Modeling Sun-tzu
Sun-tzu |
Tiga belas tahun lamanya Sun Tzu mencari pemimpin yang pantas dijadikan junjungannya. Sungguh bukan perkara mudah. Memang benar ia hidup pada jaman yang dikenal di daratan Tiongkok sebagai Jaman Negara Berperang, dan ia adalah murid seorang pakar perang, seorang jenderal yang disegani dari negeri Qi, yakni Tian Rang Ju. Tetapi ia hanya akan mengabdi kepada raja yang benar-benar dapat menciptakan perdamaian dengan perang. Artinya raja tersebut harus benar-benar kuat, berambisi besar untuk mempersatukan seluruh daratan Tiongkok, dengan demikian tidak akan terjadi lagi peperangan memperebutkan daerah kekuasaan. Tanpa perang, maka rakyat dapat hidup tentram. Visi misi itu terinspirasi oleh pesan terakhir kakek gurunya, Tian Rang Ju yang tertulis dalam sebilah bambu “Basmi tuntas kezaliman, cegah perang dengan perang.”
Masih berusia muda, Sun Tzu atau Sun Wu sudah berpangkat perwira. Seperti halnya kakek buyut, kakek dan ayahnya, ia mengabdi di negeri Qi . Sun Wu sebenarnya bermarga Chen, dan nenek moyangnya berasal dari keluarga kerajaan negeri Chen yang kemudian pindah ke negeri Qi sejak 140 tahun yang silam. Di negeri Qi, Chen Wu Yu, kakek buyut Sun Wu memiliki jabatan setingkat menteri. Hubungan kekeluargaan Chen Wu Yu dan Panglima Tian Rang Ju semakin menguatkan posisi marga Chen di negeri Qi. Dalam salah-satu ekspedisi memerangi negeri lain, Chen Shu, Chen Ping (kakek dan ayah Sun Wu) serta Sun Wu telah berhasil dengan gemilang. Karena itu Raja Qi mengaruniakan marga Sun kepada keluarga Chen Wu. Itulah sebabnya Chen Wu lebih dikenal sebagai Sun Wu. Di kemudian hari, Sun Wu disebut sebagai Sun Tzu untuk menghormati karya-karya besarnya di bidang militer. Prinsip-prinsip perang karyanya yang terakum dalam tiga belas kitab dan dikenal sebagai The Art of War atau Sun-tzi Ping Fa hingga kini tetap relevan. Tidak hanya diterapkan dalam militer, melainkan juga dalam bisnis dan management.
Sun Wu telah memenuhi harapan kakek gurunya, panglima Tian Rang Ju yang sering mengingatkan agar ia terus belajar dan berkarya. “Nenek moyangmu turun-temurun menjadi perwira, kau harus melampaui prestasi tersebut.” Nasihat panglima Tian Rang Ju berulang kali. “Untuk menjadi seorang yang dikenang sepanjang masa, kau harus berjiwa ksatria, bersikap kepahlawanan dan membuat karya tulis.”
Membuat karya tulis pada bidang yang ditekuni pada masa itu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang menguasai bun-bu—sastra dan silat. Seorang militer yang mampu menuangkan ide-ide dan filosofi ke dalam karya tulis akan dipandang sebagai intelektual.
Untuk waktu yang cukup panjang, marga Chen menikmati pengaruh besar di negeri Qi, dengan Tian Rang Ju, jenderal perang yang telah banyak mengukir jasa, memiliki kekayaan seperti tanah, kuda, kereta perang dan jumlah prajurit yang dimiliki, mereka boleh disejajarkan dengan beberapa keluarga lain, di antaranya keluarga Bao, Luan, dan Gao. Selama ratusan tahun sebenarnya keempat marga tersebut diam-diam saling berebut pengaruh di hadapan raja-raja Qi. Untuk memperkuat diri, ketua keluarga Bao dengan lihai memainkan strategi, di satu pihak ia menjodohkan putrinya dengan Sun Wu, sementara itu di depan raja ia menghasut agar raja memensiunkan jenderal Tian Rang Ju. Chen Wu Yu lebih mementingkan kelangsungan kekuasaan keluarganya, tidak ingin menyinggung perasaan Bao Gou yang dekat dengan raja Qi Jing Guang itu menyetujui perjodohan itu.
Namun ikatan perjodohan itu tidak menghentikan persaingan diam-diam tersebut. Bao Gou memang berhasil “mengikat” keluarga Chen, tetapi tetap merasa tidak aman. Sementara itu kakek buyut Sun Wu yang telah lama ingin menyingkirkan keluarga Luan dan Gao, tanpa segan-segan dan tanpa perikemanusiaan membasmi kedua keluarga itu hanya gara-gara hasutan seorang pelayan keluarga Luan yang sakit hati terhadap majikannya sendiri. Chen Wu Yu berpendapat sebaiknya mendahului menghabisi kedua marga itu sebelum dihabisi.
Persaingan itu tidak saja menghancurkan keluarga lain, tetapi juga menimbulkan penderitaan tak terperihkan bagi Sun Wu yang terpaksa harus menyelamatkan kekasihnya sendiri, Luan Mei, putri tunggal keluarga Luan. Tindakannya tersebut bahkan harus mengorbankan nyawa ayahnya sendiri. Setelah kakek buyutnya menyerahkan harta benda rampasan dari keluarga Luan dan Gao, dan mengikat perjodohan dengan keluarga Bao akhirnya gagal juga menyelamatkan jabatan kakek gurunya—Tian Rang Ju, Sun Wu menjadi sangat gundah. Ia lalu meninggalkan negeri Qi dan merantau ke negeri-negeri lain di daratan Tiongkok. Tiga belas tahun kemudian, walau pun ia telah berhasil menyusun karya strategi perangnya yang sangat terkenal itu, ia belum mau turun gunung. Ia harus memastikan menemukan terlebih dahulu seorang raja yang benar-benar pantas menjadi pemimpin yang dapat dijadikan junjungannya.
Dan pemimpin yang akhirnya dianggap layak tersebut adalah Ji Guang yang kini telah menjadi raja negeri Wu dengan gelar He Lu. Ambisi He Lu untuk mempersatukan daratan Tiongkok dapat menjadi sarana Sun Wu untuk mencapai misinya sendiri “basmi tuntas kezaliman, cegah perang dengan perang.”
Keadaan Indonesia saat ini, dengan begitu banyak partai politik yang saling bersaing, tidaklah jauh berbeda dengan keadaan 2.500 tahun yang silam. Untuk membesarkan diri sendiri, dan mencari dukungan, partai-partai tak segan-segan saling beraliansi atau saling menjegal. Bedanya di masa itu yang dikenal adalah marga-marga besar yang berkuasa, bukan partai politik seperti sekarang.
Ambisi untuk berkuasa dan menjadi yang teratas terkadang membuat orang menghalalkan segala cara, seperti politik uang. Janji-janji berlebihan ketika kampanye untuk mendapatkan dukungan. Janji-janji yang kemudian tak mampu dipenuhi. Sebagai pemilih, kita pun harus bersikap bijaksana agar tidak terkecoh. Pemimpin berambisi besar tidaklah selalu buruk, pemimpin tanpa ambisi bahkan lebih buruk lagi, tetapi kandidat—baik itu eksekutif ataupun legislatif—yang berambisi tetapi tidak berpotensi adalah yang terburuk di antara yang buruk. Seorang calon yang berperan sebagai boneka harusnya tidak mendapatkan dukungan, tetapi hal ini sungguh sulit, mengingat bahwa panggung politik tidak terlalu jauh berbeda dengan panggung pertunjukan wayang. Selalu yang ada yang bertindak sebagai dalang di balik layar, karena itu pemilik suara juga harus mengetahui siapa yang bergerak di balik layar.
Namun ikatan perjodohan itu tidak menghentikan persaingan diam-diam tersebut. Bao Gou memang berhasil “mengikat” keluarga Chen, tetapi tetap merasa tidak aman. Sementara itu kakek buyut Sun Wu yang telah lama ingin menyingkirkan keluarga Luan dan Gao, tanpa segan-segan dan tanpa perikemanusiaan membasmi kedua keluarga itu hanya gara-gara hasutan seorang pelayan keluarga Luan yang sakit hati terhadap majikannya sendiri. Chen Wu Yu berpendapat sebaiknya mendahului menghabisi kedua marga itu sebelum dihabisi.
Persaingan itu tidak saja menghancurkan keluarga lain, tetapi juga menimbulkan penderitaan tak terperihkan bagi Sun Wu yang terpaksa harus menyelamatkan kekasihnya sendiri, Luan Mei, putri tunggal keluarga Luan. Tindakannya tersebut bahkan harus mengorbankan nyawa ayahnya sendiri. Setelah kakek buyutnya menyerahkan harta benda rampasan dari keluarga Luan dan Gao, dan mengikat perjodohan dengan keluarga Bao akhirnya gagal juga menyelamatkan jabatan kakek gurunya—Tian Rang Ju, Sun Wu menjadi sangat gundah. Ia lalu meninggalkan negeri Qi dan merantau ke negeri-negeri lain di daratan Tiongkok. Tiga belas tahun kemudian, walau pun ia telah berhasil menyusun karya strategi perangnya yang sangat terkenal itu, ia belum mau turun gunung. Ia harus memastikan menemukan terlebih dahulu seorang raja yang benar-benar pantas menjadi pemimpin yang dapat dijadikan junjungannya.
Dan pemimpin yang akhirnya dianggap layak tersebut adalah Ji Guang yang kini telah menjadi raja negeri Wu dengan gelar He Lu. Ambisi He Lu untuk mempersatukan daratan Tiongkok dapat menjadi sarana Sun Wu untuk mencapai misinya sendiri “basmi tuntas kezaliman, cegah perang dengan perang.”
Keadaan Indonesia saat ini, dengan begitu banyak partai politik yang saling bersaing, tidaklah jauh berbeda dengan keadaan 2.500 tahun yang silam. Untuk membesarkan diri sendiri, dan mencari dukungan, partai-partai tak segan-segan saling beraliansi atau saling menjegal. Bedanya di masa itu yang dikenal adalah marga-marga besar yang berkuasa, bukan partai politik seperti sekarang.
Ambisi untuk berkuasa dan menjadi yang teratas terkadang membuat orang menghalalkan segala cara, seperti politik uang. Janji-janji berlebihan ketika kampanye untuk mendapatkan dukungan. Janji-janji yang kemudian tak mampu dipenuhi. Sebagai pemilih, kita pun harus bersikap bijaksana agar tidak terkecoh. Pemimpin berambisi besar tidaklah selalu buruk, pemimpin tanpa ambisi bahkan lebih buruk lagi, tetapi kandidat—baik itu eksekutif ataupun legislatif—yang berambisi tetapi tidak berpotensi adalah yang terburuk di antara yang buruk. Seorang calon yang berperan sebagai boneka harusnya tidak mendapatkan dukungan, tetapi hal ini sungguh sulit, mengingat bahwa panggung politik tidak terlalu jauh berbeda dengan panggung pertunjukan wayang. Selalu yang ada yang bertindak sebagai dalang di balik layar, karena itu pemilik suara juga harus mengetahui siapa yang bergerak di balik layar.
Great story....We should learned from this story
ReplyDeleteAgung P
Terima kasih komentarnya, Pak Agung.
ReplyDelete