Mental Pemenang Mental Pecundang Timnas


Saya duga banyak penggila, pencinta, penggemar bola—apapun sebutannya—merasa kecewa dengan penampilan Timnas kita di Gelora Bung Karno tadi malam (Jumat, 15 Oktober 2010). Tolong dicatat bahwa saya hanya bisa menduga, sebab saya tidak akan tahu secara pasti pikiran, pendapat setiap orang, termasuk Anda yang sedang membaca tulisan ini. Bagi saya pribadi—yang tidak bisa digolongkan sebagai penggemar, pencinta ataupun penggila bola—saya hanya tertarik untuk mengobservasi bagaimana mentalitas para pemain selama pertandingan berlangsung.
                Menurut informasi yang saya peroleh dari berbagai media massa, tim Merah Putih sadar bahwa di atas kertas—di atas lapangan hijau—skornya jauh di bawah tim Uruguay yang beberapa bulan yang lalu sempat malang-melintang hingga babak semi final di FIFA world cup 2010. Oleh sebab itu, dari awal memutuskan untuk memilih bertahan. Sangat rendah hati, bukan? Barangkali yang melintas dalam benak pelatih Timnas adalah “tahu diri.” Namun, sayangnya banyak orang tidak menyadari bahwa strategi bertahan membutuhkan daya yang sangat besar. Jika kita mempelajari sejarah, membaca buku-buku seperti Sam Kok, Sun-tzu dan sebagainya, kita akan membaca bahwa tidak pernah ada yang memenangkan perang dengan strategi bertahan. Pasukan musuh akan terus menggempur benteng pertahanan hingga mencapai dua kondisi. Yang pertama pasukan di balik benteng pertahanan kehabisan ransum atau bentengnya berhasil dirobohkan, atau kedua pasukan penggempur kehabisan ransum sehingga ia terpaksa pulang ke bentengnya sendiri. Jadi jelas sekali bahwa strategi bertahan sebenarnya hanya diaplikasikan dalam keadaan benar-benar terdesak dan dilakukan dengan persiapan matang serta secara pasti tahu bahwa pasukan musuh akan mundur dengan sendirinya.
                Dalam sebuah pertandingan sepak bola atau permainan apapun, tidak ada resiko seperti halnya dalam suatu peperangan. Demikian pula halnya dalam kehidupan keseharian kita, maka mengaplikasikan strategi bertahan dapat saja diartikan menarik diri. Dalam istilah yang saya sukai, mengusung mentalitas pecundang. Ketika pada menit-menit pertama Boaz Salosa berhasil menyarangkan bola ke gawang Uruguay, semangat hanya menyala sekilas di pihak Indonesia, namun justru memancing tim Uruguay yang mengusung mentalitas pemenang untuk menyerang balik, hasilnya kita semua semua sudah tahu—tujuh kali mereka merobek gawang Markus Maulana.  Benteng pertahanan Indonesia roboh, daya tahan seperti semangat, nafas, tenaga fisik habis sudah. Bahasa tubuh beberapa pemain terlihat seperti sikap buruh bangunan yang kecapean. Sinar mata mereka tak lagi peduli, barangkali yang tersisa dalam hati memang ketidakpedulian dan penggampangan seperti biasanya: Just a game, not a big deal. Dari awal juga sudah tahu akan kalah. Bukannya kita tidak bagus, tapi kekuatan yang sangat tidak seimbang. Hanya orang bodoh yang akan bertaruh kita boleh menang melawan Uruguay.
                Ah, itu hanya sebuah permainan dan telah usai pula! Yang penting sekarang adalah: Pelajaran apa yang dapat dipetik terutama dalam konteks membangun mental pemenang? Untuk mencapai kemenangan, baik itu dalam sebuah permainan atau kehidupan nyata, seseorang tidak dapat hanya mengandalkan strategi bertahan. Tidak ada yang dapat dipelajari dengan bersembunyi di balik benteng dan menghabiskan ransum sekati demi sekati. Keadaan tidak akan berubah sampai kita mengubahnya. Jika kekuatan tidak seimbang, seharusnya kita menggunakan strategi gerilia. David menggunakan katepel atau pelontar batu jarak jauh supaya ia tak perlu dekat-dekat dengan Goliath sang raksasa. Kalau terlalu dekat dia bisa dilumat sekali injak. Pasukan Indonesia “mempertahankan” NKRI yang baru berdiri dengan melakukan perang gerilia, bukan bersembunyi sewaktu melawan pasukan Belanda yang bersenjata lengkap. Sun-tzu seringkali menggunakan ranting-ranting yang ditarik kuda untuk menimbulkan gulungan awan debu agar pasukannya yang segelintir dikira selaksa oleh pihak lawan. Zhuge Liang menghalau pasukan musuh dari bentengnya yang telah kosong dengan bersikap sebagai seorang pemenang. Ia bersikap seolah-olah tahu apa yang dia mau, dengan tenang ia bermain musik di balkon, dan tentaranya disuruh berpakaian seperti penduduk biasa.
                 Seandainya tujuan Timnas adalah bermain sebaik-baiknya, tidak peduli tim siapa pun yang akan dihadapinya, tentunya jalan permainan akan jauh lebih menarik. Para pemain akan memperoleh pengalaman (dalam NLP disebut feedback) yang luar biasa berharga. Setiap pemain akan mendapatkan kesempatan mengembangkan keterampilan, teknik dan sikap mental pemenang selama pertandingan berlangsung, tentu saja kerja sama tim juga akan terbentuk. Mempertahankan diri berbeda dengan membela diri, yang pertama pasif seperti yang kita saksikan tadi malam, sedangkan yang kedua aktif berdaya. Mempertahankan diri tergantung kepada sumberdaya yang ada, jika cukup banyak pertahanan berlangsung panjang, jika sedikit …ya hanya sejenak. Membela diri harus melakukan perlawanan, dan mengandalkan semangat juang yang tinggi, terus berpikir mencari peluang.
                Bagi saya sebagai observer sikap mental pemenang, jelas selama bertahan, pikiran para pemain dirasuki kekhawatiran kesebelasan Uruguay memasukkan bola ke gawang. Padahal, itu urusan kesebelasan Uruguay. Karena tidak adanya target untuk bermain sebaik mungkin dan belajar sebanyak mungkin, tim Indonesia mudah dicundangi tim lawan. Bagaikan orang yang berjalan dalam goa gelap penuh kelelawar, hanya sibuk mengenyahkan keroyokan tanpa benar-benar tahu apa yang dilakukannya. Mental pemenang tidak perlu membawa kita mengalahkan pihak lain, tetapi membawa kita mencapai tujuan yang kita tentukan sebelumnya. Kita boleh saja lebih muda, lebih hijau, lebih lemah dibandingkan orang lain, tetapi tidak berarti jika tidak mungkin mencapai kemenangan, lantas kita bersiap untuk dikalahkan. Sebab tujuan kita tak pernah harus mengalahkan orang lain untuk menjadi pemenang. Tujuan kita adalah mendapatkan apa yang kita mau, karena itu ketahui apa yang Anda mau dan lakukan apa yang harus Anda lakukan sebaik-baiknya—dorong hingga batas terbaik—dan naikkan batas tersebut setiap saat Anda melewatinya. Sekali lagi, jika tujuan Timnas adalah belajar, memanfaatkan kesempatan untuk mengembangkan teknik, kerja sama tim, dan gaya permainan serta semangat menang, maka semestinya tadi malam mereka merayakan kemenangan dengan mempertontonkan permainan yang melewati batas kemampuan mereka (tadi malam), tak peduli berapa pun skornya. 
SeminarSeumurHidup.com | Pintu Gerbang Kesuksesan Bersama James Gwee

Comments