A
|
pakah Anda berkeberatan dengan judul di atas? Jika ya, ijinkan saya
untuk menjelaskan maksud saya terlebih dahulu sementara Anda membaca terus. Sewaktu
saya masuk sekolah dasar, ibu saya agak khawatir apakah saya yang masih berumur
7 tahun itu mampu mengurus diri sendiri, apalagi selama hidup saya tinggal di
desa. Untuk amannya ibu saya “menitipkan” saya pada guru saya—ow…saya lupa nama
beliau, meskipun imajinya masih utuh dalam benak saya. Beliau seorang perempuan
berumur 30 an pada waktu itu. Berkulit putih dan cantik. Bila diurut-urut
antara keluarga saya dari pihak ayah masih ada hubungan keluarga jauh dengan
keluarga suaminya. Sekolah kami itu bekas sekolah Mandarin yang telah ditutup
Orde Baru, maka letaknya pun satu kompleks dengan kelenteng dan lapangan
basket. Konon beberapa pemain basket Nasional berasal dari kecamatan kecil ini
dan mereka berlatih di lapangan tersebut. Hari-hari itu setiap sore sekelompok
pemuda bermain di sana setelah toko-toko mereka tutup.
Jawaban ya dari Bu
Guru membuat ibu tenang dan beliau segera kembali ke Kota Pontianak. Namun ibu
tidak pernah tahu bahwa hanya beberapa jam setelahnya, saya segera diabaikan
beliau. Tentu saja. Bodoh sekali mengharapkan seorang single mother dengan dua orang putri yang sangat cantik, halus,
terpelihara dengan baik untuk berbagi perhatian dengan seorang anak desa yang
bau matahari dan keringat serta bertingkah laku liar. Dari rumahnya kami
berjalan ke sekolah. Ibu Guru menggandeng kedua putrinya, satu dengan tangan kanan
satunya lagi tangan kiri dan beliau memberi isyarat kepada saya dengan gerakan
dagu untuk mengikutinya. Saya menyeringai kikuk dan berjalan di belakang mereka
seperti anjing melipat ekor. Suatu perasaan asing menyelinap dalam dada saya. Perasaan
tidak berada di tempat yang tepat, tidak bersama orang yang tepat dan tidak
diterima. Perasaan-perasaan itu menyadarkan saya bahwa saya harus menjaga diri
sendiri. Hari-hari berikutnya saya diam-diam berharap Ibu Guru menunjukkan di
depan kelas bahwa kami saling mengenal, bahwa kami masih memiliki hubungan
keluarga. Tetapi saya segera menyadari bahwa di kelas saya waktu itu ada
keponakan almarhum suaminya. Tidak mendapatkan pengakuan beliau membuat saya
selalu bertingkah laku aneh untuk menarik perhatiannya. Tentu saja yang saya
dapatkan adalah sabetan rotan atau bentakan.
Dalam hal nilai pelajaran,
saya bersaing ketat dengan seorang murid laki-laki…oh, saya lupa juga namanya, tapi
saya ingin menyebutnya A Chung. Mungkin benar itu namanya. Hasil ulangan
kenaikan kelas menunjukkan nilai Bahasa Indonesia kami sama-sama 10 dan
matematika juga sama; 7. Untuk memutuskan siapa yang berhak jadi juara kelas Ibu
Guru meminta kami berdua maju ke depan kelas. A Chung dan saya berbagi papan
tulis dengan kapur tulis siap di tangan dan Ibu Guru membacakan soal matematika
yang harus kami pecahkan.
Soal pertama hingga soal
ketiga terjawab dengan benar dan kecepatan yang sama. Mengerjakan soal nomor
empat yang lebih sulit dibandingkan tiga soal sebelumnya, saya mulai gatal
untuk mencari perhatian. Saya mengerjakan soal itu sambil menggoyangkan pantat
saya. Ibu Guru langsung naik pitam dan dengan penuh kekuasaan beliau menghentikan
adu pintar tersebut. Kami diperintahkan berdiri menghadap kelas dan dengan
lantang Ibu Guru berkata: “Kalian berdua memang sama-sama pintar, tapi karena
Erni anak yang nakal, maka A Chung berhak menjadi juara kelas, dan Erni juara
dua!” Dalam benak saya saat ini saya menyaksikan Ibu Guru mengangkat tangan
kanan A Chung. Dan saya melihat A Chung tersenyum puas sambil melemparkan
lirikan mata mengejek ke arah saya. Sekaligus saya heran bagaimana saya melalui
semua masa sulit seperti itu dan menjadi orang seperti yang Anda kenal hari
ini.
Jika saya mengenang semua
ini, saya melihat seorang anak perempuan ceking, cengengesan berjalan sendirian
menembus padang ilalang kehidupan. Ibu Guru yang sangat saya harapkan tidak
tertarik menjadi pahlawan yang menyelamatkan saya. Sedangkan saya sendiri ikut
mengacaukan kemungkinan itu. Saya hanya tidak tahu bagaimana menjadi seorang
anak yang menjatuhkan cinta orang lain. Sejak hari itu saya selalu memandang enteng
kejuaraan apapun. Semua prestasi diri menjadi suatu hal yang tawar.
Sederhananya saya tidak tahu bagaimana berbangga hati. Sebenarnya apa yang
perlu dilakukan Ibu Guru sangat sederhana, cukup beri penjelasan bahwa manner itu penting. Bahwa karena saya
lalai memperlihatkan manner yang
tepat, saya diberi pelajaran, bukan dihukum. Bahwa saya tetap seorang anak yang
cerdas. Akan lebih baik di masa depan saya menjadi anak yang cerdas dan santun.
Kelas empat saya beruntung
diajak Ibu tinggal bersamanya dan kakak tiri saya di Kota Pontianak. Di kelas
empat pula saya menemukan guru-guru lain yang sangat sulit di sebut pahlawan
tanpa tanda jasa. Pak Turangan merupakan salah-satunya. Penampilan beliau lebih
mirip tentara bukan pendidik. Sering mengalami mood swing. Bila sedang bersenang hati beliau suka ngejoke yang agak-agak saru. Sebaliknya
bila sedang ill feel beliau tidak
segan-segan memukuli murid laki-laki. Beberapa bulan setelah memulai sekolah di
SD Yayasan Pendidikan Kristen ini saya jatuh sakit. Janganlah berpikir terlalu
jauh, saya menderita gejala awal tipus, bukan karena dipukuli Pak Turangan.
Justru ketika dua minggu absen di kelas, seorang adik kelas dipukuli beliau.
Menurut cerita teman-teman, anak ini begitu ketakutannya hingga ia bersembunyi
di bawah meja tulis. Tapi Pak Turangan tak ada puasnya menghajar dia, tendangan-tendangannya
mengejar hingga kaki meja ikut patah. Tidak ada keluhan dari orangtua murid
tersebut. Barangkali juga akan sama saja jika hal yang seperti itu menimpa
saya.
Pada waktu saya merasa
lumayan sehat, saya segera masuk sekolah lagi. Hari itu Kamis. Pelajaran
pertama berlalu tanpa kesan—buktinya saya tidak ingat pelajaran apa itu. Yang
berkesan hingga berpuluh-puluh tahun lamanya justru pelajaran matematika
setelah jam istirahat. Tebak siapa gurunya? Ya, Pak Turangan. Mungkin beliau
menyadari keabsenan saya selama ini, maka begitu masuk ke kelas beliau langsung
menyuruh saya maju mengerjakan soal pekerjaan rumah di atas papan tulis. Tentu
saja saya gelagapan bagaikan ikan yang dikeluarkan dari air. Selama dua minggu
saya terbaring tak berdaya. Badan masih lemah karena diet yang berlebihan—tidak
makan daging sedikit pun selama sakit, saya memaksakan diri untuk masuk tanpa
mengecek dengan teman-teman apakah ada pekerjaan rumah atau tidak. Rupanya Pak
Turangan hari itu sedang bad mood,
untungnya beliau tidak melayangkan tangan atau kaki, melainkan hanya membentak
dan mengusir saya dari kelas.
Saya masih bisa melihat
dengan mata mental saya, pintu bercat hijau muda yang tertutup dan anak
perempuan kurus berambut keriting, berwajah pucat berpakaian seragam kemeja
putih dan rok hitam yang sering diolok-olok anak-anak sekolah lain “tahi cecak”.
Saya duduk termenung di depan kelas, memikirkan nasib dan masa depan saya.
Suara Pak Turangan dengan logat Menado kentalnya teringan-ingan. “Jangan pernah
kau masuk kelas matematikaku lagi!” Dicabut hak mengikuti pelajaran matematika
tentu saja berarti tidak naik kelas. Tidak peduli sebagus apapun nilai-nilai
mata pelajaran yang lain, kalau matematika nol berarti matimatilah. Kalau tidak
naik kelas, ibu pasti akan melarang saya bersekolah selamanya. Bukannya ibu
jahat, tetapi gaji ibu hanya tiga ribu rupiah pastilah berat menyisihkan tujuh
ratus lima puluh rupiah untuk uang sekolah saya. Ibu juga belum mampu melihat
apa sih gunanya sekolah? Ketika memasukkan saya di sekolah desa uang sekolahnya
hanya 150 rupiah. Itu pun karena saya mengancam akan bunuh diri jika tidak
disekolahkan.
Jadi sekarang tamatlah aku.
Tamat dalam arti yang sebenarnya. Kalau saya tidak bersekolah, sudah besar
nanti mau jadi apa?
Tetapi sesuatu yang bernama
nasib sungguh tak misterius. Meskipun sekarang saya memahami nasib dapat
dipengaruhi dengan berpikir positif atau mengirimkan pikiran positif ke Alam
Semesta Agung dan Semestagung akan memantulkan kembali dengan energi positif
berkali-kali lipat. Meskipun sekarang saya telah belajar dari guru saya Robert
Dilts bahwa saya memiliki kecerdasan ketiga; kecerdasan field (medan) yang tercipta karena interaksi dengan sesama dan
universal, saat itu saya hanya pasrah. Tahu-tahu Kamis itu menjadi hari
terakhir Pak Turangan mengajar matematika. Dan khusus untuk kelas empat beliau
digantikan oleh wali kelas kami, Pak Ali. Bisa Anda bayangkan betapa beruntungnya
saya?
Sekali lagi usaha saya untuk
mendapatkan pendidikan kembali ke jalurnya. Walau pun setiap bulan tanggal 15
dimarahi kakak dan dicemberuti ibu karena menghamburkan-hamburkan 750 rupiah,
saya naik kelas sambil menggondol juara kelas. Pada waktu hal itu diumumkan,
maka seperti yang dapat Anda duga, saya merasa biasa-biasa saja seperti ketika
menjadi runner-up di kelas satu,
juara di kelas dua dan runner-up lagi
di kelas tiga. Dari persepsi praktisi NLP hari ini sebenarnya saya sangat
menyayangkan tidak memanfaatkan momentum-momentum tersebut.
Pada usia menjelang 10 tahun,
saya menjadi semakin aneh dan liar terutama di luar rumah. Sebagai akibatnya
teman-teman memberi saya nick name “ah-siao”.
Jangan tersenyum dulu. Itu hanya terdengar indah tapi bila dicecap rasanya
asam. Sebab artinya adalah “si gila”. Nah, saya memang agak gila sejak dulu. Sayangnya
tidak ada yang menghargai positive
intention dari insanity semacam
ini. Eh-hem, bukankah Albert Einstein pun agak gila? Abraham Lincoln gila
benaran bahkan?! Pak Ali, wali kelas saya pada saat mengumumkan saya sebagai
juara kelas tidak lupa membuat saya semakin terkenal sebagai orang gila. Dengan
gayanya yang santai penuh canda, Pak Ali berkata:”Biar pun Erni Julia ini gila,
tapi dia pintar luar biasa. Ayo, yang pada waras, kamu seharusnya belajar sama
Erni.”
Saat ini sambil mengetik
bagian ini saya melayang di atas timeline
saya. Saya melihat seorang anak perempuan menjelang remaja yang canggung berusaha
keras untuk tidak menunjukkan kegembiraannya. Ia bahkan menekuk wajahnya.
Meleletkan lidah ke arah teman-temannya yang menyambut ucapan Pak Ali dengan teriakan
mencemoh. Dari atas timeline saya
mengirimkan energi playfulness.
Nikmati momen itu, Erni. You’re blessed! Tuhan mencintaimu sejak dulu. Jika
suatu waktu kau kehilangan semangat bergembira, kebebasan bereksperimen dan
bercanda, kau bebas kembali ke masa lalu ini. Menggilalah dan so what gitu lho?
Kamu spesial. Tak ada yang perlu disesali.
Terlanjur melayang di atas timeline saya singgah sejenak di suatu
titik, hari pertama di kelas satu esempe. Entah pelajaran ke berapa dan itu
tidak penting. Saya melihat Ibu Murni masuk kelas. Agak sulit melukiskan keadaan
guru ini. Ia memiliki kelembutan seorang ibu, tapi kelembutan itu tercemar oleh
berbagai problema kehidupan. Ia memiliki kecantikan seorang perempuan, tapi
kecantikan itu terlilit benang-benang kusut berbagai kebutuhan materi. Ia
tampak cerdas, tapi ia mengesampingkan kecerdasan itu sebab ia tahu toh tidak
ada gunanya. Dari atas timeline saya
dapat mengatakan neurological levels Bu
Murni saling bertentangan.
Saya mengalihkan
perhatian kepada younger self saya. Ia
sangat bersemangat, sebab saat itu merupakan saat pertama kali dalam hidupnya
belajar bahasa Inggris. Buku pelajarannya ia sampul dengan plastik berwarna
hijau yang didaur ulang dari taplak meja bekas. Ia menatap Bu Murni penuh
harapan bercampur galau. Ia tahu rata-rata teman sekelasnya sudah mengikuti les
bahasa Inggris kecuali dirinya.
Saya melihat dari atas
timeline Bu Murni meminta siswa-siswi
membuka halaman tiga sambil berjuang mendamaikan konflik nilai pengabdiannya
yang bertengkar dengan nilai uang, nilai kehidupan yang lebih baik, kenyamanan
dan entah apa lagi. Suaranya terdengar malas-malasan sekaligus tidak bersahabat.
Tidak ada senyum di wajahnya. Padahal kalau ia tersenyum pastilah akan
mengendurkan ketegangan wajahnya, dan ia akan tampak cantik penuh keibuan, ah…ya,
ia sedang hamil muda. Tapi Bu Murni yang terjebak dalam pertentangan nilai
seperti itu menyuruh siswa-siswinya berdiri dan melafalkan satu kata dari
daftar kosa kata tiga huruf. Semua berjalan lancar hingga…tiba younger self saya. Ia melihat tiga huruf
itu c-o-w. Dalam hati ia mengeja: ce-o-we …ia belum tahu kalau w itu double “u”
dan u dibunyikan seperti you. Ignorant dan
innocent ia melafalkannya secara
keliru. Dan itu meledakkan konflik internal Bu Murni. Nilai kenyamanan menonjok
nilai pengabdian tepat di bawah dagunya. Nilai pengabdian terjengkang, “Ayo!
Matilah kau nilai pengabdian! Kau kira aku sudi menderita demi uang tak
seberapa ini, hah?! Lebih baik aku pulang dan tidur!”
Detik berikutnya nilai
kenyamanan yang menang meloncat keluar dari mulut Bu Murni dan beliau berteriak:”Goblok! Itu bacanya cow bukan kau!”
Sekarang saya ingin bercerita
kepada Anda dari posisi persepsi diri waktu itu. Saya mengalami banyak
kesulitan selama 12 tahun pertama perjalanan saya di atas bumi ini. Saya sering menabrak pintu-pintu yang
tertutup, dan saya berkata kepada diri saya, “Menyingkirlah dari depan
pintu-pintu yang tertutup itu. Kau tak berhak!” Sebenarnya saya mendengar suara
ibu, suara kakak kadang-kadang, bukan suara saya sebenarnya. Jadi saya menjauh.
Saya berpura-pura tidak apa-apa. Saya pura-pura tidak peduli.
Namun sekolah adalah
tempat yang selalu membuat saya betah. Sebab saya dapat melakukan hal-hal yang
saya tahu persis bagaimana melakukannya. Sejak insiden diusir dari kelas oleh
Pak Turangan, saya semakin menikmati bersekolah. Saya menikmati toleransi
guru-guru ketika saya gaduh. Saya menikmati bila teman-teman saya yang pemalas “mengemis”
minta contekan. Saya menikmati iri hati teman-teman yang sama-sama pintar dan
persaingan menjadi juara kelas. Tapi saya tidak siap Bu Murni merendahkan saya
di depan teman-teman baru yang belum mengenal siapa saya.
Dengan rasa terpanggang di
kedua pipi saya melirik teman-teman sekelas sambil bertanya dalam hati: “Bagaimana
aku menghapus malu ini? Bagaimana aku bangkit kembali tanpa terpelintir?
Bagaimana aku harus bersikap terhadap bu Murni?” Perasaan saya berkecamuk. Saya
ingin menyikapi peristiwa ini seperti halnya saya menyikapi pintu-pintu yang
tertutup itu, tapi ini menyangkut sekolah, sesuatu yang benar-benar penting
bagi saya. Sesuatu…bukan, bukan sesuatu melainkan satu-satunya pintu yang akan
membukakan banyak pintu-pintu kesempatan di masa yang akan datang! Saya tidak
bisa kehilangan pintu ini!
Rupanya Tuhan memang
memberkati saya. Saya tidak perlu khawatir berlama-lama. Pada saat pelajaran Bahasa
Inggris berikutnya yang masuk ke kelas bukan lagi Bu Murni, melainkan Pak
Taufik.
Pak Taufik adalah tipe guru “yang
penting tanda tangan hadir di kelas”. Perkara mengajar atau tidak itu urusan
nomor sekian. Setiap kali masuk kelas, Pak Taufik akan menyuruh kami membaca
sebuah cerita pendek lalu menjawab pertanyaan-pertanyaan untuk menguji apakah
kami memahami apa yang kami baca. Dengan cara belajar seperti ini saya selalu A
dan kemampuan pronunciation saya
tersangkut di tingkat nol hingga 20 tahun lamanya. Bahkan 30 tahun setelahnya
setiap kali akan menyebut kata “cow” saya harus mencari kesamaan nadanya dari
lagu iklan produk susu…aku dan kau suka dancow…dan saya bunyikan “cow” dengan
tepat. Berkat belajar dan mempraktekkan NLP akhirnya saya bisa membebaskan
kemampuan saya yang terjebak di balik defend
mechanism. Dan tentu saja saya saat ini mengenang Bu Murni tanpa rasa sakit
hati.
Kalau Tuhan memberkati saya
yang tidak sadar diberkati berkali-kali, tentunya Tuhan mau memberkati semua
guru termasuk yang melakukan kesalahan-kesalahan. Sebenarnya tidak bisa disebut
kesalahan sih. Setidaknya tidak ada seorang guru pun yang harus dipersalahkan
jika murid-muridnya jadi pecundang. Setiap orang dengan caranya yang unik—sadar
atau tidak—harus mempertanggungjawabkan buah-buah pikirannya, dan dengan
demikian akibat dari padanya. Tuhan telah menanamkan citranya di dalam benak
kita, dan dari sanalah pemikiran serta buah-buahnya mewujud.
Comments
Post a Comment