Umur Manusia Tujuh Puluh Tahun

Sungguh, segala hari kami berlalu karena gemas-Mu, kami menghabiskan tahun-tahun kami seperti keluh. Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap. ~Kitab Mazmur 90:9-10

Pada waktu Tuhan akan mengusir manusia dari surga, Tuhan masih berbelaskasihan, sebab itu dihadiahkanlah kepada mereka kerbau, monyet dan anjing. Di depan makhluk-mahkluk itu Tuhan bersabda, pertama kepada kerbau: “Kau harus bekerja keras di ladang di bawah terik matahari. Kau akan hidup selama 50 tahun.”
Kerbau terkejut lalu protes, “Wah, jangan Tuhan! Masa saya harus bekerja keras 50 tahun?! Dikurangi 30 tahun saja!” Tuhan mengabulkan permintaan kerbau, maka masa hidup kerbau menjadi 20 tahun.
Kepada monyet Tuhan bersabda: “Kau adalah monyet atau kera, tugasmu menghibur manusia. Kau harus melakukan akrobat dan membuat manusia tertawa dengan mimik muka lucu-lucu. Masa hidupmu 20 tahun.”
Monyet menggaruk-garuk kepalanya, “Wah, kelamaan tuh Tuhan. Bagaimana kalau 10 tahun saja dan yang 10 tahun saya kembalikan?” Pinta Monyet.  Tuhan setuju.
Kepada anjing Tuhan berkata, “Hai, Anjing, tugasmu adalah tiduran di depan pintu rumah manusia sepanjang hari. Yang harus kau lakukan hanyalah menggongi setiap orang asing yang lewat atau yang mau masuk ke dalam rumah itu. Masa hidupmu adalah 20 tahun.”
Anjing juga protes, “Sepanjang hari hanya tiduran? Saya tidak mau hidup lama-lama dengan cara begitu ah. Saya kembalikan 10 tahun.” Tuhan setuju pula.
Terakhir Tuhan bersabda kepada ciptaan kesayanganNya, “ Manusia, karena dosa-dosamu, di atas bumi nanti, masa hidupmu hanya 20 tahun dan setelah itu kau akan mati dan kembali kepadaKu. Namun tugasmu di bumi hanya makan, tidur, dan main-main. Kau tidak perlu bekerja, nikmati saja hidupmu yang singkat itu.”

Ternyata manusia sudah tamak sejak awal, selalu ingin lebih kalau enak. Maka manusia protes kepada Tuhan. “Wah, Tuhan tidak adil! Hidup enak-enak kok hanya 20 tahun? Kurang lama, Tuhan! Bagaimana kalau umur yang dikembalikan oleh kerbau, monyet dan anjing ditambahkan pada umurku?”
“Tentu saja.” Jawab Tuhan, “dengan demikian masa hidupmu menjadi 70 tahun!”

Dan sebab itulah kita hanya makan, tidur dan main-main selama 20 tahun pertama. Setelah itu bekerja keras selama 30 tahun untuk menghidupi keluarga. Setelah itu selama 10 tahun berusaha membuat cucu tertawa dengan mimik muka yang lucu-lucu. Dan pada 10 tahun terakhir kita tinggal di rumah, duduk di depan pintu sambil “menyalaki” orang-orang yang datang atau lewat.

          Berapa umur Anda saat itu? Berapa tahun yang telah Anda lewati dengan bermain-main? Kurang dari 20 tahun, lebih dari 20 tahun? Apakah Anda masih bermain-main dengan waktu yang diberikan kepada Anda untuk berkarya di atas bumi ini? Sungguh sulit menjawab pertanyaan ini, bukan?! Perjalanan hidup ini seperti naik sepeda. Kita melewati banyak hal tanpa memerhatikannya, melewatkan banyak kesempatan tanpa menyadarinya dan ketika melaju di jalan menurun yang mulus, lupa menyukurinya. Di kala menanjak di jalan berliku dan sulit kita mengeluh sebab tidak pernah menyimpan energi sewaktu melaju di jalanan menurun—kurang mempersiapkan diri.
          Dalam perjalanan hidup kita masing-masing, telah berapa banyak “kerbau” yang disediakan untuk memudahkan? Berapa banyak “monyet” berusaha menghibur tanpa kita hiraukan dan berapa banyak “anjing” menemani kita? Tak pernah kita menghitungnya. Namun jika ada seekor saja “kerbau” yang menyulitkan karena tidak kuat menarik “pedati” maka kita mengingat-ingatnya terus. Jika ada seekor saja “monyet” memalingkan mukanya, kita memupuk kebencian di hati terhadap jenisnya. Demikian pula halnya, jika seekor saja “anjing” tidak setia, kita membenci semua anjing yang lain. Dan sungguh tersiratlah kebenaran dalam kitab Mazmur “…dan kebanggaannya adalah penderitaan dan kesukaran.” Tanpa kita sadari, sifat “asal” ini menyebabkan kita gampang menderita trauma, fobia dan demotivasi.
          Dalam interaksi saya dengan peserta workshop, sesi coaching dan counseling, saya sering menemukan kenyataan sebagian besar orang bahkan “takut” untuk berbahagia, berprasangka baik dan sering kali menolak untuk menerapkan self-empowerment.  
      Ciri-ciri menolak self-empowerment atau berpikir positif mudah dideteksi di antaranya dalam pernyataan seperti berikut ini.
  • Bagaimana kalau saya sudah berusaha, tapi takdir menentukan lain?
Reaksi: Ya, sudah! Namanya juga takdir!Kalau usaha saya tidak berhasil, saya mutung.
  • Saya bisa berubah, tapi tidak mudah mengubah orang lain, misalnya pasangan, karyawan, teman dan sebagainya.
Reaksi: Tidak ada gunanya saya berubah.
  • Saya tahu saya harus pede, tapi tetap aja sulit.
Reaksi: Saya tetap sulit pede.
  • Melakukan hal ini penting, namun sulit.
Reaksi: Tidak mungkin melakukan hal ini; hal ini sulit.
  • Pada awal pernikahan dia sangat baik, tapi sekarang dia tidak memedulikan aku.
Reaksi: Semuanya sudah berakhir.
  • Teknik NLP ini memang dahsyat, tapi kan disebabkan Bu Erni telah berpengalaman men-terapi kita, kalau saya yang melakukannya pada orang lain, belum tentu efektif.
Reaksi: Teknik NLP ini hanya efektif jika dilakukan orang yang sudah berpengalaman.
Bagaimana dengan cara Anda berbahasa—baik ketika berbicara kepada orang lain maupun pada diri sendiri (self talk)? Telitilah apakah Anda sering menggunakan kata “tapi”, “namun”? Jika ya, gantilah dengan kata “dan”, “walaupun”. Sekarang mari kita terapkan pada pernyataan-pernyataan di atas, dan mari kita analisa perbedaan dampaknya.
  • Bagaimana kalau saya sudah berusaha, dan takdir menentukan lain?
Reaksi: Manusia berusaha Tuhan yang menentukan. Tuhan maha baik dan akan menentukan yang terbaik untuk umatNya yang mau berusaha mengubah takdirnya sendiri.
  • Saya bisa berubah, walaupun tidak mudah mengubah orang lain, misalnya pasangan, karyawan, teman dan sebagainya.
Reaksi: Apapun reaksi orang lain, saya dapat berubah.
  • Saya tahu saya harus pede, walaupun tetap sulit.
Reaksi: Sulit bukan berarti mustahil, saya akan terus bertanya dan mencari jawabannya, kenapa saya sulit percaya diri, saya akan menemukan jalan keluar.
  • Melakukan hal ini penting, walaupun sulit.
Reaksi: Saya tetap akan melakukan hal ini, hal ini penting.
  • Pada awal pernikahan dia sangat baik, walaupun sekarang dia tidak memedulikan aku.
Reaksi: Dulu dia baik, jadi apa yang menyebabkan perubahan ini, apa yang dapat kulakukan untuk mendapatkan kembali kepeduliannya?
  • Teknik NLP ini memang dahsyat, dan disebabkan Bu Erni telah berpengalaman men-terapi kita, kalau saya yang melakukannya pada orang lain, belum tentu efektif.
Reaksi: Belum tentu efektif kalau “jam terbang” saya belum cukup tinggi, maka saya akan praktek terus—alah bisa karena biasa.

Walaupun kita tak akan tahu pasti, apakah kita akan mencapai atau melampaui 70 tahun hidup di dunia ini, namun satu hal yang pasti adalah bahwa orang-orang yang mencapai dan atau melampaui 70 tahun dengan sukses dan bahagia adalah mereka yang selalu memberikan kesempatan kedua pada dirinya sendiri dan orang lain.

Kesempatan kedua atau second chance seirama dengan the presupposition of NLP “There is no failure, there is feedback”.  Kegagalan bukanlah akhir segalanya, kegagalan bukan malapetaka sepanjang seseorang mau belajar dari kegagalan tersebut. Teladan paling baik adalah Thomas Alfa Edison. Ketika seorang jurnalis yang tidak memahami arti kegagalan bertanya kepadanya, “Mr. Edison, bagaimana rasanya mengalami seribu kali kegagalan?” Thomas Alfa Edison menjawab:”Aku tidak mengalami kegagalan sekalipun, aku menemukan seribu input yang berharga untuk menciptakan sebuah lampu pijar yang sempurna.”
Sayangnya, orang seringkali mengharapkan kesempatan kedua dari orang lain, tetapi lupa memberikannya kepada dirinya sendiri. Jika dia mengalami kegagalan, maka dia buru-buru berkesimpulan bahwa dia tidak cukup baik untuk mencapai suatu kesuksesan. Bangkit dari kejatuhan memang tak pernah mudah, sebab suatu kejatuhan memang menguras energi, namun jika kita memberi kesempatan kedua pada diri sendiri, maka proses bangkit dari kejatuhan tersebut akan terasa jauh lebih ringan dan ketika kita telah berdiri kembali, kita menjadi seribu kali lebih kuat, lebih bijaksana.
Saya sering mendapat pertanyaan, mengapa saya rela meninggalkan pekerjaan mapan saya di korporasi untuk terjun ke bidang training dan coaching. Apakah karena lebih mudah mendapat uang? Saya harus berterus-terang, sepintas bidang training dan consultancy terlihat mudah, tak memerlukan modal dan prestise, namun sesungguhnya, seseorang yang telah malang-melintang di bidang ini akan mengatakan kepada Anda, betapa seseorang harus cukup siap untuk memasukinya, termasuk kesiapan modal. Enam bulan pertama akan membuktikan apakah seseorang akan dapat bertahan atau kembali ke bidang lamanya. Maka, saya pun mengalami berkali-kali ujian pada enam bulan pertama. Tetapi, saya berlaku lemah-lembut pada diri sendiri dan berkali-kali memberikan kesempatan kedua. Saya tidak mengubah goal yang telah dicanangkan, melainkan mengubah perilaku. 

Comments