Apa Yang Dapat Kita Pelajari
dari Mitologi di Balik 12 Zodiak Tiongkok
Mulai 31 Januari 2014 perputaran tahun Lunar memasuki tahun yang didedikasikan
kepada makhluk mitologi—Kuda. Dengan demikian meninggalkan tahun berlambang Ular. Menurut catatan sejarah, kalendar Lunar mulai digunakan sekitar 5 abad
sebelum Masehi atau 2565 tahun lalu yang dikenal sebagai periode “Negara-negara
Berperang” di Daratan Tiongkok.
Kalendar Lunar
berdasarkan perputaran bulan dan bukan matahari seperti halnya kalendar “Barat”
yang berakar pada kebudayaan Romawi dan Mesir. Dalam satu siklus/putaran
terdapat 12 tahun yang masing-masing tahun dilambangkan dengan binatang mulai
dari Tikus, Kerbau, Macan, Kelinci, Naga, Ular, Kuda, Kambing, Monyet, Ayam,
Anjing dan Babi. Pertanyaan yang menarik adalah bagaimana ke-12 binatang ini
yang terpilih? Mitologi atau kisah menjawab bahwa ke-12 binatang tersebut
dipilih melalui suatu seleksi.
Dikisahkan suatu hari Kaisar
Langit—ada juga yang bilang Buddha—mengadakan perlombaan adu cepat darat dan
air (menyeberangi sungai) di antara binatang-binatang. Siapa yang tercepat akan
diberikan penghargaan dan dijadikan sebagai lambang dari satu siklus waktu satu
tahun yang merupakan putaran empat musim (semi, panas, gugur dan dingin).
Ketika mendengar kabar
tersebut Tikus yang cerdik dan ambisius sudah membayangkan akan merebut juara
pertama. Perkaranya hanya mencari akal dan memanfaatkan kelebihan binatang
lain. Pada masa itu Tikus bersahabat karib dengan Kucing, maka ia mengajak Kucing
supaya membujuk Kerbau untuk mengikuti perlombaan tersebut. Kucing mau
bahkan tanpa diduga Tikus juga ingin mengikuti perlombaan tersebut. Kerbau yang
semula malas akhirnya terbujuk oleh kata-kata Kucing. Sebenarnya yang berusaha keras hanya si Kerbau,
sebab Tikus dan Kucing enak-enak saja menumpang di atas punggungnya. Tak lama
kemudian mereka bertiga tiba di sungai di mana perlombaan berenang cepat
dilangsungkan. Beruntung mereka tiba paling awal dibandingkan dengan
binatang-binatang lainnya. Kerbau yang memiliki kemampuan berenang mengerahkan
segala kemampuannya. Di tengah sungai yang berarus deras, Kucing melihat banyak
sekali ikan-ikan dan tanpa sadar ia pun mengulurkan cakar depannya mencoba
menangkap satu atau dua ekor. Pada saat itulah Tikus melihat kesempatan untuk
menyingkirkan kompetitor, ia menendang si Kucing yang sedang berjuang menjaga
keseimbangan di atas punggung Kerbau. Kucing terjatuh ke dalam arus yang deras
dan sementara itu Kerbau terus memimpin di depan. Begitu mendekati tempat
finis, tiba-tiba Tikus melompat melewati kepala Kerbau dan mencapai
garis finis terlebih dahulu.
Kaisar Langit
terheran-heran dan bertanya kepada Tikus bagaimana ia bisa menjadi juara
pertama. Jawab binatang pengerat itu: “Aku memang cilik tapi aku cerdik.” Sang
Kaisar pun mengaruniakan medali dan menamai tahun pertama dalam siklus 12 tahun
sebagai tahunnya. Beberapa saat kemudian Kerbau mencapai garis finis dan cukup
puas di urutan runner-up. Ia
sama-sekali tidak sakit hati bahwa si Tikus menjadi pemenang, ia pun tidak
merasa dicurangi. Dengan tenang ia melenguh: “Ya, menyenangkan sih menjadi penting,
tapi lebih penting lagi menjadi menyenangkan.”
Di belakang Kerbau tibalah
sang Macan, tanpa banyak bicara ia maju menghadap Kaisar Langit untuk menerima
penghargaannya pada urutan ketiga. Dalam hal berenang di sungai berarus sangat
deras, ia tahu dirinya bukan tandingan seekor kerbau. Meskipun raja rimba, ia
mengikuti pertandingan dengan jujur.
Sementara itu Kelinci
yang tidak pandai berenang mengandalkan kelincahannya meloncat dari batu yang
satu ke batu yang lain. Ketika tiba di bagian sungai yang berair dalam dan
berarus deras tidak ada lagi batu-batu yang dapat dijadikan pijakan. Kelinci
hampir saja putus asa, tetapi ia bernasib baik, sebatang kayu terhanyut
mendekatinya, Kelinci pun segera meloncat ke atasnya. Sambil berpegangan kuat-kuat
ia membiarkan dirinya terhanyut, sayangnya ia tidak berdaya mengayuh supaya
bergerak lebih cepat. Tetapi sekali lagi ia nasib baik berpihak kepadanya, tiba-tiba
angin kencang berhembus dan Kelinci bersama balok kayunya terdorong ke depan
hingga mendarat di tepian sungai. Kelinci pun menerima penghargaan di tempat
keempat.
Persis di belakang
Kelinci sang Naga mengantri. Kaisar Langit terheran-heran dan bertanya: “Naga,
bukankah kau bisa terbang secepat kilat? Kog kau malah mencapai garis finis
urutan kelima?”
Naga menjawab: “Betul
Yang Mulia. Hamba bisa terbang secepat kilat. Keterlambatan hamba disebabkan
hamba berhenti di beberapa tempat. Ada satu desa sedang mengalami kekeringan
yang parah, hamba berhenti sebentar untuk mengumpulkan awan hujan di atasnya. Di
desa lainnya malah sedang mengalami musibah banjir, sekali lagi hamba meniup
dan membuyarkan awan hujan di sana. Pada waktu mendekati garis finis, hamba
melihat Kelinci sedang terkatung-katung di atas sebatang kayu, hamba meniupnya
agar ia bisa mencapai garis finis. Makanya hamba baru tiba sekarang, Yang
Mulia.”
Kaisar Langit sangat
puas dengan perbuatan Naga dan mengaruniakan medali dan mendedikasikan tahun
kelima sebagai tahun Naga. Baru saja selesai menyerahkan medali kepada Naga,
terdengar suara derap kaki—tak mungkin salah itu pasti Kuda. Dan Kuda akan
mendapat kedudukan di tempat keenam. Namun mendadak Ular menerjang keluar dari dalam
sunyai merayap sangat cepat lewat di bawah kaki Kuda. Kuda sangat kaget
sehingga ia mengangkat ke dua kaki depannya dan membiarkan Ular merayap mendahuluinya
menghadap Kaisar Langit. Maka Ular menempati urutan keenam sedangkan Kuda yang
masih kaget itu menempati urutan ketujuh.
Jeda sebentar setelah
ketibaan Ular dan Kuda menepilah sebuah rakit yang didayung oleh Monyet, Kambing
dan Ayam. “Bagaimana ceritanya kalian bisa berakit-rakit bertiga?” Tanya Kaisar
Langit heran. Monyet memajukan diri: “Ayam menemukan rakit ini Yang Mulia.
Hamba dan Kambing membersihkannya dari lilitan-lilitan tumbuhan air. Sepanjang
perjalanan Kambing bersama hamba mendayungnya sementara Ayam berkokok memberi
semangat, Yang Mulia.” Kaisar Langit bergembira mendengar bagaimana ketiganya
bahu-membahu saling membantu. Ia kemudian menempatkan Kambing diurutan
kedelapan, Monyet kesembilan dan Ayam kesepuluh.
Beberapa saat kemudian
tibalah Anjing di garis finis. Kaisar Langit bertanya kepadanya: “Mengapa kau
baru tiba? Bukankah kau sangat pandai berenang?”
"Air sungai begitu jernih dan sejuk, Yang Mulia. Jadi hamba berhenti sejenak untuk membersihkan diri.” Jawab si Anjing. Kaisar Langit memberikan penghargaan dan tempat urutan ke-11. Setelah itu suasana menjadi hening. Sepertinya tidak ada binatang lain yang berhasil berenang menyeberangi sungai, pikir Kaisar Langit. Tepat pada saat itu terdengar suara “Oink…oink…” Disusul kemunculan seekor Babi.
"Air sungai begitu jernih dan sejuk, Yang Mulia. Jadi hamba berhenti sejenak untuk membersihkan diri.” Jawab si Anjing. Kaisar Langit memberikan penghargaan dan tempat urutan ke-11. Setelah itu suasana menjadi hening. Sepertinya tidak ada binatang lain yang berhasil berenang menyeberangi sungai, pikir Kaisar Langit. Tepat pada saat itu terdengar suara “Oink…oink…” Disusul kemunculan seekor Babi.
“Apa yang menyebabkan
kau begitu terlambat?” Tanya Kaisar Langit kesal.
Dengan nafas
terengah-engah Babi menjawab: “Dalam perjalanan hamba merasa sangat lapar, maka
hamba berhenti untuk makan. Karena kekenyangan, hamba tertidur.” Kaisar Langit masih
merasa kesal, namun bagaimana pun kehadiran Babi di tempat ke-12 menyelesaikan
misinya mengumpulkan 12 jenis binatang sebagai lambang 12 tahun.
Boleh jadi semua ini hanya mitologi, dongeng yang dikarang oleh seseorang untuk memudahkannya menyusun suatu kalendar. Tetapi bila kita perhatikan, ke-12 binatang yang dijadikan lambang tahun-tahun tersebut memiliki sifat-sifat yang ada pada manusia. Tikus yang cerdik dan licik dapat dipersepsi secara positif ataupun negatif—tergantung nilai-nilai yang memersepsinya. Seperti ucapannya sendiri “Aku memang kecil tapi aku cerdik.” Kekurangan di satu sisi ditutupi kelebihan di sisi lain sehingga seseorang bisa bertahan bahkan mencapai kesuksesan.
Sifat-sifat Kerbau
sering juga kita ketemukan pada orang-orang yang lebih mementingkan nilai-nilai
keramahan daripada menjadi penting. Sedangkan macan (mengapa bukan singa? Sebab
singa tidak hidup di Daratan Tiongkok) sangat percaya diri dan tahu apa yang
diinginkannya, mewakili tipe-tipe “single fighter” alias orang yang seakan-akan dapat hidup tanpa orang lain.
Barangkali Anda pernah menemukan orang yang selalu beruntung? Dalam situasi semepet bagaimanapun mereka berhasil mendapatkan bantuan—tanpa perlu memintanya—sebab bantuan selalu tiba pada saat yang tepat. Tetapi sekali lagi si pengarang ingin mengingatkan bahwa nasib baik tidak akan menghampiri jika seseorang hanya tidur saja di rumah. Kelinci bersedia memenuhi panggilan perlombaan meskipun ia tidak bisa berenang. Ia berusaha meloncati batu-batu yang tidak tertutup air. Dan karena ia pantang menyerah maka ia bertemu penolongnya.
Barangkali Anda pernah menemukan orang yang selalu beruntung? Dalam situasi semepet bagaimanapun mereka berhasil mendapatkan bantuan—tanpa perlu memintanya—sebab bantuan selalu tiba pada saat yang tepat. Tetapi sekali lagi si pengarang ingin mengingatkan bahwa nasib baik tidak akan menghampiri jika seseorang hanya tidur saja di rumah. Kelinci bersedia memenuhi panggilan perlombaan meskipun ia tidak bisa berenang. Ia berusaha meloncati batu-batu yang tidak tertutup air. Dan karena ia pantang menyerah maka ia bertemu penolongnya.
Naga mau berkorban
untuk orang lain, tetapi ia berbeda dengan sapi yang sekedar ingin menjadi
pribadi yang ramah menyenangkan. Naga adalah tipe yang menjawab panggilan hidup
dan menjadi pahlawan. Anda akan menemukan tipe-tipe manusia dengan nilai-nilai
kepahlawanan ini di tengah hutan belantara sedang menyelamatkan binatang yang
hampir punah atau mengajari anak-anak Rimba membaca dan menulis. Anda juga bisa
menemukan mereka di tengah kancah peperangan entah sebagai tenaga medis atau
berusaha menyambung suara-suara dari orang-orang yang hak asasinya
terinjak-injak sebagai wartawan perang. Mereka juga bisa ditemukan tengah mengambil resiko untuk
memerangi penyakit menular di suatu daerah endemi. Banyak lagi
pahlawan-pahlawan yang tidak selalu ramah dan menyenangkan, tetapi mereka rela mengorbankan diri demi orang lain.
Ular? Hm, Anda bisa
langsung memberi julukan “ular” pada beberapa orang? Anda tidak berlebihan.
Bukan hanya budaya Tiongkok kuno yang menggunakan ular sebagai lambang
kejahatan, dari tradisi Yahudilah ular terangkat menjadi logo si Setan.
Sedangkan kuda yang melambangkan keindahan, kecepatan dan kekuatan sering
menggunakan semua kelebihan tersebut secara keliru, misalnya ketika kaget
langsung mengangkat sepasang kaki depannya. Di bawah kendali, kuda
dapat berfungsi secara benar. Kuda memang biasanya ditakdirkan berada di bawah
kendali.
Semakin menarik
membahas dongeng ini ketika kerja sama tim ditampilkan melalui ayam, kambing
dan monyet. Sungguh suatu kombinasi yang luar biasa. Ayam digambarkan sebagai
yang menemukan rakit, tetapi tanpa kambing dan monyet ayam tak sanggup
mengapa-apakan rakit tersebut. Kambing sama-sekali tidak bisa berenang, maka ia
mau bekerja sama. Demikian pula halnya monyet. Kombinasi tim ini bisa kita
temukan ketika sibuta menggendong si lumpuh. Di dunia bisnis dan politik
menampilkan banyak contoh, kebersediaan berbagi uang atau kursi bukan berarti
mereka benar-benar saling mengasihi, tetapi semata-mata karena mereka
sungguh-sungguh saling membutuhkan.
Anjing jelas
melambangkan sifat-sifat yang santai menjalani kehidupan. Flamboyan, pesolek yang dapat terus bergaya meskipun kantong kosong. Kata ambisius hampir tidak mereka kenal. Anda selalu menemukan anjing duduk atau berbaring bermalas-malasan,
bukan? Jika tuannya baik, hidup mereka juga baik, jika sebaliknya mereka
bersedia hidup semarjinal-marjinalnya bahkan menggelandang.
Walaupun babi diceritakan tiba paling akhir, si pedongeng tidak bermaksud mengatakan babi tidak ambisius. Sifat-sifat yang digambarkannya justru secara jelas mengarahkan kepada orang-orang yang secara korup dan tamak melahap apa saja yang terjangkau.
[Saya tidak bermaksud apa-apa dengan analisa “ngawur” di atas. Jadi tak perlu tersinggung.]
Walaupun babi diceritakan tiba paling akhir, si pedongeng tidak bermaksud mengatakan babi tidak ambisius. Sifat-sifat yang digambarkannya justru secara jelas mengarahkan kepada orang-orang yang secara korup dan tamak melahap apa saja yang terjangkau.
[Saya tidak bermaksud apa-apa dengan analisa “ngawur” di atas. Jadi tak perlu tersinggung.]
like this.. :)
ReplyDeleteThanks, igo gimon.
ReplyDeleteAku sangat tertarik membahas topik ini sebab sangat jelas nilai-nilai (values) yang memandu seseorang kemudian terekspresikan pada sikap dan perilakunya menentukan prestasi masing-masing, bukankah begitu? Kalau Anda ragu, silakan bertanya pada si Tikus.
Mbak, tapi kenapa aku sering menjadi runner up juga ya? Maksudnya, seringkali dalam kehidupan aku (kerbau) merasa baik-baik saja berada di urutan kedua. Aku cenderung jarang ingin menjadi yang pertama, dan suka melihat orang lain sukses menjadi yang pertama (nomor 1).
ReplyDeleteMenurut Mbak Erni, apakah sifat aku yang demikian ini kurang baik? Bagaimana sebaiknya?
Terima kasih sebelumnya. (Ketemu di KGS V dulu tidak sempat sharing)
Hi Igo Gimon,
DeleteSebenarnya bagaimana kita bertindak tidak menentukan hasil yang kita capai (runner up, nomor wahid atau nomor buntut). Sebaliknya tindakan dan hasil yang kita capai ditentukan oleh Nilai-nilai (values) yang kita yakini benar (baca: benar bagi kita sendiri). Dengan demikian jika Igo meyakini bahwa lebih penting membiarkan orang lain mencapai sukses lebih besar dan Anda merasa bahagia menjadi saksi kesuksesan tersebut, maka itulah Anda yang dipandu nilai-nilai luhur Anda sendiri. Dalam mitologi di atas, penulisnya ingin menunjukkan nilai-nilai yang direpresentasikan si kerbau: "Penting menjadi pemenang, namun lebih penting lagi menjadi pribadi yang menyenangkan." Terkadang nilai-nilai berubah jika konteksnya berubah. Bisa saja dalam konteks perlombaan nilai-nilai sang Kerbau tidak mengalami konfliks, tetapi bila konteksnya berubah misalnya memperebutkan rumput...? Heh, bisa saja si Kerbau tiba-tiba menginginkan jadi yang terdepan/terpenting.
Menurut saya apakah sifat Igo Gimon yang seperti "Kerbau" ini kurang baik? Bagaimana sebaiknya? Jawabannya ada pada diri Igo sendiri. Apakah Igo benar-benar "oke-oke saja" atau merasakan konflik? Artinya di satu sisi Igo merasa oke-oke saja sebagai runner up dan hepi dengan kesuksesan orang lain, namun di pihak lain timbul perasaaan tidak nyaman seperti misalnya perasaan takut menjadi runner-up sepanjang hidup? Merasa kurang puas?
Nah, jika timbul konflik semacam ini, orang perlu mendamaikan konfliknya terlebih dahulu barulah ia dapat meningkatkan prestasinya.
Mudah-mudahan menjadi jelas dan bermanfaat.
Salam berdaya
Untuk yg ular masih gak jelas nih karakter real pada manusianya. jadi, semua yg ber-shio ular, pasti jahat gitu? trus, gak ada sedikitpun kupasan cerdiknya? #justcurious# hehehehe
ReplyDeleteHi Desha,
ReplyDeleteTerima kasih sudah meninggalkan komen di sini.
Wah, siapa bilang semua yang bershio ular pasti jahat? Kamu shio ular ya? Hehehe. Ga ada hubungannya lagi antara mitologi dengan sifat seseorang secara spesifik. Namanya juga mitologi.
Ular secara tidak adil dijadikan lambang kejahatan. Dalam agama yang berkembang di Timteng seperti Yahudi, Nasrani bahkan dilambangkan sebagai wujud iblis yang menggoda Hawa. Tapi ular kan binatang merayap, dia cerdit juga, buktinya bisa ngagetin kuda yang larinya kencang. Tapi kalau ular memang jahat harusnya ia menggigiti semua binatang dalam perjalanan sehingga hanya dia sendiri yg mendapat medali hahaha...ga jadi ada cap ji shio dong.
Salam berdaya