Orang
yang satu adalah “ciptaan pikiran” orang lainnya—tidak peduli sedekat apapun
relasi keduanya. Namun orang jarang menyadari hal ini. Jika saya berkata bahwa saya
mengenal A, dan menceritakan secara terperinci tentang dirinya, maka sebenarnya
yang saya maksud adalah bagaimana saya memandang atau berpendapat tentang dirinya.
Tentunya setiap pendapat tentang orang lain didasari peta (map) atau model dari dunia (model
of the world) saya.
Kalau saya mengatakan kepada Anda
bahwa B orangnya sangat rapi, maka yang saya maksud adalah ia memenuhi standar
kerapian yang ada dalam dunia saya. Dan tentu saja dunia saya esklusif unik,
berbeda dengan dunia B dan dunia Anda. Maka saya seharusnya tidak perlu merasa
berkecil hati jika Anda tidak setuju bahwa B orangnya rapi, misalnya. Dengan
demikian Anda dan saya dapat saling berempati.
Begitu juga bila saya mengadu kepada
Anda bahwa C selalu membuat saya jengkel dan saya tidak memahami apa maunya
dia, maka sesungguhnya ada dua hal dalam pikiran saya. Pertama; saya merasa
telah membiarkan diri saya jengkel ketika perbuatan C tidak sesuai dengan
standar dunia saya. Kedua saya tidak menerima C apa adanya dia dalam lingkaran
komunikasi kami, namun saya ‘ngotot’ bahwa dia harus seperti yang saya pikirkan.
Dengan gambaran seperti di atas,
maka kita bisa mengerti bahwa orang menaruh curiga bukan berarti ia telah melakukan
kesalahan, ia hanya secara tidak sengaja memersepsi terburu-buru seperti halnya
Mariana.
Mariana kehilangan boneka yang sedang dijemur di teras
rumah. Ia mencurigai anak tetangganya yang sering mengendap-endap di halaman
rumahnya. Mariana mulai mengamat-amati anak tersebut dan ia semakin yakin
dengan kecurigaannya. Ketika bertemu pandang, anak itu cepat-cepat menunduk,
dan sambil berjalan cepat-cepat menjauhinya, matanya bergerak-gerak liar. Jelas
tampak seperti orang yang bersalah.
Dan semakin Mariana memperhatikannya, anak itu semakin
terlihat seperti pencuri. Pasti dia! Tidak salah lagi! Untunglah sebelum
Mariana mendatangi orangtua anak tersebut, ia menemukan bonekanya masih di
dalam mesin cuci. Dan ketika ia bertemu lagi dengan anak tersebut, anak itu
kelihatan seperti layaknya anak-anak seusiannya. Agak pemalu dan kikuk.
Sering orang menemukan dirinya
terjebak dalam komunikasi yang buruk dengan orang terdekat, misalnya pasangan,
orangtua, anak, saudara atau anggota keluarga lainnya. Padahal ia ingin
memahami orang-orang atau orang tersebut. Namun kemudian ia mulai menerjemahkan
menurut peta atau model dari dunianya atas segala ucapan, tatapan dan gestur
yang tertangkap panca inderanya. Selanjutnya ia akan membangun sebuah keyakinan
bahwa jika ia melakukan a atau berkata b, maka orang yang ingin dipahami dan
memahaminya pasti akan menilainya begini dan begitu. Namun ingatlah apa yang
ada di pikiran kita belum tentu itu yang dipikirkan orang lain. Tidak memahami
orang lain justru disebabkan kita terlalu sok tahu dalam menempatkan peta dunia
kita di atas dunia dari orang lain. Sadar atau tidak, kita memang sering
menggunakan peta Kota Bandung ketika berada di Kota Cirebon atau Kota Semarang.
Terkadang orang menghindar untuk menyatakan
perasaannya di hadapan orang-orang terdekat. Hal ini disebabkan ia sudah
terlebih dahulu memersepsi reaksi yang akan diterimanya. Menghindar berkomunikasi
tentu saja merupakan tindakan yang tidak menguntungkan dan menumpuk
masalah-masalah hingga membusuk. Maka ada benarnya juga jika orang mengatakan
lebih baik bertengkar daripada diam-diaman. Tetapi lebih baik lagi menggunakan
proses NLP Perceptual Positions.
Kekeliruan memersepsi reaksi orang
lain juga bisa memengaruhi keyakinan diri kita. Orang yang tidak percaya diri
selalu merisaukan apa akan dikatakan orang lain nantinya. Ketika ia berjalan di
depan orang lain, ia mengkhawatirkan orang menilai cara melangkahnya atau
pakaian yang dikenakannya. Ketika berbicara dengan orang lain, ia lebih
memikirkan apa reaksi dari pendengarnya daripada isi pembicaraan. Ketika
mendengarkan ia tidak dapat memperhatikan sebab ia sibuk memikirkan bagaimana
merespon dengan petanya.
Bertahun-tahun yang lalu ketika saya
merasa tidak percaya diri untuk mengajukan pertanyaan atau pernyataan dalam
suatu forum pertemuaan, saya selalu berprasangka bahwa orang akan menertawakan
pendapat saya, atau saya memersepsi bahwa orang lain tidak membutuhkan pendapat
saya, pendapat saya tidak penting. Saya hanya akan mempermalukan diri sendiri
gara-gara membuka mulut. Untuk menghindari resiko yang saya ciptakan tersebut
saya pun menerapkan filosofi diam itu emas.
John Grinder, salah satu penggagas
NLP menciptakan teknik Perceptual Positions bersama Judith DeLozier (1987).
Tujuan teknik ini adalah untuk membantu seseorang memahami bagaimana ia
memandang orang lain dan mengalami berada pada posisi-posisi persepsinya. Anda
dapat mencoba mempraktikkannya dengan mengikuti langkah-langkah berikut ini.
Contoh Kasus
Suatu
hari seorang anak muda “dipaksa” oleh ibunya untuk mengikuti pelatihan NLP
Practitioner Certification. Tanpa persetujuannya dan bahkan tanpa
sepengetahuannya, ibunya mendaftarkan namanya pada EO saya. Dan ia didongkel
dari tempat duduk dengan ucapan bahwa biaya workshopnya sangat besar dan
tidak bisa refund. Hari pertama ia
baru muncul di kelas saya setelah istirahat makan siang. Terang-terangan anak
muda ini menunjukkan ketidaksenangannya. Setelah berkenalan dengan saya dan
peserta-peserta lain ia mulai sedikit ‘jinak’. Hari kedua ia hadir sebelum coffee break. Suatu peningkatan luar
biasa dibandingkan hari sebelumnya.
Hari
ketiga kebetulan pelajaran Perceptual Positions dan saya membujuknya maju ke depan kelas. Saya melemparkan umpan
tentang ‘gosip’ bahwa ia dipaksa ibunya untuk mengikuti pelatihan dan
langsung tertumpahlah segala unek-uneknya. “Mamaku itu otoriter, selalu aja
nyuruh aku gini-gitu tanpa mau tau guenya tuh suka apa nggak.”Katanya dengan
mata berkaca-kaca. “Aku pengen tau dari latihan ini, gimana menghadapi mamaku
itu.”
Saya
tersenyum sabar dan menuntunnya melakukan proses. Saya menjelaskan kepadanya
bahwa tidak mungkin mengubah ibunya dengan cara langsung. Pertama-tama ia
harus mengubah cara pandangnya atau persepsinya terhadap ibunya. Syukurlah,
ternyata teknik sederhana ini sangat luar biasa. Di akhir proses anak muda
ini tidak lagi memandang ibunya berusaha menguasainya alias otoriter.
Sebaliknya ia mampu mengapresiasi perhatian ibunya. “Mama ingin yang terbaik
buat aku.” Katanya menyimpulkan. Hingga hari ketujuh pelatihan, ia tidak lagi
datang terlambat, ia mengikuti setiap sesi dengan antusias dan sangat
menguasai pelajaran. Pada sesi assessment ia menerima masukan-masukan positif
dan compliments dari
peserta-peserta lainnya—tentunya termasuk saya, fasilitatornya.
|
Pertama
berdirilah di tempat yang ditandai sebagai posisi satu, yaitu posisi diri Anda
sendiri. Di mana Anda melihat, mendengar dan mengalami sebagai diri sendiri
atau ‘aku’. Bayangkan di hadapan Anda berdiri (atau duduk) orang yang ingin
dihadirkan dalam proses ini. Dan Anda berbahasa “kamu” kepadanya.
Setelah mengalami kembali sebagai
posisi satu sepenuhnya, keluarlah dari posisi tersebut dengan bersih dan bebas
lalu berdiri (atau duduk) di tempat yang ditandai untuk
posisi
kedua—posisi dia. Di posisi kedua Anda berusaha melihat, mendengar dan
mengalami sebagai orang kedua dan Anda menyebut posisi satu—posisi diri Anda
sendiri—sebagai “kamu”. Tentunya di posisi orang kedua Anda tidak mungkin benar-benar
menjadi dirinya, namun hanya mengalami posisinya—masih—menurut persepsi Anda
tentang perilakunya.
Seperti tadi, setelah Anda cukup
mengumpulkan informasi dari posisi dua, Anda dapat meninggalkan posisi tersebut
sepenuhnya dan mengambil posisi tiga, yaitu posisi pengamat. Di posisi ini Anda
adalah orang netral yang tahu segala sesuatu yang berlangsung dalam lingkaran
komunikasi namun tidak terlibat di dalamnya. Di posisi tiga Anda menyebut
posisi satu dan posisi dua sebagai “mereka” dan “dia”. Di posisi netral
sebenarnya kita melepaskan diri atau disasosiasi dari problem komunikasi supaya
dapat mengamati dengan lebih jelas. Karena dapat men-detached dari persoalan-persoalan, maka di posisi ini Anda dapat
memberikan pandangan-pandangan maupun nasihat-nasihat kepada posisi satu.
Banyak orang yang tidak belajar NLP
dengan lengkap, namun hanya dipandu dengan teknik ini saja, mampu memperoleh
manfaat. Teknik ini menjadi salah-satu dari sekitar 28 teknik yang dipraktikkan
dalam kelas NLP Practitioner Certification program, tetapi juga sering saya
berikan dalam workshop aplikatif lainnya. Jika Anda ingin meningkatkan karir dan kualitas kehidupan serta berdaya membantu orang lain, bergabunglah dengan kelas mendatang. Info lebih lanjut silakan hubungi nomor-nomor di bawah ini!
Comments
Post a Comment