Menghindari Nasib Buruk Menurut Stoic

 

Nasib itu subjektif. Nasib baik nasib buruk hanyalah penilaian, bukan realitas. Filsuf yang mendukung filosofi ini banyak, mulai dari yang mengembara di padang rumput Mongolia, kota terlarang Tiongkok, gymnasium di Yunani hingga Epictetus di Romawi mengakui kebenarannya.  Tapi apakah benar nasib itu sungguh-sungguh hanya penilaian, dan pemaknaan pikiran kita semata-mata? Daripada kita berdebat kusir, mari baca terus cerita ini.

            Dulu, sekitar tiga dekade silam, aku adalah peternak yang jaya. Aku pernah memiliki sapi potong hampir mencapai seribu ekor banyaknya. Tapi sekitar 10 tahun silam aku memutuskan berhenti beternak sapi pedaging dan beralih beternak beberapa ekor sapi karapan. Sebab aku berpendapat atau lebih tepatnya berangan-angan memelihara sapi karapan lebih bergengsi, menyenangkan, dan mudah mendapatkan uang.

            Pada mulanya sapi karapan yang aku latih sering memenangkan perlombaan, dan mulailah banyak orang ingin membelinya dengan harga mahal. Uang mengalir masuk memenuhi pundi-pundi. Namun, untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, 6 tahun silam beberapa ekor sapi peliharaanku mati satu persatu tanpa ketahuan penyebab atau penyakitnya hingga aku mengalami kerugian parah. Tabunganku selama jadi peternak sapi pedaging mulai terkuras untuk biaya hidup. Akhirnya hanya tertinggal seekor saja sapiku, dan ya Tuhan, itupun yang paling lemah dan tidak pernah memenangkan balapan. Apa boleh buat, aku toh harus beri makan keluargaku, maka sapi tinggal seekor itu aku jadikan sapi pembajak sawah. Karena aku sendiri bukan petani dan tidak memiliki sawah, terpaksalah aku sewakan kepada petani-petani di desa.

            Kasihan sekali sapi seekor itu, makin hari semakin kurus dan lemah tubuhnya. Sebisanya aku memberikannya waktu istirahat dan membawanya ke sungai untuk mandi setiap sore. Keadaan diriku pun tidak lebih baik dibandingkan sapiku itu. Seandainya aku tidak hidup boros selama usahaku sedang di puncak sukses, pastilah aku punya tabungan yang sekarang dapat kugunakan untuk membeli anak-anak sapi. Tapi sudah terlambat, semua hasil jerih payahku selama jadi peternak sapi pedaging sudah ludes. Tentunya aku tidak bisa menyalahkan nasib. Jelas-jelas kepailitanku saat ini disebabkan aku telah berlaku ceroboh.

            Sebenarnya aku percaya nasibku berada di tanganku sendiri. Suatu hari ketika aku sedang berjalan menyusuri tepi sungai sambil menuntun Sanus, sapiku satu-satunya itu, aku melihat beberapa ekor kambing sedang merumput. Timbullah ideku untuk menggemukkan kambing. Dengan bersemangat aku pulang dan meminta beberapa perhiasan istriku untuk dijual, hasilnya akan aku belikan kambing-kambing muda. Namun, perhiasan istriku tersisa hanyalah sepasang giwang yang ketika dijual hanya cukup untuk membeli dua ekor anak kambing. Tidak apa-apa, dua ekor lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Demikian aku menghibur diri.

            Aku mencoba bangkit kembali dari keterpurukanku. Aku tidak menyerah begitu saja ke tangan nasib. Penuh semangat aku bangun setiap subuh, bersicepat dengan Sang Fajar. Aku bawa Sanus dan kedua kambingku ke sawah-sawah di pedesaan. Bila tidak ada petani yang membutuhkan Sanus untuk menarik bajak, aku membiarkannya merumput di tanah lapang ditemani kedua ekor kambing muda itu. Sementara aku duduk berteduh di bawah pohon. Menurut informasi yang aku temukan di Internet, kedua kambing ini pasti sudah bisa dijual pada hari raya Idul Adha. Akupun mulai berangan-angan akan mendapat keuntungan dan dapat melipatkandakan jumlah anak kambing yang akan kubeli nanti. Jual dua beli 3. Beberapa bulan kemudian jual 3 beli 4 dan seterusnya. Mungkin Sanus akan aku jual untuk modal beli lebih banyak kambing?  

            Istriku menawarkan bantuannya untuk membawa Sanus ke tempat pelelangan sapi. Katanya ia ingin melindungi harga diriku. Aku memintanya menunggu hingga dekat perayaan Idul Adha, tapi istriku berdalih, lebih baik Sanus dijual secepatnya, ia khawatir bila menunggu hingga hari kurban, Sanus keburu mati. Lagi pula kondisi Sanus tidak mungkin memenuhi syarat sebagai hewan kurban.

            Keesokan harinya, istriku dan Sanus pergi meninggalkan diriku. Entah mengapa, aku merasa sangat pilu saat itu, dan ternyata kemudian, kepiluanku adalah firasat buruk. Istriku menjual Sanus dan menggunakan uang yang tidak seberapa itu untuk membeli tiket kereta api kelas ekonomi. Dalam perjalanan menjauhiku ia mengirim pesan singkat, kalau ia memutuskan mengubah nasibnya yang buruk dengan menjadi istriku selama 15 tahun.

Sebenarnya pernyataan istriku tidak sepenuhnya benar. Kami menikah ketika aku masih di atas puncak sukses sebagai peternak sapi. Sesudahnya pun aku masih mengajaknya ke atas puncak sukses sebagai peternak dan pelatih sapi karapan. Hanya beberapa tahun inilah, hidupnya jadi susah. Tapi, sudahlah, aku berusaha menghibur diri, berusaha bertahan walaupun keadaanku bagaikan burung kehilangan sebelah sayapnya.

            Aku kehilangan semangat mengurus kedua kambing itu hingga seseorang mengambil salah satunya dan menjadikannya kambing guling. Entah kapan orang itu akan kembali mengambil satunya lagi? Aku sungguh tak peduli. Setelah kehilangan Sanus, dan istriku, kehilangan apa lagi yang bisa menyakiti hati ini?

Kubiarkan saja kambing itu merumput sendiri di tepi kali. Kubiarkan saja jika ia berakhir di atas api unggun sementara aku berpura-pura nasib buruk tidak sedang melandaku. Aku ingat kebijaksanaan lelaki yang kudanya lari ke hutan dan bersikap pasrah. Lalu kuda itu pulang dengan membawa anak istri dan teman-temannya. Lalu anak laki-laki satu-satunya menunggang kuda itu dan terjatuh hingga mengalami patah kaki. Sial banget! Kata para tetangga. Namun karena kakinya patah, anaknya tidak direkrut jadi prajurit kerajaan seperti anak-anak para tetangganya. Perang berkepanjangan menyebabkan anak-anak di desanya gugur, tapi anaknya selamat.

            Tentu saja aku tahu, kambingku tidak akan pulang dengan serombongan pengikut. Tapi, aku hanya ingin bersikap seperti Epictetus, filsuf Stoa yang mengatakan: “Sebenarnya bukan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung yang membuat manusia terganggu, melainkan evaluasi yang dilakukannya tentang peristiwa-peristiwa tersebut.”

            Mengikuti filsafat Stoik itu akupun belajar untuk tidak mempermasalahkan kepergian istri dan kehilangan sapi, ataupun kambing. Kenyataannya memang sudah hilang. Kehilangan berada di luar kekuasaanku, tapi aku berkuasa untuk tidak merasa kehilangan. Semuanya hanya pinjaman dan sekarang yang meminjamkan mengambil kembali. Itu saja.

        Tiga tahun berlalu tanpa terasa hingga suatu hari seorang kawan lama mengontakku dan mengajakku bekerja di peternakannya. Akupun menyambut baik dan setelah menjual tanah, rumah, dan kambing tersisa itu, aku berangkat ke kotanya. Aku sudah pernah jadi orang tolol, ceroboh, dan teledor. Aku tidak merasakan emosi apapun dengan itu, hanya saja aku sudah tahu dan tidak akan mengulanginya. Aku kembali menjadi orang yang penuh semangat. Hingga akhirnya virus tak kasat mata masuk ke dalam tubuhku dan mengkaparkan aku.

            Nasib? Ya, tapi aku mengevaluasi hal itu sebagai kesempatan beristirahat total. Selama aku mengevaluasi semua peristiwa dengan dikotomi; “terserah kepadaku” atau “tidak terserah kepadaku”, maka tangan-tangan nasib tidak dapat menyentuh ujung rambutku. Hingga akhirnya, aku tidak dapat lagi bernafas sendiri pun aku mengevaluasi: aku tidak berkuasa terhadap keadaan paru-paruku dan virus yang tidak kasat mata itu. Jadi, aku tetap gembira. Mungkin sebentar lagi tubuhku berhenti dari hidup alias mati. Memangnya aku berkuasa terhadap kematian? Tidak. Maka ya, sudah. Nasib hanyalah evaluasi manusia terhadap peristiwa-peristiwa yang berlangsung di luar kekuasaannya.

Comments