Outcome Thinking Versus Visualisasi

Gantungkan Cita-citamu Setinggi Langit
Anda pernah mendengar kalimat di atas bukan? Saya sering dan telah mendengarnya ratusan kali, sejak di sekolah dasar. Saya bahkan sering menuliskan di buku kenangan teman waktu lulus SD, SMP dan mungkin SMA. Saking seringnya, arti yang terkandung dalam kalimat ini menjadi kabur—kehilangan makna—hingga beberapa hari yang lalu seorang peserta workshop saya mengingatkan lagi arti yang sesungguhnya.
            Gantungkan cita-citamu setinggi langit ternyata bukanlah rangkaian kata-kata kosong. Bukan lamunan di siang bolong. Bila seseorang sanggup menggantungkan cita-citanya setinggi langit, maka dia juga akan mampu meraihnya. Begitu kata Vina, yang notabene adalah murid saya. [Wow! Setiap orang memang dapat belajar dari siapa saja! Terima kasih, Vina, kamu menyentak senar-senar wawasan saya].
            Kalimat ini juga mengandung kebijaksanaan mendalam, jika seseorang menginginkan sesuatu, dia harus memiliki kemampuan dan berusaha sungguh-sungguh. Dengan kata lain, sebelum dia dapat memetik bintang di langit, terlebih dahulu dia harus dapat mencapai langit di mana bintang-bintang itu berada. Tanpa usaha, tidak mungkin bintang-bintang jatuh ke pangkuannya.
            Jika pada kesempatan lain Anda mendengar kalimat “Anda dapat mencapai apa saja yang Anda inginkan, maka Anda juga dapat menjadi kaya-raya seperti Bill Gates.” Maka hal ini berarti: Untuk menjadi sekaya-raya Bill Gates kita harus memiliki keyakinan, lalu kemauan, lalu keuletan, dan keberanian sebesar Bill Gates, juga bekerja sekeras dan seulet Bill Gates. Nah, banyak sekali orang hanya menginginkan namun tidak memiliki kemauan sebesar itu, bukan?
Pemburu muda ini mempraktekkan visualisasi setelah
menyaksikan seekor singa memberi makan kepada
seekor macan yang terluka. 
          Pada workshop yang berbeda seorang peserta, anak muda yang tampaknya sangat antusias dan memiliki keyakinan bahwa, jika menginginkan sesuatu, misalnya mobil baru, rumah dan sebagainya, cukup diniati, dibawa dalam doa dan seterusnya pasrah. Terus-terang saya tidak tahu harus setuju atau tidak. Apa yang diyakini bukanlah hal yang mustahil, namun menurut saya, bagaimana pun perlu ditambahkan kata usaha: diniati, dibawa dalam doa, usaha dan pasrah. Mungkin, analogi pemuda pemburu yang pasrah ini dapat melengkapi tulisan ini.Syahdan ada seorang pemburu muda yang sangat rajin dan menekuni pekerjaannya dengan kesungguhan hati serta berketrampilan memanah yang luar-biasa. Dari hasil berburu, dia mendapatkan daging sebagai sumber makanan, dan dari hasil penjualan kulit binatang-binatang buruan dia mendapatkan uang untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang lain. Pagi itu, seperti biasanya dia telah meninggalkan gubuknya dan memasuki hutan untuk berburu. Setibanya di tengah hutan, dia bergegas memeriksa jebakan yang dipasangnya tadi malam. Tidak ada seekor binatang pun yang terperangkap. Aneh, suasana di sekelilingnya juga sangat sepi. Pemuda itu segera meningkatkan kewaspadaannya. Biasanya keadaan seperti itu menandakan kehadiran binatang buas. Entah singa atau macan.
            Benar saja, tak lama kemudian dia mendengar suara mengaum seekor singa. Pemburu itu memanjat ke atas pohon. Dan tak berapa lama kemudian tampaklah siempunya suara, seekor singa jantan yang besar dan gagah berjalan di bawah pohon di mana dia sedang bersembunyi. Di antara rahang kuat sang raja rimba itu terdapat seekor kijang muda yang telah mati. Aneh, mengapa tidak di makan di tempat di mana dia membunuh binatang itu? Pikir si pemburu. Karena ingin tahu, maka dia pun turun dari pohon dan diam-diam mengikuti singa itu. Tak lama kemudian mereka pun tiba di suatu tempat di mana seekor macan sedang terbaring lemah. Dengan takjub, pemburu muda itu menyaksikan sang singa melemparkan hasil buruannya, dan setelah mengaum sebentar binatang itupun berjalan pergi dan menghilang di balik semak-belukar.
            Pemburu itu memperhatikan macan itu melahap santapan yang baru saja diberikan oleh sang singa. Ternyata sepasang kaki macan itu terluka parah sehingga dia tak mampu berdiri. “Luar biasa!” Seru pemburu itu dalam hati. “Tuhan memang maha baik, Dia mengirimkan seekor singa untuk membantu seekor macan yang terluka parah. Jika terhadap binatang buas saja Tuhan berlaku murah hati, apalagi kepada manusia?! Hm…barangkali selama ini aku telah berlaku bodoh dengan bekerja keras. Aku akan kembali ke gubuk dan bersantai-santai, sebab Tuhan pasti akan mengirimkan orang untuk membantuku.” Setelah memutuskan demikian, pemburu itupun pulang ke gubuknya. Ia menggantungkan busur dan kantong anah panah, lalu merebahkan dirinya di bale-bale. Ketika merasa lapar, dia menyiapkan makanan dari persediaan yang ada sambil meyakini bahwa bahan-bahan makanan itu tak akan pernah habis, sebab Tuhan akan melipatgandakan untuknya.
            Hari berlalu, bahan-bahan makanannya semakin menipis dan akhirnya habis. Pemburu itu masih saja berharap seseorang akan datang membawakan makanan, tetapi tidak seorang pun datang mendekati gubuknya. Setelah semua persediaan makanannya ludes, pemburu itu mulai mengalami kelaparan hingga ketika dia tersadar dan berpikir untuk keluar mencari makanan, tubuhnya telah melemah sehingga dia sulit bangun dari tempat tidurnya. Jangankan berjalan memasuki hutan untuk berburu, berdiri saja membuat kepalanya pusing. Dan menangislah pemburu itu, menyesali mengapa Tuhan tidak menolongnya seperti halnya Dia menolong macan yang terluka itu?
            Ketika pemburu itu hampir mati kelaparan lewatlah di depan gubuknya seorang pertapa. “Pertapa…apakah Tuhan mengirim engkau untuk menolongku? Mengapa baru sekarang engkau datang kemari?Mana makanan yang aku minta dalam doaku?” Tanya pemburu itu dengan suara yang lemah.
            “Mengapa kau berpendapat aku dikirim oleh Tuhan?” Pertapa itu bertanya heran.
            Maka dengan suara lemah berceritalah pemburu itu, mulai dari saat dia menyaksikan seekor singa menolong macan yang sedang terluka hingga kemudian timbul keyakinan dalam hatinya, bahwa Tuhan pasti akan menolongnya dengan mengirimkan makanan dan oleh sebab itu dia tak perlu bekerja.
            “Hehehe…” Pertapa itu terkekeh, “Kau sungguh tidak bijaksana, anak muda! Mengapa kau memilih menjadi pihak yang lemah tak berdaya seperti macan yang terluka itu? Mengapa kau tidak memilih menjadi pihak yang kuat dan mampu menolong orang lain seperti halnya singa itu?”
            Ya! Barangkali pertanyaan sang pertapa dalam cerita di atas juga berlaku bagi kita semua?! Bagaimana dengan Anda?

Sudut Pandang NLP:
Dari sudut pandang NLP, apa yang dilakukan pemburu dalam ilustrasi di atas bukanlah outcome thinking atau future pace. Meskipun sangat jelas perbedaannya, saya masih selalu dibombardir oleh pertanyaan: “Apakah outcome thinking atau future pace sama seperti the law of attraction?”
            Outcome thinking adalah pendekatan atau fokus pada apa yang kita inginkan, alih-alih merisaukan permasalahan yang sedang kita hadapi. Outcome thinking sangat erat terhubung dengan goal setting. Sebagai contoh, jika saya berada dalam suatu keadaan yang tidak saya inginkan, misalnya saya sering diremehkan orang berhubung saya miskin, saya tidak bisa menghindari atau tidak mau miskin, sebaliknya saya akan menyusun gol (lalu strategi-strategi) untuk mengubah keadaan saya: katakanlah memiliki penghasilan lima miliar rupiah pertahun. Keadaan setelah memiliki penghasilan sebesar itu dapat saya hayati dengan menggunakan VAK saya pada saat merancang gol dan starteti-strategi tersebut dengan teknik future pacing.
            Neuro scientist telah membuktikan bahwa, visualisasi dengan metode tertentu membantu tubuh menguasai perilaku tertentu. Sebab dengan visualisasi, otak mampu membentuk sinaps (sambungan antara dua atau lebih neuron). Thus, dalam NLP, diasumsikan: mind and body are one (pikiran dan tubuh adalah satu). Berikut ini saya ingin share pengalaman saya mempraktekkan presupposition ini. Pada awalnya, mengonsumsi susu dan produk susu, termasuk coklat juga kacang-kacangan selalu menimbulkan masalah pada kulit wajah—jerawat tumbuh subur. Sehingga teman-teman saya selalu berkelakar, “Makan kacang tumbuh jerawat, makan jerawat tumbuh kacang.” Setelah belajar NLP, saya menyadari bahwa, pertama-tama yang perlu diubah adalah sistem keyakinan saya. Kalau saya yakin, makanan tersebut di atas dapat mengakibatkan kesehatan kulit wajah. Keyakinan itu saya ubah. Saya mengirimkan pesan ke subconsciousness saya, bahwa makanan tersebut bermanfaat bagi tubuh dalam takaran yang tepat. Lalu saya sertai dengan visualisasi kulit wajah saya bersih, mulus dan cerah. Setelah mempraktekkan metode ini beberapa waktu, saya dapat mengonsumsi susu dan produk susu serta kacang-kacangan tanpa mengganggu kesehatan kulit.
            Law of attraction sebenarnya merupakan keyakinan akan collective mind dan bahwa segala sesuatu di alam raya ini adalah energi. Karena pikiran (mind) juga merupakan energi, maka manusia dapat mengirimkan energi—positif ataupun negatif—hanya dengan memikirkannya, maka energi yang terkirim akan mendapat resonansi, yang positif menarik yang positif, yang negatif menarik yang negatif. Berlipat-lipat besarnya. Jika keyakinan ini benar, maka apa yang seseorang pikirkan dan yakini sungguh-sungguh bisa saja terjadi. 

Comments