Semua orang ingin menang. |
Saya teringat kepada teman main saya di kelas satu hingga tiga sekolah dasar, namanya Li-hwa. Li-hwa dan adik laki-lakinya yang tuna-rungu merupakan anak angkat dari sepasang suami istri yang tidak memiliki anak. Walau pun sama-sama anak angkat, orang tua mereka memperlakukan adiknya lebih baik daripada perlakuan terhadap Li-hwa. Setiap hari Li-hwa harus bekerja keras di rumah dan menjaga sang adik sementara orangtuanya sibuk di warung kopi. Li-hwa sendiri tidak memiliki keinginan apa-apa. Prestasi sekolahnya juga biasa-biasa saja. Sedangkan saya, sering berkhayal dan menceritakan khayalan-khayalan itu kepadanya. Salah-satu di antara khayalan saya adalah menjadi dokter. Dan Li-hwa selalu mendengarkan dan menatap saya dengan sinar kekaguman di matanya.
"Aku percaya kau bisa menjadi dokter nanti. Hanya saja kalau sudah jadi dokter nanti jangan melupakan aku ya? Siapa tahu kau dapat menyembuhkan adikku." katanya selalu. Namun, Li-hwa juga pernah beberapa kali memanfaatkan keudikan saya. Karena saya tinggal di desa dan jarang melihat koran atau majalah, Li-hwa sering menawarkan foto-foto pria atau wanita muda yang digunting dari koran atau majalah. Katanya itu adalah foto-foto para bintang film Hong Kong dan Taiwan. Di kemudian hari guntingan itu saya tahu hanyalah foto orang-orang yang mencari pen-pal. Ha ha ha....dan saya terkecoh mau membelinya seharga serupiah perlembar.
Saya dan Li-hwa berpisah, karena saya pindah ke Pontianak ketika naik ke kelas empat sekolah dasar. Bertahun-tahun kami tidak pernah berhubungan lagi, dan tentu saja saya juga tidak menjadi dokter, barangkali karena itu sah-sah saja saya melupakannya. Dua puluh tahun pun terlewati, dan ketika ayah saya tercinta meninggal dunia, saya pulang ke desa. Setelah pemakaman dan segala kesibukan mereda, sebelum kembali ke tempat tugas, saya menyempatkan diri mencari tahu kabar Li-hwa. Sayangnya, Li-hwa demikian rendah diri atau pemalu sehingga tidak mau menemui saya. Orangtua angkatnya masih mengusahakan warung kopi yang sama, dan adik laki-lakinya yang tuna runggu juga masih bersama mereka. Wakru seakan berhenti di kota kecil itu.
Apa yang beda antara diri saya dan Li-hwa? Terlalu sombong untuk memperbandingkannya. Kehidupan yang dijalani setiap manusia adalah unik dan penting bagi masing-masing individu. Bagi saya bersekolah dan berpindah ke tempat yang memungkinkan saya bersekolah itu penting, barangkali bagi Li-hwa kehidupan yang tenang lebih penting.
Beberapa tahun yang lalu, seorang aktris kawakan sempat memberi rumah, kehangatan kasih-sayang dan bahkan kemewahan kepada beberapa anak gelandangan yang sempat dijadikan figuran di filmnya. Namun tak berapa lama kemudian, anak-anak itu melarikan diri dan kembali ke jalanan. Sang aktris boleh saja geleng-geleng kepala tak memahami, saya kira anak-anak itu tidak pernah memikirkannya sama-sekali tindakan mereka.
Bagi saya sekolah itu sangat penting. Jika hari ditanyakan kepada saya apakah saya akan berubah pikiran? Rasanya tidak. Saya terkagum-kagum melihat saudara-saudara angkat saya berangkat ke kota untuk sekolah, dan saya pun merengek minta dimasukkan ke sekolah, padahal umur saya belum mencukupi. Oh ya, pada masa itu seorang anak dapat diterima di sekolah jika tangannya cukup panjang sehingga ia dapat memegang telinga kiri dengan tangan kanan memutar belakang kepala. Dan tangan saya belum mencapai telinga kiri. Saya tetap merengek, hingga akhirnya ibu saya mengalah. Saya mulai bersekolah kelas satu pada usia empat tahun kurang. Saya bisa menghitung satu sampai 100 dalam bahasa dialek Hakka, bisa menulis nama China saya dan menggambar perahu, pohon kelapa dan bunga-bunga. Tapi karena tidak mampu membaca abjad saya kehilangan kesabaran, saya meminta kakak angkat saya untuk mengajarkan hingga bisa.
Lalu terjadi huru-haru di desa kami sehingga kami terpaksa harus mengungsi dan juga disebabkan gangguan kesehatan, saya terpaksa berhenti sekolah dan saat itu karena paman saya mengajari saya membaca bahasa kanji yang sederhana, saya cukup terhibur, apalagi ia juga sering bercerita yang menarik hati. Setahun berlalu menjadi dua tahun, saya kembali merengek minta dimasukkan sekolah lagi, saya bahkan mengatakan bahwa saya akan bunuh diri jika tidak disekolahkan. Sungguh menggelikan, tapi saya ingat betul.
Jika saya pulang ke desa, saya tidak menemukan banyak perubahan. Perempuan-perempuan seusia saya bergelut dengan kehidupan mereka yang keras. Bekerja kasar di kebun, menjadi pemecah batu atau bekerja sebagai pelayan bar bila kebetulan memiliki penampilan lumayan. Waktu dan kehidupan yang saya tinggalkan bergeming, hanya saya yang berubah sepertinya.
Soal sekolah, beberapa waktu yang lalu, saya chatting dengan keponakan saya yang baru lulus SMK. Saya bertanya mengapa ia tidak melanjutkan kuliah? Jawabannya: "Nggak ah! Otak saya gak mampu!" Kami berbagi darah dan gen, tidak berbagi pandangan hidup. Terkadang saya merasa risih, sebab saya tidak sanggup menginspirasi keponakan saya sendiri. Namun saya menyadari bahwa persepsi setiap orang berbeda. Seorang teman yang menikah dengan pria Hong Kong dan menetap di sana 20 tahun terakhir ini pulang ke Jakarta baru-baru ini. Setelah mendapatkan nomor hape saya, ia pun menelepon. Kami mengobrol dan dia bertanya saya bekerja di mana. Saya ceritakan bahwa saya sekarang "bekerja sendiri", sebagai trainer. Dia bertanya apa yang saya latih. Saya katakan pengembangan sumber daya manusia untuk menyederhanakan topik. Dia mengatakan saya bodoh karena meninggalkan posisi bos besar untuk jadi guru. Saya mau bilang apa? Jadi apakah saya sudah sukses? Ya, menurut saya dan ketika saya melakukan sesuatu dengan baik.
Apa yang beda antara diri saya dan Li-hwa? Terlalu sombong untuk memperbandingkannya. Kehidupan yang dijalani setiap manusia adalah unik dan penting bagi masing-masing individu. Bagi saya bersekolah dan berpindah ke tempat yang memungkinkan saya bersekolah itu penting, barangkali bagi Li-hwa kehidupan yang tenang lebih penting.
Beberapa tahun yang lalu, seorang aktris kawakan sempat memberi rumah, kehangatan kasih-sayang dan bahkan kemewahan kepada beberapa anak gelandangan yang sempat dijadikan figuran di filmnya. Namun tak berapa lama kemudian, anak-anak itu melarikan diri dan kembali ke jalanan. Sang aktris boleh saja geleng-geleng kepala tak memahami, saya kira anak-anak itu tidak pernah memikirkannya sama-sekali tindakan mereka.
Bagi saya sekolah itu sangat penting. Jika hari ditanyakan kepada saya apakah saya akan berubah pikiran? Rasanya tidak. Saya terkagum-kagum melihat saudara-saudara angkat saya berangkat ke kota untuk sekolah, dan saya pun merengek minta dimasukkan ke sekolah, padahal umur saya belum mencukupi. Oh ya, pada masa itu seorang anak dapat diterima di sekolah jika tangannya cukup panjang sehingga ia dapat memegang telinga kiri dengan tangan kanan memutar belakang kepala. Dan tangan saya belum mencapai telinga kiri. Saya tetap merengek, hingga akhirnya ibu saya mengalah. Saya mulai bersekolah kelas satu pada usia empat tahun kurang. Saya bisa menghitung satu sampai 100 dalam bahasa dialek Hakka, bisa menulis nama China saya dan menggambar perahu, pohon kelapa dan bunga-bunga. Tapi karena tidak mampu membaca abjad saya kehilangan kesabaran, saya meminta kakak angkat saya untuk mengajarkan hingga bisa.
Lalu terjadi huru-haru di desa kami sehingga kami terpaksa harus mengungsi dan juga disebabkan gangguan kesehatan, saya terpaksa berhenti sekolah dan saat itu karena paman saya mengajari saya membaca bahasa kanji yang sederhana, saya cukup terhibur, apalagi ia juga sering bercerita yang menarik hati. Setahun berlalu menjadi dua tahun, saya kembali merengek minta dimasukkan sekolah lagi, saya bahkan mengatakan bahwa saya akan bunuh diri jika tidak disekolahkan. Sungguh menggelikan, tapi saya ingat betul.
Jika saya pulang ke desa, saya tidak menemukan banyak perubahan. Perempuan-perempuan seusia saya bergelut dengan kehidupan mereka yang keras. Bekerja kasar di kebun, menjadi pemecah batu atau bekerja sebagai pelayan bar bila kebetulan memiliki penampilan lumayan. Waktu dan kehidupan yang saya tinggalkan bergeming, hanya saya yang berubah sepertinya.
Soal sekolah, beberapa waktu yang lalu, saya chatting dengan keponakan saya yang baru lulus SMK. Saya bertanya mengapa ia tidak melanjutkan kuliah? Jawabannya: "Nggak ah! Otak saya gak mampu!" Kami berbagi darah dan gen, tidak berbagi pandangan hidup. Terkadang saya merasa risih, sebab saya tidak sanggup menginspirasi keponakan saya sendiri. Namun saya menyadari bahwa persepsi setiap orang berbeda. Seorang teman yang menikah dengan pria Hong Kong dan menetap di sana 20 tahun terakhir ini pulang ke Jakarta baru-baru ini. Setelah mendapatkan nomor hape saya, ia pun menelepon. Kami mengobrol dan dia bertanya saya bekerja di mana. Saya ceritakan bahwa saya sekarang "bekerja sendiri", sebagai trainer. Dia bertanya apa yang saya latih. Saya katakan pengembangan sumber daya manusia untuk menyederhanakan topik. Dia mengatakan saya bodoh karena meninggalkan posisi bos besar untuk jadi guru. Saya mau bilang apa? Jadi apakah saya sudah sukses? Ya, menurut saya dan ketika saya melakukan sesuatu dengan baik.
Comments
Post a Comment