Apa reaksi Anda jika disapa seseorang “Selamat pagi!” padahal Anda sadar betul waktu telah menjelang sore? Ya, akhir-akhir ini kita memang sering mendengar orang menyapa orang lain seperti itu. Staf di suatu bank papan atas terhadap rekannya, di ruang-ruang seminar dan sebagainya. Ketika saya bertanya kepada staf bank tersebut mengapa dia berperilaku demikian, jawabannya untuk memotivasi diri dan saling memotivasi agar mereka tidak ingin cepat-cepat pulang kantor. O, begitu ya? Sungguh beda dengan ritme kerja saya yang makin malam makin semangat. Lama kelamaan saya tidak lagi merasa aneh disapa selamat pagi di tengah malam menjelang pagi.
Jika orang bertanya pada saya apakah cara memotivasi diri dan saling memotivasi seperti ini efektif atau tidak, saya memilih untuk tidak memberikan jawaban secara langsung. Perlu dipahami terlebih dahulu, pertama, apakah cara tersebut hanya terjadi pada level perilaku ataukah pada level yang lebih tinggi dari neurological-nya, yakni nilai-nilai dan keyakinan? Lalu apakah perilaku tersebut merupakan lipstick saja ataukah sebuah jangkar (anchor) yang ditanamkan secara benar? Bila itu merupakan lipstick atau basa-basi saja, dan tanpa keyakinan, maka saya kira itu tidak ada bedanya apakah selamat pagi, siang, sore atau malam. Namun, bila cara bersalam tersebut dilakukan dengan menjangkar suatu state semangat tinggi untuk berkinerja, maka berarti setiap kali orang tersebut mendengar salam tersebut, ia mengaktifkan jangkar tersebut dan menjadi bersemangat. Bagaimana pun harus saya katakan bahwa, menggantungkan motivasi pada stimulasi dari luar bukanlah cara yang efektif dan tahan lama.
Biasanya setelah mengucapkan salam maka orang akan saling bertanya kabar masing-masing. Sayangnya, hal ini telah terprogram sebagai basa-basi sosial sehingga tidak terlalu berarti lagi. Richard Bandler suatu saat mengatakan, bahwa bila orang ditanya “how are you?” dan orang tersebut menjawab, “Not bad.” maka menurutnya itu bukanlah jawaban. Saya juga merasa bahwa jawaban “luar biasa” bukan jawaban yang berarti. Kadang-kadang saya bercanda dan balik bertanya kepada orang yang menjawab demikian, “maksud loe, luar biasa gimana, luar biasa baik atau buruk? Sebaik apa dan seburuk apa?” Intinya saya ingin menyadarkan orang tersebut bahwa ketika seorang teman bertanya tentang kabar kita, maka kita perlu menghayati jawaban kita. Dan jawaban kita seharusnya merupakan ucapan syukur atas semua kebaikan yang kita alami saat itu. Jadi, kabar saya saat ini, saya sungguh bersyukur bahwa saya merasa sehat, tubuh saya nyaman, saya sejahtera dan yang terpenting saya dalam state bahagia. Ketika mengucapkan kalimat tersebut, di balik pikiran saya, saya merasa sungguh beruntung boleh memiliki ketiga hal tersebut di atas. Kesehatan yang saya rasakan ketika terbangun dari tidur tadi pagi. Saya merasa tersegarkan setelah tidur pulas lebih dari enam jam. Saya sejahtera, artinya saya tidak harus merisaukan apa-apa, dan saya dapat berbahagia—suatu state (kondisi mental) yang merupakan pengejawantahahan berpikir positif. Sebenarnya ketiganya merupakan persepsi yang secara ajaib saling mendukung. Rasa segar dan sehat membuat saya bersemangat untuk melakukan kegiatan yang akan memberikan saya kesejahteraan sekaligus membahagiakan. Perasaan bahagia memungkinkan saya berpikir positif dan mampu mengirimkan pikiran-pikiran atau intensi-intensi positif ke dalam alam semesta yang pada giliran akan mengembalikan berlipat-lipat energy positif kepada saya.
Nah, apa kabar Anda hari ini?
Comments
Post a Comment