Ada seorang lelaki berusia
40 tahunan memenangkan undian berwisata ke negeri Sakura (Jepang). Paket wisata
yang diterimanya terdiri dari tiket penerbangan pulang pergi dengan salah-satu perusahaan penerbangan
terbaik di dunia, menginap dua malam di Tokyo dan tiket masuk ke Disney Land
serta uang saku USD 500. Bukan main
senangnya pria ini dan ia tidak sabar menunggu hari perjalanannya tiba. Ia
merasa sangat beruntung memenangkan undian tersebut.
Akhirnya, hari perjalanan
yang ditunggu-tunggu pun tiba. Hati pria ini berdebar-debar sebab ia belum
pernah melakukan perjalanan keluar negeri selama hidupnya. Ia pernah naik
pesawat terbang, tapi itu hanya penerbangan domestik kelas budget.
Ketika ia melangkahkan
kakinya memasuki pesawat terbang, ia merasa sangat takjub. Ia disambut
pramugari cantik yang menyapa sambil tersenyum ramah.
"Selamat datang, Tuan.
Silakan lewat sebelah kiri."
Kelas Ekonomi yang penuh berdesakan. |
Udara kabin yang sejuk dan
keharuman yang lembut merupakan hal kedua yang menyenangkan hati pria ini. Ia
melihat tempat duduk yang besar dan tampak menyenangkan dengan meja kecil,
sandaran tangan dan layar video serta headset
yang canggih.
Pria ini tidak berhasil
menemukan nomor kursi yang tertera di atas boarding pass-nya. Nomor-nomor
tempat duduk yang dilihatnya hanya terdiri dari 1 sampai dengan 18 dan sudah
terisi semua, sedangkan nomor kursinya seperti tertera di atas boarding
pass-nya adalah 76F.
Seorang pramugari yang
sangat cantik—lebih cantik daripada yang menyambutnya di pintu masuk segera
mendekatinya. Dengan senyum ramah dan suara merdu menyapanya: "Boleh saya
lihat boarding pass Tuan?"
“Tentu saja!” Jawabnya sambil
merapatkan diri ke makhluk cantik itu sambil memperlihatkan boarding pass-nya.
Pramugari itu tersenyum:
"Oh, tempat duduk Tuan ada di kabin berikutnya. Terus saja, kursi Tuan ada
di tengah."
Pria itu menurut, ia menarik
koper kecilnya dan berjalan terus. Ketika melihat bahwa di kabin berikutnya
kursi-kursi berjejar berdesakan, kesenangannya mulai menurun. Ia tidak lagi
menikmati sejuknya udara dalam kabin sebab panas hatinya begitu membara. Ia
tidak lagi membaui wangi yang menyejukkan, sebab nafasnya mulai menghembuskan
api. Setelah berdesak-desakan dengan penumpang-penumpang lain yang sibuk
menaruh koper di atas tempat bagasi, akhirnya ia menemukan tempat duduknya. Di
tengah—benar-benar di tengah!
Pria ini mulai merespon
lingkungan dan situasi yang dihadapinya dengan sikap negatif. Ketika ia hendak
menaruh kopernya, bagasi di atas tempat duduknya sudah penuh. Dengan kesal dan
kasar ia mendorong koper-koper dan tas lain sambil menjejalkan kopernya sendiri.
Seorang pramugara melihatnya dan datang membantu.
“Tempat bagasi ini sudah
penuh, Tuan. Bagaimana kalau saya taruh koper Tuan di depan?”
“Tidak! Koperku harus di
dekat tempat dudukku!” Ia memaksa.
“Baiklah. Akan saya
usahakan, Tuan. Silakan duduk dulu biar penumpang lain bisa lewat.” Jawab
pramugara itu santun.
Pria itu semakin kesal.
Tanpa permisi ia melewati penumpang yang telah duduk di nomor kursi 76E.
Tak lama kemudian semua
penumpang sudah duduk di kursinya masing-masing dan pria ini menunggu-nunggu salah-satu
kru menawarkan minuman selamat datang. Ia sempat menyaksikan hal tersebut
ketika melewati kabin kelas utama tadi karena sebenarnya ia agak terlambat naik
ke pesawat.
Tetapi hingga pesawat
tinggal landas yang diharap-harapkannya tidak juga terjadi. Barulah setelah
tanda mengenakan sabuk pengaman dipadamkan, seorang pramugara membagikan handuk
hangat.
Ketika ia mengelapkan handuk
kecil putih bersih, hangat dan harum itu ke wajahnya, rasa kesal dan kecewa bukannya
menyurut. Pria ini malah menemukan alasan lain untuk meningkatkan kekesalannya:
“Handuknya terlalu kecil. Ngelap hidungku saja nggak cukup!” Gerutunya dalam
hati.
Tak lama kemudian pramugari
menghidangkan makan malam dalam baki-baki yang tertata rapi. Ada salad sebagai
makanan pembuka, makanan utama hingga puding sebagai makanan penutup. Pria ini
mengeluh:“Ya, ampun! Kayak makan di rumah sakit saja. Pilihannya hanya ayam
atau sapi lagi, dan semuanya dijatah. Dikit gini nggak akan sampai di tenggorokanku.
Huh! Coba, di kelas utama tadi, makannya dua tiga kali lipat, ada sampanye,
anggur, jus, minuman ringan, tinggal pilih.
Aduh! Meja ini bergoyang-goyang lagi. Lihat meja di kelas utama, kokoh. Pasti
nggak goyang kayak ini.”
Tak lama kemudian makan
malam selesai. Pramugari menawarkan minuman tambahan. Pria ini minta minuman
anggur merah. Pramugari menuangkannya ke dalam sebuah kup plastik. Pria ini memilih untuk merasa tersinggung.
Sambil mendelik ia berkata: “Minum anggur pakai kup plastik? Memangnya tidak
ada gelas wine yang benar di pesawat
ini?”
“Maaf Tuan. Ini standar
kelas ekonomi, Tuan.” Jawab pramugara itu tetap sopan.
“Kalau di kelas utama atau
bisnis pakai gelas wine ya?” Tanya
pria itu sengit. Ia bermaksud menunjukkan gengsinya dengan mengembalikan kup
plastik itu. Tetapi pramugara itu berkata tegas: “Nanti kami akan kembali
mengambil alat-alat makan, Tuan.”
Pria itu cemberut. Ia sudah
sepenuhnya tergulung economy class
syndrome. Karena cemburu pada
sesuatu yang tidak diketahuinya (bukankah ia belum pernah naik pesawat sebagus
ini sebelumnya?) ia tidak lagi mampu mensyukuri berkat-berkat yang sedang
berlangsung dalam hidupnya.
Penumpang yang duduk di
kursi 76E, seorang eksekutif perempuan yang sedang liburan (kalau melakukan
perjalanan bisnis atau tugas kantor selalu naik kelas bisnis) diam-diam
memerhatikan perilaku pria ini.
“Pak, sayang banget tuh wine-nya gak diminum. Itu wine tahun 1990 lho. Untuk aku saja ya?”
Kata eksekutif perempuan itu.
Pria itu mendengus. “Ambil
saja kalau mau. Aku sih tidak sudi minum wine
dengan kup plastik. Nggak kelas!”
“Iya. Nggak kelas
memang. Kelas ekonomi airlines lain malah cuma menyediakan wine sepuluh dolaran perbotol.” Sahut
eksekutif perempuan itu.
Dua jam di atas udara,
seluruh rangkaian santap makan usai. Penumpang-penumpang yang kenyang mulai
bersiap-siap untuk beristirahat. Penerangan di ruang kabin mulai diredupkan.
Pria itu karena kesal tidak dapat beristirahat. Sebentar-bentar ia berdiri
untuk ke kamar mandi. Penumpang di kursi
76E sudah tidur, demikian pula penumpang di kursi 76 G dan H sehingga ia
kesulitan untuk keluar masuk. Duduk diam
pun ia tak beta; kursinya semakin lama semakin menyempit dan keras. Ia mencoba
menyalakan video di depannya, namun hatinya menggerutui layarnya yang begitu
kecil. Coba di kabin depan sana, layarnya dua kali lebih lebar.
Setelah 7 jam di udara
pesawatnya mendarat di bandara Narita, Tokyo. Pria ini merasa sangat lelah,
tidak bahagia bagaikan baru keluar dari neraka penyiksaan.
***
Sebenarnya, neraka atau surga,
pikiran kitalah yang menciptakannya. Economy
Class Syndrome tidak perlu berarti secara harfiah sebagai penumpang kelas
ekonomi. Setiap orang yang tidak dapat menyukuri berkat dan keberuntungannya—sekecil
apapun, ia terkena ECS (economy class
syndrome). Seseorang yang iri hati terhadap keuntungan orang lain yang
lebih besar, kondisi yang lebih baik dibandingkan dirinya, ia terkena ECS.
Supaya terhindar dari ECS,
maka ingatlah untuk selalu menyukuri sepenuh hati apapun yang kita miliki saat
ini.
Jika kita bisa bernafas,
kita menghirup oksigen secara gratis dan mengeluarkan karbondioksida yang akan
diolah secara gaib oleh tumbuh-tumbuhan menjadi oksigen, syukurilah.
Jika saat ini kita merasa
sehat dan tubuh kita terasa nyaman, syukurilah dan dengan bersyukur kita
meningkatkan sistim kekebalan tubuh.
Jika hari ini kita memiliki
makanan sehingga tidak perlu menderita kelaparan, sesederhana apapun makanan
itu, syukurilah dan rasa nikmat yang diberikan makanan itu akan meningkat.
Jika kita menyaksikan
orang-orang lain berada dalam kondisi jauh lebih beruntung—mereka di kelas
utama, bersyukurlah sebab itu pertanda betapa baiknya Tuhan Alam Semesta. Percayalah pada keadilanNya mengijinkan siapa
mengelola apa di Alam Semesta kepunyaNya.
Rayakan keberuntungan orang
lain, dan yakin saja bahwa pada waktu yang tepat Anda akan mendapat giliran.
***
Datanglah Kerajaanmu,
jadilah Kehendakmu
Di atas Bumi seperti di
dalam Surga.
Mengalami Surga tidak harus
menunggu setelah mati,
sebab Surga terjadi di atas
Bumi ketika kita menemukan Kerajaan Tuhan dalam lautan Kalbu yang beralun damai
dan mencanda pantai kehidupan dengan belaian Puji Syukur.
Datang dan pergi, menerima
Kerajaan Surga, bersyukur, menerima Kerajaan Surga, bersyukur.
Gulung-menggulang tak
berakhir.
Comments
Post a Comment