MIMPI NAIK tahta keSULTANAN
demak
Salah-satu tokoh Nusantara yang memiliki kesaktian tinggi dan
berhasil secara cemerlang melakukan perjalanan dari present state menuju desired
state adalah Jaka Tingkir. Terlahir sebagai Mas Karebet, putra Ki Ageng
Pengging ini mengalami nasib kurang beruntung pada awal perjalanan hidupnya.
Saat baru berusia 10 tahun, ayahnya Ki Ageng Pengging, dituduh memberontak
terhadap Kesultanan Demak, dan dihukum mati oleh Sunan Kudus. Mas Karebet lalu
diasuh oleh janda Ki Ageng Tingkir, saudara seperguruan almarhum ayahnya
(keduanya adalah murid dari murid Syek Siti Jenar). Ki Ageng Tingkir sendiri
telah meninggal dunia pada saat Mas Karebet baru dilahirnya, tepatnya pada
malam setelah mendalang untuk merayakan kelahirannya.
Penderitaan
rupanya menumbuhkan mental pemenang dalam diri Mas Karebet, ia tak hendak
menghabiskan hidupnya menjadi orang biasa-biasa saja, bukan saja ia berniat
membalaskan dendam atas kematian ayahnya, ia pun ingin menguasai Kesultanan
Demak yang telah menyebabkan kesengsaraan diri dan keluarganya itu. Setelah
menetapkan tujuannya, ia lalu berguru kepada orang-orang sakti, di antaranya:
Sunan Kalijaga, dan Ki Ageng Sela. Dalam waktu singkat pemuda yang kemudian
dikenal sebagai Jaka Tingkir ini berhasil merebut hati Ki Ageng Sela yang
kemudian mengusulkan agar ia mengangkat saudara dengan Ki Juru Martani, Ki
Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Ketiganya adalah cucu-cucu Ki Ageng Sela
sendiri. Selesai berguru, Jaka Tingkir segera menjalankan rencananya—memasuki
lingkungan istana Kesultanan Demak. Singkat cerita, Sultan Treggano melupakan
dosa lama ayahnya dan mengangkatnya sebagai kepala prajurit Demak dengan
pangkat lurah wiratamtama.
Salah-satu tugas Jaka Tingkir adalah
menyeleksi orang-orang yang melamar menjadi prajurit Demak, dan suatu hari
datanglah seorang pelamar bernama Dadungawuk. Orang ini sangat sombong dan suka
pamer kesaktian. Mendengar Jaka Tingkir menguasai ilmu tinggi, Dadungawuk
segera menantangnya mengadu kesaktian. Sial bagi Dadungawuk, dalam pertandingan
tersebut ia terbunuh. Ekor kejadian tersebut menyebabkan Jaka Tingkir dipecat
dari ketentaraan dan diusir dari Demak. Peristiwa itu tidak mematahkan semangat
Jaka Tingkir, ia malah memanfaatkan masa mengangur itu untuk memperdalam
kesaktiannya dengan berguru kepada Ki
Ageng Banyubiru yang tak lain tak bukan saudara seperguruan almarhum ayahnya
juga, murid Syek Siti Jenar lainnya.
Setelah tamat belajar, Jaka Tingkir
memutuskan untuk pulang ke Demak. Namun perjalanannya penuh tantangan dan
bahaya. Ketika menyusuri Sungai Kedung Srengenge dengan menumpang rakit yang
sederhana, ia diserang buaya-buaya siluman. Di situ kesaktian Jaka Tingkir
teruji, ia berhasil menaklukkan seekor buaya terbesar yang merupakan pemimpin
buaya-buaya lainnya dan memerintahkan rombongan reptil ganas tersebut untuk
mendorong rakitnya hingga mencapai tujuan. Di suatu hutan, Jaka Tingkir kembali
diserang ribuan ular berbisa, dan sekali lagi ia berhasil mengatasinya.
Setelah tiba di Demak, Jaka Tingkir segera
menyusun taktik untuk mendapatkan kembali posisinya di istana Sultan. Suatu
hari Sultan Trenggana beserta seluruh keluarganya sedang berwisata di Gunung
Prawoto. Jaka Tingkir diam-diam melepas seekor kerbau yang sebelumnya sudah
dibuat liar dengan mantra. Kerbau itu mengamuk dan menyerang pesanggrahaan
Sultan. Tidak ada satu pun prajurit
Demak yang mampu menahannya, maka tampillah Jaka Tingkir pada saat-saat
kritis dan seperti yang telah direncanakan, Jaka Tingkir berhasil membunuh
kerbau itu dengan mudahnya. Atas jasanya itu, Sultan Trenggana mengembalikan
jabatan lurah wiratamtama kepadanya.
Jaka Tingkir terus berprestasi hingga
akhirnya ia mencapai tujuannya; diangkat sebagai bupati Pajang bergelar Adipati
Adiwijaya dan menikah dengan putri Sultan Trenggana, Ratu Mas Cempaka.
Sepeninggal Sultan Trenggana, perebutan kekuasaan berlangsung terus di Demak.
Sultan Prawoto yang baru naik tahta menggantikan ayahandanya tewas dibunuh
sepupunya, Arya Penangsang. Menantu Sultan Treggana lainnya, yakni bupati
Jepara yang bergelar Pengeran Kalinyamat juga tewas di tangan Arya Penangsang.
Walaupun Jaka Tingkir merupakan satu-satunya orang yang mampu mengatasi
kesaktian Arya Penangsang, ia tidak mau turun tangan sendiri. Sebuah sayembara
diadakan: barang siapa dapat membunuh Arya Penangsang akan mendapatkan tanah
Pati dan Mataram sebagai hadiah.
Sayembara diikuti oleh beberapa orang
sakti, di antaranya saudara-saudara seperguruan Jaka Tingkir sendiri, yakni
murid-murid Ki Ageng Sela yang bernama Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi serta
Juru Martani, beserta saudara perguruannya yang lain, yakni murid Ki Ageng
Banyubiru. Berkat siasat cerdik Juru Martani akhirnya Arya Penangsang dapat
ditewaskan. Setelah peristiwa itu, Ratu Kalinyamat yang merasa dendam kesumat keluarganya
telah terbalaskan, menyerahkan tahta kepada Jaka Tingkir. Pusat kerajaan lalu
dipindahkan ke Pajang sejak saat itu.
Tidak Ada Gol Yang Terlalu Besar
Dalam hal pencapaian tujuan atau goal,—menurut saya—Jaka Tingkir adalah seorang bermental pemenang.
Sejak muda ia tahu apa yang diinginkannya; tahta Demak! Ia menyadari present state-nya yang lemah (keturunan
seorang pemberontak dan tanpa kekayaan), karena itu Jaka Tingkir rajin bertapa
dan giat menuntut ilmu. Perjalanannya dari present
state menuju desired state memang
perjalanan panjang, terjal dan berliku-liku, namun Jaka Tingkir tidak berhenti
di tengah jalan. Kesulitan-kesulitan yang dihadapinya tidaklah sedikit, namun
ia mengatasinya satu demi satu. Dalam
perspektif pencapaian tujuan atau gol,
Jaka Tingkir—seorang anak yatim-piatu menjadi raja—telah membuktikan
kepada kita, bahwa tidak ada gol yang tidak mungkin asal kita
bersungguh-sungguh. Selain Jaka Tingkir, tak terhitung banyaknya orang-orang yang
berhasil mencapai tujuan mulia meskipun mereka memulainya dari nol—bahkan dari
bawah nol sekalipun. Sebut saja Andrew Carnegie, Bob Sadino, Ir. Ciputra,
George Washington, Harland Sanders, Martha Tilaar, Oprah Winfrey dan lain-lain.
Gol yang besar kadang-kadang menggentarkan
dan menantang mental pemenang, tetapi seperti halnya jawaban atas pertanyaan,
“bagaimana menghabiskan seekor gajah?” Anda akan menjawab, “Sedikit demi
sedikit,” begitu pula mencapai gol yang besar.
Gol yang besar dapat dibagi-bagi (biasanya
dikenal sebagai proses chunking down)
menjadi puluhan, ratusan bahkan ribuan—jika diperlukan—gol-gol kecil. Perlu
pula diingat ukuran sebuah gol tergantung kepada penggagasnya. Sebagai contoh,
bagi teman saya, Lina (bukan nama sebenarnya), mengajukan proposal kenaikan
gaji kepada bosnya merupakan gol yang besar. Berhari-hari ia tidak dapat tidur
sampai akhirnya ia datang meminta saran saya. Lina tidak tahu harus memulai
dari mana. Harus menulis apa dalam surat permohonannya. Dan terlebih lagi Lina
tidak tahu bagaimana mempresentasikan kelayakannya menerima kenaikan gaji,
meskipun ia yakin akan hal ini. Chunking
down sederhana di bawah ini berhasil membantu Lina memetakan langkah demi
langkah mencapai tujuannya.
Men-chunking Down Gol Mengatasi Kebingungan. |
Walaupun gol Jaka Tingkir berkali-kali lebih besar dibandingkan gol Lina,
namun dengan menggunakan prinsip yang sama, gol besar Jaka Tingkir pun dapat
di-chunking down seperti ilustrasi di
bawah ini.
Men-chunking Down Gol Joko Tinggir |
Sumber: Mental Pemenang Mental Pecundang (2013), Erni Julia Kok
Comments
Post a Comment