Kelinci dan kura-kura bertanding lari maraton? Dari segala aspek, tampaknya pemenangnya sudah pasti, si kelinci!!! Pertama kelinci lincah melompat dengan keempat kakinya yang beberapa kali lebih panjang dibandingkan kaki si kura-kura. Badan kelinci ringan sedangkan sang kura-kura harus mengangkuti rumahnya yang aduhai berat. Jika bertemu halangan dan hambatan, si kelinci dengan mudah dapat melewatinya, tetapi si kura-kura harus pelan-pelan memanjat dan turun lagi di sisi yang berbeda dengan hati-hati sekali agar tidak tergelincir yang kemungkinan akan menyebabkan ia terluka.
Si kelinci yang terlalu percaya diri itu hampir ternganga ketika tantangannya diterima sang kura-kura tanpa pikir panjang. Ia hanya tersenyum misterius ketika binatang-binatang lain di hutan berusaha menasihatinya untuk tidak mengikuti perlombaan di mana ia tak punya kesempatan untuk menang.
Pada hari yang telah ditentukan, matahari di musim panas bersinar sangat garang, kedua binatang yang sangat berbeda itu pun bersiap-siap di depan garis start. Ayam jantan yang bertindak sebagai juri berkokok tiga kali, dan sang kelinci melesat maju ke depan, meninggalkan kura-kura yang baru berinsut beberapa inci. Binatang-bintang lain yang menonton di sepanjang jalur pertandingan bukannya memberi semangat, malah mencemoohkannya dungu, keras kepala dan tak tahu diri.
Sang kura-kura tidak marah diejek, dengan sabar, ia tekun merangkak, beringsut maju selangkah demi selangkah. Sementara itu sang kelinci sudah tidak tampak batang hidungnya. Sang kelinci memang sudah jauh, ia telah menempuh dua pertiga jarak yang ditentukan. Kebetulan ia melewati kebun wortel, agak lapar dan haus ia pun memutuskan untuk mencuri satu atau dua buah wortel. Ia mengendap-endap sambil menunggu kesempatan baik. Ketika sang petani berjalan ke bawah sebatang pohon untuk beristirahat, sang kelinci cepat-cepat menggali dua batang wortel yang besar-besar. Dengan rakus ia menggerogoti wortel-wortel itu.
Setelah kenyang ia tidak segera kembali ke jalur pertandingan. Huh, si kura-kura bego itu pasti masih jauh. Ah, lebih baik aku tidur sebentar! Sang kelinci merebahkan dirinya dalam sebuah lubang. Tanpa terasa ia pun tertidur dengan pulas. Ia bermimpi memenangkan perlombaan dan mendapatkan hadiah yang besar. Tiba-tiba lantai panggung di mana ia berdiri sambil menerima piala dari sang musang rubuh dengan suara keras. Si kelinci kaget. Ia terbangun dan mendapati si petani sedang mengangkat paculnya dan bersiap untuk membacok tubuhnya. Ia melompat sekuat tenaga dan secepat mungkin untuk menyelamatkan diri. Petani wortel tidak tinggal diam, ia mengejarnya. Karena harus menyelamatkan nyawanya, kelinci tak sempat memperhatikan bahwa ia telah berlari ke arah yang menjauhi garis finis.
Sementara itu sang kura-kura terus merangkak. Suatu saat perjalanannya terhalang sebatang balok kayu yang besar. Berulang kali ia berusaha merangkak ke atas dan terjatuh. Ia mengulangi hingga lima kali akhirnya ia berhasil menyeret dirinya ke atas balok tersebut. Menuruni balok kayu itu pun bukan perkara mudah. Ia harus mengerah tenaga sekuatnya untuk mencengkram balok kayu yang mulai rapuh itu agar dapat turun pelan-pelan tanpa harus terjatuh.
Dan, balok kayu itu pun bukan satu-satunya penghalang. Ia pun harus merangkak naik ke atas sebuah undukan yang ternyata merupakan sarang semut api. Tentu saja serangga-serangga itu marah teritorinya dilanggar. Dengan susah payah si kura-kura menenangkan mereka sambil meminta maaf. Dengan sikap pantang menyerah, ia meneruskan merangkak, meskipun nafasnya sudah tersengal-sengal ia bertekat tidak akan beristirahat sebelum mencapai garis finis.
Mari kita kembali kepada si kelinci. Setelah berhasil menyelamatkan diri dari amukan petani, ia kebingungan di suatu tempat yang tidak dikenalnya. Tetapi bukannya buru-buru mencari jalan untuk kembali ke jalur perlombaan, ia memilih beristirahat terlebih dahulu. Sambil berkeluh-kesah ia memijat-mijat kakinya yang pegal-pegal. Setelah hilang penat badannya baru ia mencari jalan untuk kembali ke jalur perlombaan. Seperti si kura-kura ia pun menemui balok kayu besar. Dengan pongah ia melompatinya. Ketika ia terhalang sarang semut api, bukannya permisi dengan sopan, ia malah mengobrak-abrik gundukan tanah yang telah memperlambat larinya itu. Tak ayal lagi semut api melakukan perlawanan, ratusan semut yang berprofesi sebagai tentara mengerunginya, menusukkan sengat mereka yang tajam-tajam membuat si kelinci menjerit-jerik kesakitan. Ia terpaksa berguling-guling di atas tanah untuk mengenyahkan pasukan semut itu. Tanpa ia sadari ia membuang waktu berjam-jam di sana.
Matahari mulai condong ke barat, ketika dengan tenaganya yang terakhir sang kura-kura merangkak melewati garis finis. Dengan girang ia melihat pita merah masih terpasang di tempatnya, pertanda si kelinci lawannya belum melewati garis finis. Binatang-binatang hutan lain seperti musang, beruang, monyet, landak dan lain-lain menyambut kemenangan sang kura-kura dengan tepukan gegap-gempita. Semuanya menggeleng-gelengkan kepada; tidak percaya pada kenyataan yang mereka hadapi.
Di saat makan malam dihidangkan lima belas menit kemudian, tibalah si kelinci sambil terpincang-pincang. Sepasang kelopak matanya bengkak-bengkak bekas sengatan semut api.
“Aku belum kalah! Aku tak mungkin mengalah pada kura-kura! Ayo, besok kita bertanding lagi!” Si kelinci berteriak-teriak.
Sang musang mendekatinya dan sambil menepuk-nepuk pundaknya, ia berkata: “Hai, kelinci, kecepatan berlarimu tidak ditunjang perilaku yang tepat! Jika kau tidak mengubah perilakumu, kau akan kalah lagi, jangankan melawan kura-kura, melawan keong pun kau akan kalah!”
Si kelinci yang terlalu percaya diri itu hampir ternganga ketika tantangannya diterima sang kura-kura tanpa pikir panjang. Ia hanya tersenyum misterius ketika binatang-binatang lain di hutan berusaha menasihatinya untuk tidak mengikuti perlombaan di mana ia tak punya kesempatan untuk menang.
Pada hari yang telah ditentukan, matahari di musim panas bersinar sangat garang, kedua binatang yang sangat berbeda itu pun bersiap-siap di depan garis start. Ayam jantan yang bertindak sebagai juri berkokok tiga kali, dan sang kelinci melesat maju ke depan, meninggalkan kura-kura yang baru berinsut beberapa inci. Binatang-bintang lain yang menonton di sepanjang jalur pertandingan bukannya memberi semangat, malah mencemoohkannya dungu, keras kepala dan tak tahu diri.
Sang kura-kura tidak marah diejek, dengan sabar, ia tekun merangkak, beringsut maju selangkah demi selangkah. Sementara itu sang kelinci sudah tidak tampak batang hidungnya. Sang kelinci memang sudah jauh, ia telah menempuh dua pertiga jarak yang ditentukan. Kebetulan ia melewati kebun wortel, agak lapar dan haus ia pun memutuskan untuk mencuri satu atau dua buah wortel. Ia mengendap-endap sambil menunggu kesempatan baik. Ketika sang petani berjalan ke bawah sebatang pohon untuk beristirahat, sang kelinci cepat-cepat menggali dua batang wortel yang besar-besar. Dengan rakus ia menggerogoti wortel-wortel itu.
Setelah kenyang ia tidak segera kembali ke jalur pertandingan. Huh, si kura-kura bego itu pasti masih jauh. Ah, lebih baik aku tidur sebentar! Sang kelinci merebahkan dirinya dalam sebuah lubang. Tanpa terasa ia pun tertidur dengan pulas. Ia bermimpi memenangkan perlombaan dan mendapatkan hadiah yang besar. Tiba-tiba lantai panggung di mana ia berdiri sambil menerima piala dari sang musang rubuh dengan suara keras. Si kelinci kaget. Ia terbangun dan mendapati si petani sedang mengangkat paculnya dan bersiap untuk membacok tubuhnya. Ia melompat sekuat tenaga dan secepat mungkin untuk menyelamatkan diri. Petani wortel tidak tinggal diam, ia mengejarnya. Karena harus menyelamatkan nyawanya, kelinci tak sempat memperhatikan bahwa ia telah berlari ke arah yang menjauhi garis finis.
Sementara itu sang kura-kura terus merangkak. Suatu saat perjalanannya terhalang sebatang balok kayu yang besar. Berulang kali ia berusaha merangkak ke atas dan terjatuh. Ia mengulangi hingga lima kali akhirnya ia berhasil menyeret dirinya ke atas balok tersebut. Menuruni balok kayu itu pun bukan perkara mudah. Ia harus mengerah tenaga sekuatnya untuk mencengkram balok kayu yang mulai rapuh itu agar dapat turun pelan-pelan tanpa harus terjatuh.
Dan, balok kayu itu pun bukan satu-satunya penghalang. Ia pun harus merangkak naik ke atas sebuah undukan yang ternyata merupakan sarang semut api. Tentu saja serangga-serangga itu marah teritorinya dilanggar. Dengan susah payah si kura-kura menenangkan mereka sambil meminta maaf. Dengan sikap pantang menyerah, ia meneruskan merangkak, meskipun nafasnya sudah tersengal-sengal ia bertekat tidak akan beristirahat sebelum mencapai garis finis.
Mari kita kembali kepada si kelinci. Setelah berhasil menyelamatkan diri dari amukan petani, ia kebingungan di suatu tempat yang tidak dikenalnya. Tetapi bukannya buru-buru mencari jalan untuk kembali ke jalur perlombaan, ia memilih beristirahat terlebih dahulu. Sambil berkeluh-kesah ia memijat-mijat kakinya yang pegal-pegal. Setelah hilang penat badannya baru ia mencari jalan untuk kembali ke jalur perlombaan. Seperti si kura-kura ia pun menemui balok kayu besar. Dengan pongah ia melompatinya. Ketika ia terhalang sarang semut api, bukannya permisi dengan sopan, ia malah mengobrak-abrik gundukan tanah yang telah memperlambat larinya itu. Tak ayal lagi semut api melakukan perlawanan, ratusan semut yang berprofesi sebagai tentara mengerunginya, menusukkan sengat mereka yang tajam-tajam membuat si kelinci menjerit-jerik kesakitan. Ia terpaksa berguling-guling di atas tanah untuk mengenyahkan pasukan semut itu. Tanpa ia sadari ia membuang waktu berjam-jam di sana.
Matahari mulai condong ke barat, ketika dengan tenaganya yang terakhir sang kura-kura merangkak melewati garis finis. Dengan girang ia melihat pita merah masih terpasang di tempatnya, pertanda si kelinci lawannya belum melewati garis finis. Binatang-binatang hutan lain seperti musang, beruang, monyet, landak dan lain-lain menyambut kemenangan sang kura-kura dengan tepukan gegap-gempita. Semuanya menggeleng-gelengkan kepada; tidak percaya pada kenyataan yang mereka hadapi.
Di saat makan malam dihidangkan lima belas menit kemudian, tibalah si kelinci sambil terpincang-pincang. Sepasang kelopak matanya bengkak-bengkak bekas sengatan semut api.
“Aku belum kalah! Aku tak mungkin mengalah pada kura-kura! Ayo, besok kita bertanding lagi!” Si kelinci berteriak-teriak.
Sang musang mendekatinya dan sambil menepuk-nepuk pundaknya, ia berkata: “Hai, kelinci, kecepatan berlarimu tidak ditunjang perilaku yang tepat! Jika kau tidak mengubah perilakumu, kau akan kalah lagi, jangankan melawan kura-kura, melawan keong pun kau akan kalah!”
Comments
Post a Comment