Berapa harga jual yang tepat untuk produk
saya? Itulah pertanyaan yang sering diajukan wirausaha pada tahap debut. Ini
adalah pertanyaan penting! Bayangkan, orang itu telah tercerahkan untuk mulai
berwirausaha, sudah menghabiskan waktu dan uang untuk belajar keterampilan
tertentu dan juga pengetahuan tentang kewirausahaan. Dan sungguh tidak lucu
kalau sekarang langkah pertamanya tertunda-tunda hanya karena ia bingung
menentukan harga jual!
Sebenarnya
kebimbangan yang mengganggu tidak sekedar tidak tahu memasang harga jual, namun
juga pertanyaan-pertanyaan berapa keuntungan yang akan diperoleh jika ia
menjual Rp 5.000 perbuah, misalnya. Menurut ilmu akuntansi harga jual itu
ditentukan harga pokok—HPP (Harga Pokok Penjualan), tapi cara-cara akuntansi
biaya itu rumit dan berlebihan bagi wirausaha di tahap memulai. Jadi, bagaimana
dong? Jangan khawatir, selalu ada jalan lain menuju Roma, dan saya akan
menunjukkan kepada Anda jalan itu jika Anda mau melaluinya.
Apa
saja yang memengaruhi penentuan harga jual suatu produk? Minimal ada dua aspek
yang perlu diperhatikan, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor
internal
Faktor internal yang menentukan penentuan
harga jual adalah biaya-biaya produksi. Bila contoh yang akan kita paparkan di
sini adalah mie laksa, maka yang menjadi acuan adalah resep mie laksa!
Berdasarkan resep dapat ditentukan berapa banyak mie, bumbu-bumbu, minyak, air,
dan bahan bakar yang dibutuhkan itulah harga pokok produksi? Bukan, itu baru
biaya variabel.
Dan
resep hanya unsur pertama. Selain itu masih ada unsur kualitas. Apakah Anda
akan menggunakan bahan-bahan kualitas premium atau preman? Mie premium tentu
saja lebih euuuunaaaak dan sehat, sedangkan mie preman bisa-bisa warna
kuningnya berasal dari bahan pewarna tekstil. Begitu pula jumlah bumbu-bumbu
yang akan digunakan, bisa lengkap atau dikorupsi sana-sini, bisa racikan
sendiri atau beli yang tersedia di pasaran dan (mie laksa Anda pun jadi mie
laksa pasaranlah). Premium atau preman, jujur atau korup menentukan kualitas
mie laksa Anda dan masa depan bisnis Anda tentunya.
Unsur
ketiga adalah beban tetap seperti biaya sewa tempat. Tampaknya biaya sewa juga
merupakan salah-satu misteri bagi para pebisnis yang belum berpengalaman. Hal
itu biasanya tercermin dalam pertanyaan yang membingungkan: “Saya mau berjualan
mie laksa, satu porsi Rp 5.000, apakah kalau saya sewa ruko Rp 2.000.000
pertahun, bisa untung atau tidak?” (Yang ditanyai lebih bingung lagi!)
Untuk
menjawab pertanyaan di atas terlebih dahulu harus memahami unsur-unsur dari
faktor eksternal.
Faktor
eksternal
Nah, ini dia faktor yang tidak pernah
dijadikan pertimbangan para akuntan hebat. Jangan salah paham, saya tidak
mengkritik para akuntan dan ilmu akuntansi. Untuk sebuah perusahan berskala
besar, pendelegasian tentu saja sangat penting. Biarlah akuntan mengurusi
transaksi yang telah terjadi dan berdasarkan itu meramal apa yang akan terjadi
di masa akan datang. Biarlah bagian marketing
dan atau business development yang
merisaukan faktor eksternal. Tetapi pendelegasian serupa ini terlalu berlebihan
bagi bisnis perorangan. Jadi Anda harus memerhatikan faktor eksternal sendiri
sebelum menentukan harga jual produk Anda.
Paling
sedikit terdapat tiga unsur pada faktor eksternal. Unsur pertama adalah ‘prospek’,
kedua ‘tempat dan waktu’ dan ketiga ‘posisi’. Ketiga unsur ini mengalir dan
bermuara di tempat yang sama: Biaya atau beban tetap (fixed costs)!
Prospek
Siapa yang membutuhkan produk ini? Kita
tidak bisa memproduksi suatu barang atau jasa begitu saja. Sangat penting
produk yang kita hasilkan harus dapat dipasarkan. Jadi siapa yang
membutuhkannya dan bagaimana menjangkau mereka?
Sebagai
contoh Anda telah belajar memasak mie laksa yang euuunakkkk. Anda perlu tahu
siapa—kelompok masyarakat yang sukai makan mie laksa. Ada dua cara menemukan
prospek Anda. Pertama jadi pengikut, artinya Anda dan siapa saja tahu siapa
yang menyukainya. Ini jalan yang ramai dengan pejalan kaki. Tidak mungkin naik
motor atau mobil, bahkan naik sepeda ontel pun tidak mungkin. Anda masuk ke
pasar yang sudah ada—bahkan ramai—pemainnya.
Cara
kedua; mendidik kelompok masyarakat tertentu untuk menyukai mie laksa. Jalan
ini biasanya masih sepi dan Anda harus berteriak menjajakan dagangan Anda 10
atau 100 kali lebih berat. Namun kalau akhirnya Anda sukses, wow…luar biasa,
Andalah pioner dan bisnis Anda akan meluncur seperti di tol. Hanya saja tidak mungkin
menerapkan cara ini tanpa terlebih dahulu melakukan survei tentang kebiasaan
dan budaya. Jika produk Anda pakaian Muslim—misalnya, Anda tidak mungkin sukses
mendidik kelompok masyarakat di Pulau Flores untuk berjilbab. Karena itu usaha Anda
mendidik prospek perlu memerhatikan unsur kedua, yaitu tempat dan waktu.
Tempat
dan Waktu
Ok, katakanlah kelompok prospek yang Anda
tuju adalah orang-orang berusia 30-50 tahun dan sibuk beraktivitas. Di mana
Anda dapat menemukan mereka? Ah, sepertinya di sekitar pusat bisnis tengah
kota! Tick!
Baiklah.
Anda dapat menemukan prospek Anda di pusat bisnis tengah kota. Sekarang lebih mudah
menentukan waktu berjualan yang tepat. Waktu makan siang hingga waktu bubaran
kantor, bukan? Apakah penting menentukan harga ‘happy hour’ atau justru harga
‘peak hour’?
Posisi
Mengetahui siapa prospek membawa Anda pada jawaban di mana dan kapan. Menjawab
semua pertanyaan ini membawa Anda pada pemosisian. Berarti kedai mie laksa Anda
harus berada di level menengah ke atas. Tempat makannya harus terlihat ekslusif
eksterior maupun interiornya dan ruangan harus berpedingin udara. Meja makan
harus nyaman dan jangan menggunakan alat-alat makan murahan. Pelayan Anda harus
tampil bersih, ramah, sopan dan cekatan. Ingat, orang-orang bisnis dan kantoran
tidak suka menunggu pesanan mereka lama-lama. Di samping itu koki—Anda sendiri
ataupun menggaji orang lain harus terampil menjaga rasa.
Kesimpulannya?
Memahami faktor eksternal menyediakan informasi untuk menentukan harga jual.
Baiklah, setelah menyadari kalau untuk menjual mie laksa kepada kelompok
pebisnis dan pegawai kantoran terlalu tinggi biayanya atau terlalu besar
modalnya, Anda dapat beralih hati ke kelompok prospek lain. Siapa?
Mahasiswa?
Sewa kantin atau ruko di dekat kampus, cukup AC alam, alat makan melamin anti
pecah! Yang paling penting mie laksa Anda euuunakkk dan muaarahhh banget. Harga
jual sesuai kantong mahasiswa.
Karyawan
pabrik? Tidak perlu sewa tempat, sebaliknya buat gerobak sorong, bangku panjang
atau kursi-kursi plastik. Harga jual di bawah harga mahasiswa, porsi besar,
enak mungkin tidak sepenting keuuuunyannnng.
Untung
Atau Rugi?
Menghitung harga produksi membantu kita
menentukan harga penjualan dan memperkirakan laba yang dapat dicapai. Itu saja
awalnya. Untuk jangka waktu panjang, data yang terkumpul membantu kita
mengambil keputusan-keputusan yang akan menentukan maju mundur—bahkan
matinya—bisnis kita.
Mari
kita kembali ke pertanyaan di awal tulisan ini: Menjual mie laksa Rp
5.000/porsi, sewa tempat Rp 2.000.000 pertahun. Untung atau tidak? Dalam
ilustrasi di bagian faktor eksternal, kalau Anda berjualan di pusat bisnis Anda
bisa menjual Rp 35.000/porsi atau 7 kali lipat dari Rp 5.000. Tapi sewa
tempatnya, ditambah segala “dandanan” tempat plus AC bisa jadi 20 kali lipat
dari Rp 2 juta. Atau Anda dapat mempertimbangkan berjualan di depan pabrik,
dengan biaya sewa nihil. Berapa harga mie laksa semangkok? Mungkin Rp 3.000.
Jadi mana yang lebih menguntungkan? Maaf, tidak ada jawaban gamblang!
Bagaimana
kalau di tempat dengan sewa Rp 2.000.000 pertahun Anda bisa menjual 10 mangkok
sedangkan di tempat yang lain sewanya Rp 6.000.000 pertahun, tetapi Anda bisa
menjual 200 mangkok sehari? Mana yang Anda pilih? Selain itu ada tempat lain
yang lebih strategis lagi, sewanya Rp 7.500.000 pertahun, menurut prakiraan
bisa laku 500 mangkok sehari, Anda mau?
Apakah
sewa merupakan beban tetap satu-satunya? Apakah Anda tidak perlu asisten di
tempat di mana kedai Anda mungkin dikunjungi 500 orang, 200 orang dan 100
orang? O ya, sungguhkah Anda cukup waktu untuk melayani 500 orang perhari,
mulai pukul 10 pagi hingga pukul 8 malam? Itu berarti Anda harus menyajikan
semangkok mie setiap 1,2 menit atau 72 detik! Faktanya pengunjung tidak datang
ke kedai Anda secara teratur, satu persatu setiap 72 detik. Pada jam sibuk
membludak dan pada jam sepi melompong.
Jelas
bukan untuk menjawab pertanyaan di atas membutuhkan lebih banyak data? Dan
itulah sebabnya wirausaha sebaiknya belajar mengumpulkan data sehingga dapat
bertahap melakukan koreksi. Sementara ini mari kita lakukan analisa dengan
matematika untuk menentukan titik impas atau BEP (Break Even Point). Dengan
data yang terbatas tingkat ketepatan analisa ini 50:50. Walaupun demikian Anda
akan mendapatkan seberkas cahaya dalam kegelapan.
Asumsi
Mari kita asumsikan bahwa tempat yang
akan disewa untuk membuka usaha restoran mie laksa adalah Rp 2.000.000 ditambah
biaya lain-lain seperti dekorasi ruangan, perbaikan kecil pada wastafel, wc dan
jendela sebesar Rp 500.000. Total biaya sewa adalah Rp 2.500.000.
Selain
itu diasumsikan biaya bahan-bahan perunit/mangkok saji adalah Rp 2.500 dan
pertahun Anda dapat memproduksi 7,500 mangkok (diasumsikan Anda buka 25 hari
perbulan atau 300 hari pertahun), maka total Biaya Variabel = Rp 18.750.000
(7,500 x Rp 2.500).
Dengan
asumsi-asumsi di atas kita dapat menghitung titik impas. Jangan khawatir jika
Anda tidak suka dengan asumsi di atas, kita dapat mengubahnya.
Ok, jadi Anda cukup menjual 1,000 mangkok
pertahun atau 3-4 mangkok perhari jika Anda buka 300 hari pertahun. Lumayan?
Belum, itu baru titik impas. Bila Anda benar-benar bisa menjual 5-10 mangkok
perhari atau 1,500 – 3000 mangkok perhari Anda baru mendaparkan sedikit profit
(saya perkirakan demikian). Selain itu Anda masih harus menanggung beban-beban
lain seperti sewa, listrik, air, peralatan dan perlengkapan. Jika Anda menggaji
asisten, Anda juga harus menanggung beban gaji/upah. Bagaimanapun informasi
titik impas ini membantu dalam pengambilan keputusan maju atau batal, bukan?
Analisa
Sensitivitas
Pertanyaan yang sering saya dengar
adalah, apakah harus menaikkan harga jual sehubungan dengan kenaikan harga
bahan bakar minyak? Sebelum kita melanjutkan terlebih dahulu saya ingin
mengingatkan Anda untuk tidak buru-buru menaikkan harga. Terutama bila konsumen
Anda adalah golongan ekonomi menengah ke bawah yang sensitif dengan kenaikan
harga. Selain itu sebagai wirausaha kita bisa memanfaatkan momentum ini untuk
menguatkan posisi persaingan jika kita bisa tetap mempertahankan harga, mutu
dan kepenuhan mangkok.
Kuantitas—jumlah
yang dapat dijual—sangat penting dalam bisnis kuliner. Semakin banyak terjual
semakin meningkat keuntungannya, namun jika tidak laku dan bahan-bahan mentah
harus dibuang (berhubung tidak dapat disimpan lama-lama), maka kerugiannya bisa
sangat signifikan, dengan demikian menaikkan harga yang berakibat turunnya
jumlah penjualan bisa menghantam bisnis.
Mari
kita kembali berasumsi dan menganalisa sensitivitas dengan data yang tersedia.
Berapa persen kenaikan BBM? Dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.500 atau 44.44%! Berapa
persen kenaikan bahan-bahan mentah seperti mie, bumbu-bumbu dan sebagainya?
Katakanlah—20%. Berdasarkan data itu kita akan melakukan analisa.
Kalau saran dari Bapak Bambang Hermanto, ketua PHRI Surabaya, menekan biaya dengan cara mengecilkan porsi akan berdampak buruk pada bisnis. Dulu, alm ayah saya juga pernah berkata sama. Banyak usaha kuliner yang tidak menaikkan harga namun mengecilkan porsinya akan berakibat buruk. Orang lebih suka membayar lebih mahal untuk porsi yang sama. Contoh, terang bulan/martabak Holland, tetap eksis walau harga naik dan mereka tidak pernah mengecilkan ukuran kuenya.
ReplyDeleteThanks a lot Bu Erni, artikelnya bagus dan sangat membantu kami dalam berbisnis dan berentrepreneur nantinya. Salam Entrepreneur !
ReplyDeleteTerima kasih, Pak Nur untuk komentarnya. Senang sekali mendapat masukan yang sangat bermanfaat dan memberi kesempatan pembelajaran.
ReplyDeleteSaya setuju sekali bahwa untuk jenis makanan tertentu mengecilkan porsi alih-alih menaikkan harga bisa berakibat buruk, tapi utk mie laksa saya yakin (dari pengalaman punya orangtua dan saudara buka depot mie) tidak akan terlalu mengganggu, sebab mie laksa mengandung santan dan bumbu yang medok, kalau mengurangi mie namun tetap dengan kualitas rasa yang super, malah membuat pelanggan ketagihan. Sebab kalau porsinya terlalu besar bisa nek, tapi kalau setelah menyantap seporsi rasanya masih pengen, orang akan berpikir, gile, eunaknya mie ini!
Contoh bagus lainnya adalah Kwetiau Apeng di Pasar Kembang, Surabaya. Pelanggan bisa memilih porsi, besar, sedang atau kecil. Ini membuat pelanggan merasa "tak terpuaskan" maka datang lagi dan datang lagi.
Untuk martabak Holland saya setuju, karena bentuknya solid dan perubahan bentuk (lebih tipis) selain mudah dideteksi pembeli juga mengurangi "rasanya". Tebal tipisnya martabak mengubah rasanya lho. Apalagi martabak biasanya dibawa pulang, dimakan bersama teman/keluarga, dan bila sudah kenyang bisa dimakan entar.
Namun tentu saja, penentuan harga atau porsi harus memperhatikan faktor eksternal, siapa pelanggan kita, di mana dan kapan. Saya juga kurang setuju kalau sebagai penjual kita tidak berani menaikkan harga, sebab hal ini seperti mencerminkan kekurangan yakinan pada produk sendiri. Setelah memanfaatkan momentum "untuk menarik pelanggan" maka harga perlu dinaikkan/disesuaikan secara bertahap.
ada harga ada rupa.. kalau memang enak orang tetap akan mencari. Orang akan tetap mengerti kalau seumpama harga dinaikan, dengan harga yg masuk akal atau malah orang tidak sadar kalau harganya dinaikan karena mereka makan bukan karena harganya tapi rasanya, apalgi kalau sudah langganan. Caranya adalah mengganti daftar harga baru dengan diprint baru bukan dicoret atau ditutupi dengan kertas.
ReplyDelete