Pernah
membaca dongeng H.C. Anderson yang memilukan ini?
Di
malam Tahun Baru yang membeku dalam dingin nan gelap seorang gadis kecil
penjual korek api tergulung takdir kelam.
Ia gemetar karena dingin dan sepasang kaki kurusnya tanpa alas membiru
mati rasa. Memang tadinya ia memakai sepasang sandal, namun itu tidak membantu
juga. Sandal milik almarhumah ibu itu terlalu lebar untuk kakinya dan ketika ia
menyelamatkan diri dari tabrakan dua kereta kuda yang berlari sekencang angin,
sandal itu terlepas. Ia berhasil menyelamatkan sebelahnya, tetapi sebelahnya
dirampas seorang anak jalanan.
Tidak saja kakinya yang membiru,
sepasang tangannya pun membeku kedinginan. Gadis kecil itu berusaha berlindung
dari cuaca yang kejam dalam suatu cekukan antara dua bangunan batu. Ia tidak
berani pulang sebab sepanjang hari ia tidak berhasil menjual sebatang pun korek
api. Tidak ada pula seorang pun yang memberinya sesen. Ayahnya pasti akan
menghajarnya. Lagi pula yang disebut rumah itu hanya gubuk reyot yang sama
dinginnya dengan tempat terbuka ini.
Karena tusukan udara dingin demikian tak terperihkan, terpikir olehnya barangkali menyalakan sebatang korek api dapat meringankan penderitaannya. Jari-jarinya yang membeku menarik sebatang korek api dan “craaats” ia menggoreskannya pada dinding batu. Api yang kecil menyala bagaikan cahaya lilin. Ia mendekatkan jemarinya yang sudah beku, hangat terasa. Ia mendekatkan kakinya juga, dan ia merasakan kehangatan pula. Dalam halusinasinya seakan ia duduk di depan perapian. Tetapi sesaat kemudian, pijar kecil itupun padam.
Gadis kecil itu mengeluarkan lagi sebatang korek api dari kotaknya. “Craaats” dan pijar menciptakan sebuah ilusi indah di atas tembok batu. Meja makan bertaplak seputih salju dengan angsa panggang, plum kering dan apel di atasnya. Hanya sesaat…hanya sesaat ilusi itu sirna bersama padamnya pijar kecil itu. Ia mengambil dan menyalakan batang korek ketiga. Tampaklah kali ini pohon natal berhiaskan lampu warna-warni. Ketika cahaya kecil tak lagi berpijar pohon natal itu terus berkemilau, pelan-pelan terangkat ke langit, terus bercahaya bagaikan bintang-bintang. Lalu ia melihat bintang jatuh. “Pasti ada orang meninggal dunia.” Pikirnya mengenang cerita nenek tercinta. Bila seseorang meninggal, sebuah bintang akan jatuh dan roh orang itu naik ke surga. Begitu cerita nenek. Oh…nenek apakah engkau di surga? Mengapa nenek tidak datang menjemputku?
Karena tusukan udara dingin demikian tak terperihkan, terpikir olehnya barangkali menyalakan sebatang korek api dapat meringankan penderitaannya. Jari-jarinya yang membeku menarik sebatang korek api dan “craaats” ia menggoreskannya pada dinding batu. Api yang kecil menyala bagaikan cahaya lilin. Ia mendekatkan jemarinya yang sudah beku, hangat terasa. Ia mendekatkan kakinya juga, dan ia merasakan kehangatan pula. Dalam halusinasinya seakan ia duduk di depan perapian. Tetapi sesaat kemudian, pijar kecil itupun padam.
Gadis kecil itu mengeluarkan lagi sebatang korek api dari kotaknya. “Craaats” dan pijar menciptakan sebuah ilusi indah di atas tembok batu. Meja makan bertaplak seputih salju dengan angsa panggang, plum kering dan apel di atasnya. Hanya sesaat…hanya sesaat ilusi itu sirna bersama padamnya pijar kecil itu. Ia mengambil dan menyalakan batang korek ketiga. Tampaklah kali ini pohon natal berhiaskan lampu warna-warni. Ketika cahaya kecil tak lagi berpijar pohon natal itu terus berkemilau, pelan-pelan terangkat ke langit, terus bercahaya bagaikan bintang-bintang. Lalu ia melihat bintang jatuh. “Pasti ada orang meninggal dunia.” Pikirnya mengenang cerita nenek tercinta. Bila seseorang meninggal, sebuah bintang akan jatuh dan roh orang itu naik ke surga. Begitu cerita nenek. Oh…nenek apakah engkau di surga? Mengapa nenek tidak datang menjemputku?
“Creeets.” Ia menggoreskan batang
korek api keempat di atas tembok batu. Tiba-tiba sekelingnya menjadi
terang-benderang dan sangat indah. Bukan lagi tembok-tembok hitam dan kotor dan
membeku. Dalam terang hangat itu ia melihat neneknya, satu-satunya orang yang
pernah mencintainya di dunia ini. Nenek yang baru meninggal dunia belum lama
ini. Neneknya tersenyum, tampak sangat cantik…tidak pernah tampak secantik ini
selama hidupnya. Gadis cilik itu berseru gembira: “Nenek!” Dan menghambur ke
dalam pelukannya.
Sang nenek memeluknya erat-erat. Pelan-pelan mereka melayang ke langit dan tiba di surga. Di tempat ia tidak lagi merasa dingin, tidak lagi merasa lapar. Hanya damai yang indah.
Keesokannya di kala mentari Tahun Baru menerangi gadis kecil itu, beberapa pejalan kaki berhenti mengamati tubuh yang telah membeku mati. Di tangan kurusnya yang membiru masih tergenggam segumpal korek api, sebagian di antaranya bekas dinyalakan. Seseorang berkata dengan nada biasa saja: “Rupanya ia telah berusaha menghangatkan dirinya…”
Sang nenek memeluknya erat-erat. Pelan-pelan mereka melayang ke langit dan tiba di surga. Di tempat ia tidak lagi merasa dingin, tidak lagi merasa lapar. Hanya damai yang indah.
Keesokannya di kala mentari Tahun Baru menerangi gadis kecil itu, beberapa pejalan kaki berhenti mengamati tubuh yang telah membeku mati. Di tangan kurusnya yang membiru masih tergenggam segumpal korek api, sebagian di antaranya bekas dinyalakan. Seseorang berkata dengan nada biasa saja: “Rupanya ia telah berusaha menghangatkan dirinya…”
Lama
saya merenung dan bertanya-tanya mengapa H.C. Anderson menulis cerita sepilu ini?
“Bukan dia dan bukan juga orangtuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah
harus dinyatakan di dalam—penderitaan gadis kecil penjual korek api ini.”
Dan
bukanlah tanpa maksud Anderson mengambil setting malam Tahun Baru. Sebab
orang-orang yang sedang bergembira biasanya melupakan yang menderita, suatu
kontras yang membedah dada peri kemanusiaan. Berapa luaskah ruang untuk memberi
penampungan kepada seorang gadis kurus? Berapakah banyak makanan untuk mengisi
perutnya dan membantunya bertahan hingga musim dingin berlalu, bahkan cukup
dari remeh-temeh meja makan keluarga kaya-raya? Tetapi orang-orang terlalu
sibuk berpesta pora. Terlalu kenyang dan mabuk anggur untuk menolongnya.
“Sebab
ketika Aku lapar engkau memberi Aku makan, dan ketika Aku haus engkau memberi
aku minum; ketika aku seorang asing engkau memberi aku tumpangan…”
Dan
bila mata batin tertutup dan seorang gadis kecil mati membeku, kesempatan
berbuat baik telah berlalu.
Dan
Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala
sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina
ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.
(Matius 25:45).
Itulah
sebabnya kisah menusuk dada ini harus ditulis…
Comments
Post a Comment