasuki level yang lebih tidak sadar (unconscious), yaitu kapabilitas yang mengombinasikan pengetahuan dan keterampilan. Seseorang yang menonton video ini harus memiliki kapabilitas atau kemampuan tertentu, misalnya kecakapan berbahasa Indonesia.

 

Saya memiliki kapabilitas untuk menjelaskan neurological level, merekam audio visual dan meng-upload hasil rekaman yang cukup baik di platform youtube dan juga memasang tulisan ini di blog saya.

 

Kelompok buruh yang berdemo menguasai kapabilitas berjalan, meneriakkan yel-yel, berbaris, menyahuti provokasi pemimpin demonstrasi, saling dorong mendorong dengan aparat keamanan dan lain-lain. Kapabilitas-kapabilitas tersebut memungkinkan individu dan kelompok berperilaku efektif, tidak berhubungan secara langsung dengan baik atau buruknya suatu perilaku.

 

Yang memberikan nilai baik atau buruk adalah level neurological berikutnya, yakni nilai-nilai dan keyakinan (values and beliefs). Level ini mempertanyakan “mengapa” individu atau kelompok berperilaku (melakukan) hal-hal yang dilakukannya?

 

Mengapa Anda menonton video ini? Membaca tulisan ini? Apa sih yang memotivasi Anda? Apa motif Anda? Jawabannya hanya Anda sendiri yang tahu tentunya.

 

Mengapa saya membuat tulisan (video) ini? Apa yang memotivasi saya atau apa motif saya? Kalau pertanyaan ini saya tahu dong jawabannya: Nilai-nilai dan keyakinan yang memotivasi saya membuat video ini adalah untuk berbagi. Nilai “berbagi” ini menimbulkan keyakinan berbagi itu baik. Saya menginvestasikan waktu dan tenaga pikiran yang tidak sedikit, namun saya yakin akan menuai apa yang saya tanam. Jadi itulah motif saya; saya bermimpi banyak orang mendapatkan manfaat dari video ini dan saya mendapatkan traffic. Bagaimana saya mengukur pencapaian “memberi manfaat”? Saya mengharapkan umpan balik teman-teman tentunya dan traffic. Bila kedua indikator ini menunjukkan negatif, mungkin saat itulah timbul konflik, saya kehilangan motivasi menulis dan membuat video-video lain. Tapi bisa juga tidak terjadi konflik, karena ternyata di depan persimpangan jalan saya menyadari nilai lain yang lebih luhur daripada nilai berbagi dan traffic.

Teman-teman buruh, sebagai sebuah kelompok berbagi nilai-nilai kesejahteraan hidup, penghargaan, kelayakan dan sebagainya. Maka dari itu mereka berkeyakinan memperjuangkan nilai-nilai tersebut layak dan pantas dilakukan, salah satunya melalui berdemonstrasi. Tapi ketika suasana memanas, entah siapa yang mulai memancing kemarahan aparat keamanan, sehingga jadi ricuh, sebagian individu-individu boleh jadi mulai mengalami konflik nilai-nilai. Bagi mereka, menuntut hak dengan cara kasar bertentangan dengan nilai kesantunan, kerja sama, cinta damai, dan sebagainya. Kelompok individu yang tadi berbagi nilai-nilai dengan kelompok mayoritas mulai terjebak dalam situasi double binds atau dilematis antara melanjutkan demo atau mengejawantahkan nilai-nilai yang lebih hakiki bagi mereka.

 

Semakin ke level yang unconscious, nilai-nilai dan keyakinan memberi bentuk kepada jati diri individu. Yang suka belajar seperti Anda merasakan jati dirinya sebagai pembelajar. Yang senang berbagi seperti saya merasakan jati diri sebagai diri yang memberi manfaat. Nilai lain yang memotivasi saya terus menulis dan membuat video walaupun yang baca dan nonton dapat dihitung jari boleh jadi karena menghargai kesibukan dan kerja keras; capaiannya seperti gimana gak masalah, yang penting ada kesibukan, maka saya merasa jati diri “pekerja keras.”

 

Teman-teman buruh yang terus merangsak kepungan aparat keamanan yang mencegah mereka memasuki kantor Dewan,  mungkin dimotivasi nilai; “pantang mundur”. Hidup adalah perjuangan, apapun yang menghadang di depan harus dilawan, mungkin mereka merasa jati diri “pejuang” dan “pejuang” tidak takut mati. Mungkin saja nilai “kepahlawanan” yang memberi mereka alasan, sebab di mana pun (kecuali dalam cerita fiksi Marvel) “Hero” adalah predikat yang diberikan bagi mereka yang sudah gugur dalam perjuangan, tapi maksudnya pengarang Marvel itu “hero” artinya “jagoan”. Sedangkan kawan-kawan lainnya yang dimotivasi nilai-nilai kedamaian, merasakan jati diri “pendamai”.

 

Sekali orang menyentuh level jati diri ini, maka tinggal selevel lagi bagi munculnya awareness (kesadaran, kebijaksanaan). Selain memiliki kesadaran akan jati diri, mereka ini dikenal sebagai pribadi-pribadi yang menjalani kehidupan secara bijaksana, memiliki integritas, dan memegang prinsip. Banyak dari kelompok individu ini akhirnya mampu menyentuh level paling unconscious; spiritual. Level yang memandu kita secara sadar menentukan tujuan dan keluasan menentukan sikap. 

 

Tapi banyak juga orang yang kurang beruntung tidak pernah menyentuh level ini; mereka tidak pernah tahu “siapa dirinya” dan sering terombang-ambing mengikuti arus, gampang dipengaruhi, bersikap kasar, dan serampangan.

Kabar baiknya adalah kita dapat berlatih untuk mencapai awareness, menemukan jati diri, dan mencapai spiritual universal. Tidak perlu bertapa di dalam goa, cukup dengan bersedia membuka diri dan terus belajar, dengan cara dan kekhasan Anda, tanpa mengatakan belajar ini atau itu, biarkan saja pikiran yang terbuka membijakkan diri. Cara praktis lainnya adalah melakukan NeuroLogical Alignment ramuan Robert Dilts, untuk itu ikuti terus blog dan sosial media @ernijuliakok supaya tidak ketinggalan saat muncul videonya.

Comments