Dr. Erickson sering
menjawab: “I don’t know”. Bukan berarti ia benar-benar tidak tahu
jawabannya, namun ia selalu menunda jawaban yang sudah ada dalam pikirannya
dan penasaran mencari kemungkinan-kemungkinan baru.
jawabannya, namun ia selalu menunda jawaban yang sudah ada dalam pikirannya
dan penasaran mencari kemungkinan-kemungkinan baru.
Sebagai
murid NLP dan penggemar filosofi Zen, saya juga mengidentifikasi ‘kesamaan’
antara apa yang disebut uptime state
dengan pikiran pemula. Bagi Anda yang
tidak familier dengan istilah ini, uptime
adalah istilah komputer versi jadul saat sedang menerima input data melalui
papan ketik pada awal perkembangannya. Sesudah itu operator perlu memberikan
kesempatan kepada sang komputer untuk memproses data tadi, dan ini diistilahkan
‘downtime’. Saat sedang memproses
data, papan ketik biasanya tidak dapat dioperasikan lagi. Komputer masa itu
belum multi tugas seperti sekarang. Ketika operator menginput data, maka
komputer tidak bisa melakukan tugas lainnya, tidak sama dengan komputer zaman
ini. Sekarang saya mengetik sambil mendengarkan lagu dan menggunakan berbagai
aplikasi bersamaan.
Masa-masa Richard Bandler dan John
Grinder giat melakukan modeling dekade 70-an kebetulan komputer juga masih
balita. Bukan sembarang balita, komputer adalah keajaiban abab ke-20, jadi
jangan kaget kalau komputer pun dijadikan model oleh mereka. Merujuk bagaimana
kondisi kompter ketika sedang diketik, lalu kedua jenius ini memasuki state atau kondisi tanpa internal
dialog, tanpa imaji, dan bebas tekanan emosional serta terfokus sepenuhnya pada
lingkungan eksternal “di sini dan sekarang”. Uptime state dapat disamakan dengan pikiran pemula. Terbuka untuk
menerima informasi yang sedang berlangsung sekarang dan di sini. Setelah
membaca beberapa buku tentang Zen, saya menyadari bahwa sebenarnya cara mengisi
pikiran demikian dalam NLP dipraktikkan seperti sedang zazen.
Berikutnya adalah not knowing state yang dapat disebut
sebagai kondisi pikiran khusus para pemodel NLP untuk mengumpulkan informasi.
Ketika seseorang memasuki kondisi ini, ia menanggalkan segala asumsi dan
pengetahuan dari pikirannya. Dengan kata lain ia beroperasi dengan pikiran
pemula dan melepaskan pikiran ahli. Jadi ia akan mengamati objek yang sedang
dimodel seakan-akan seorang anak kecil yang polos dan belum tahu apa-apa. ‘Not
knowing state’ ternyata sudah digunakan oleh ilmuwan, artis dan seniman; di
antaranya Wolfgang Amadeus Mozart menciptakan musik dengan melamunkan hal-hal
yang menyenangkan hatinya seolah-olah ia tidak mengerti nada-nada. Leonardo Da
Vinci akan menatap tembok kosong berjam-jam hingga trans. Anda pasti ingat
Issac Newton yang duduk-duduk di bawah pohon apel hingga kejatuhan buah
grativitas? Yang dramatis tentu saja si Archimedes, ketika ia masuk
ke bak mandi dan menemukan kenyataan bahwa volume air yang meluap dan tertumpah
sama dengan berat tubuhnya di dalam air, ia melompat lalu berlari di jalanan, telanjang
bulat, sambil berteriak: Eureka! Eureka! Sedangkan Albert
Einstein mengakui kalau ia memperoleh ide-ide teori relativitas dengan
mengajukan berbagai pertanyaan ‘pemula’, tanpa asumsi dasar apapun seperti
halnya kanak-kanak.
Namun kita perlu membedakan
ketertarikan kanak-kanak dengan ‘not
knowing state’. Seumpanya cerita tentang seorang pria dengan putranya yang
berumur enam tahun dan seorang keponakan putri berusia tujuh tahun. Pria ini
tadinya berjenggot, tapi suatu hari ia memutuskan mencukur jenggotnya dan
pulang ke rumahnya dengan wajah klimis. Putra dan keponakannya yang seumur
hidup belum pernah melihatnya tanpa jenggot, memberikan reaksi berbeda.
Putranya langsung mengajukan berbagai pertanyaan: Ke mana jenggotnya, Pa?
Dicukur. Dicukur? Apa itu dicukur? Dibuang. Dibuang di mana, Pa? Di tempat
potong rambut langganan papa. Di mana, pa?
Sebaliknya sang keponakan; ia tidak
berkata sepatah pun. Ia mengamati wajah pamannya penuh perhatian sementara
menyimak tanya jawab di antara paman dan adik sepupunya.
Siapa di antara kedua anak itu yang
memiliki pikiran pemula? Si keponakan tentu saja. Entah kebetulan atau bukan,
keponakan perempuannya selalu ranking nomor satu di sekolah, sementara putra
bapak ini naik kelas saja harus ditarik atau didorong ibarat mobil rusak.
Mengingat posisi Dr. Milton H. Erickson
sebagai model yang sangat penting bagi co-founders
NLP, maka pikiran pemulanya perlu kita bahas tersendiri. Menurut yang saya baca
hampir di semua halaman buku-buku yang ditulis Bandler dan Grinder, mereka
selalu mengingat satu gaya khas sang psikiater dan hipnoterapis kondang ini. Dr.
Erickson sering menjawab: “I don’t know”. Bukan berarti ia benar-benar tidak
tahu jawabannya, namun ia selalu menunda jawaban yang sudah ada dalam
pikirannya dan penasaran mencari kemungkinan-kemungkinan baru. Ketika
berhadapan dengan seorang klien, Dr. Erickson tidak pernah sekali-sekali
berasumsi. Ia mengobservasi kliennya penuh rasa ingin tahu. Sebagai penyembuh
dan pemerhati perilaku manusia, Dr. Erickson sadar kalau ia berpendapat apapun
tentang kliennya, ia sebenarnya membuka petanya sendiri yang belum tentu sesuai
dengan realita kliennya.
Shunryu Suzuki suka bercerita
tentang seekor kodok untuk menjelaskan tujuan berlatih zazen kepada murid-muridnya: “Perhatikan kodok itu! Bukankah ia
duduk seperti kita-kita juga tanpa memahami zazen.
Jika ada sesuatu yang mengganggunya, ia memberengut. Jika ada lalat terbang di
dekatnya, lidahnya menyambar dengan tangkas. Ia memakan lalat itu sambil tetap
duduk.” Intinya, guru Zen ini ingin mengatakan bahwa pikiran pemula itu
bukanlah pikiran yang penuh asumsi. Tidak ada bedanya ia dan murid-muridnya
duduk dalam posisi bermeditasi berjam-jam dengan seekor kodok. Tidak ada
bedanya pula dengan Leonardo Da Vinci yang menatap tembok kosong, Issac Newton
melamun di bawah pohon, Archimedes yang (hendak) berendam di bak mandi, Mozart
yang berjalan-jalan menikmati udara sore di musim semi, atau Albert Einstein
yang mengosongkan semua konsep kemudian bertanya-tanya dengan pikiran pemula.
Kodok tidak pernah bersekolah, tidak
pernah belajar psikologi, tetapi ia percaya diri dan menyabetkan lidahnya
begitu ada lalat atau serangga lain terbang di dekatnya. Ia tidak pernah
merisaukan apakah hari ini akan banyak serangga yang terbang di dekatnya atau
tidak. Ia hanya duduk seperti praktisi Zen. Seandainya kita semua dapat
memiliki tingkat percaya diri seperti itu, kita akan semakin bahagia sebab kita
dapat membebaskan diri dari kekhawatiran. Seandainya kita dapat selalu berada
di saat sekarang di sini, kita akan terbebas dari stres karena tidak ada masa
depan untuk dikhawatirkan ataupun masa lalu untuk disesali.
Comments
Post a Comment