Bagaimana caranya menebang sebatang pohon besar dengan akar-akar yang sudah menjalar ke mana-mana? Jaman sekarang orang dapat menggunakan chain-saw, tetapi tidak pada masa Tiga Negara, San Goa—baca: Sam-Kok (abad ke 3 Masehi). Begitulah yang terjadi pada Cao Cao (negeri Wei), satu dari tiga penguasa daratan Tiongkok waktu itu. Setelah berkuasa dia ingin membangun istana yang lebih megah lagi, untuk itu ia menugasi orang menebang sebatang pohon yang sangat besar. Aneh, pohon berumur ribuan tahun tersebut kebal kampak setajam dan sebesar apapun. Orang-orang pun berkesimpulan bahwa pohon tersebut dihuni hantu penasaran Kwan Kong (saudara Liu Pei penguasa Shu yang tewas dibunuh bawahan Cao Cao). Ketika mendengar hal tersebut Cao Cao yang penuh akal perang itupun ketakutan hingga jatuh sakit.
Ah, seandainya saja Cao Cao dan para penebang pohon di Tiongkok tahu bahwa pada masa Sebelum Masehi di kepulauan Solomon, untuk menebang sebatang pohon besar, penduduk di sana punya kebiasaan unik, yaitu sebelum menebangnya dengan kampak dan alat-alat pemotong lainnya, mereka terlebih dahulu membunuh roh pohon tersebut dengan teriakan! Beberapa orang yang kuat dan berani memanjat pohon itu sampai ke atas, kemudian mereka berteriak sekencang-kencangnya bersama-sama penduduk lain yang bergerombol di bawah pohon. Mereka mengulangi kegiatan itu secara konsisten selama 40 hari. Dan apa yang terjadi? Dedaunan pohon yang mereka teriaki itu perlahan-lahan mengering dan rontok. Bukan rontok biasa, setelah rontok daun-daun muda tidak pernah bisa tumbuh kembali, akibatnya, dahan-dahan pun ikut mengering dan berjatuhan ke bawah. Tak lama kemudian pohon itupun mati sampai ke akar-akarnya dan tinggal ditumbangkan.
Tetapi teman, ini bukan sekedar cerita untuk menyenangkan hati, ini sebuah renungan bagi orang-orang yang suka berteriak kepada orang lain, misalnya ketika anaknya bandel atau melakukan kesalahan sepele. Bahkan ada yang sampai hati berteriak-teriak kepada orangtuanya sendiri ketika dia merasa jengkel diberi nasihat—yang dianggapnya mengomel—atau karena kelemahan-kelemahan mereka berhubung usia yang telah lanjut? Atau bahkan seorang guru berteriak kepada muridnya yang tidak sanggup menerima pelajaran dengan cepat? Tidak jarang pula seorang atasan berteriak-teriak kepada bawahannya di suatu lingkungan yang seharusnya sangat beradab. Ingatlah pelajaran yang telah diberikan oleh penduduk Solomo ini setiap kali Anda ingin berteriak terhadap orang lain. Tindakan Anda tidak ada manfaatnya selain untuk mematikan roh orang yang Anda teriaki.
Teriakan seharusnya hanya perlu kita lakukan bila jarak orang dengan siapa kita berbicara jauh. Nah, tahukah Anda mengapa orang yang marah dan emosi menggunakan teriakan padahal jarak antara mereka hanya beberapa sentimeter saja? Mudah menjelaskannya, meskipun secara fisik mereka berdekatan, tetapi hati mereka begitu jauh. Itulah sebabnya mereka harus saling berteriak. Selain itu dengan berteriak, tanpa sadar mereka pun mulai berusaha saling melukai serta saling mematikan roh orang yang mereka teriaki. Barangkali hal itu yang diperbuat beberapa majikan TKW Indonesia, setelah rohnya mati diteriaki, pembantu rumah tangga yang malang itu menjadi “semakin bodoh”, maka sang majikan pun melakukan penyiksaaan fisik.
Pendek kata, janganlah berteriak! Hanya hewan yang mengamuk karena mereka tidak memiliki sistem pengaturan emosi (e-motion=energy in motion). Jadilah pemenang yang dapat mengatasi berbagai persoalan dengan memberdayakan diri dan membuat orang lain lebih berdaya. Dan tidak sekali-kali berpikir bahwa dengan berteriak masalah akan selesai. Jika kita mempersepsikan perilaku orang lain keliru atau salah, maka untuk mengubah perilaku orang tersebut, kita perlu pertama-tama membuat dia memahami persepsi kita, bukankah begitu, teman?
Comments
Post a Comment