Entrepreneurship Dalam Suatu Perayaan Keagamaan


Sabtu dan Minggu 5-6  Mei 2012 saya bersama beberapa teman mengikuti perayaan Waisak 2556 sebagai wisatawan Nusantara. Keren kan? Serangkaian foto yang saya jepret bisa bercerita banyak. Tidak itu saja, sebagai Wisnu saya juga merasakan betapa minimnya perhatian Pemda Jateng terhadap kekayaan daerahnya. Ya, saya berbicara tentang Candi Borobudur yang pernah dikunjungi seleb top seperti Richard Gere.

Bendera-bendera Negara Peserta
Begitu memasuki pelataran Candi Borobudur, sederetan bendera negara-negara peserta perayaan Waisak 2012 melambai menyambut, menunjukkan betapa Candi Borobudur, candi agama Buddha terbesar di dunia tidak terkucil. 

Dra Hartati Murdhaya Ketua
Umum Walubi memberikan kata sambutan. 

Perhelatan raksasa ini terselenggarakan tidak terlepas dari peran seorang perempuan pengusaha yang sangat sigap, Dra. Hartati Murdhaya, yang memimpin persatuan umat Buddha di Indonesia. Tidak saja bisa memimpin, rupanya perempuan ini juga tak segan-segan turun tangan jika ia mendapati adanya hal-hal yang kurang berkenan atau menurutnya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Misalnya pada saat anggota koor menyanyikan lagu mars Walubi dan terdengar tidak siap, ia langsung mengambil alih. Menurut saya ini merupakan satu contoh walk the talk tetapi di lain sisi juga memperlihatkan persiapan yang kurang matang.
Seorang Pengasong Sedang Istirahat di Warung Nasi
Kontras sekali dengan Ibu Hartati Murdhaya yang kaya raya dan berkuasa, Ibu Martiyem, seorang pedagang asongan berharap banyak dari pengunjung yang membludak hari Minggu ini. Tetapi banyaknya pengasong, dan warung membuat perjuangan Ibu Martiyem semakin berat. Beberapa jam duduk-duduk di warung nasi dekat pintu parkir I kawasan Borobudur, puluhan pengasong hilir-mudik menawarkan barang dagangan berulang-ulang. Barangkali mereka belajar dari motivator sales mana, bahwa dengan persistensi pasti berhasil. Sayangnya cara pendekatan ini justru terkesan memaksa dan dengan berat hati harus saya katakan mengganggu. Di samping itu, lokasi di sekitar serakan warung-warung itu terkesan sangat kumuh. Jalan yang berlumut atau terendam air serta sampah sungguh tidak pantas berada di tempat ini. Saya teringat Great Wall, Pisa, Eifel dan sebagainya dan menjadi sedih. Mengapa konservasi UNESCO ini, maha karya nenek moyang bangsa Indonesia tampak tak terawat?

Prosesi dari Candi Mendut Menuju Borobudur
Prosesi dari Candi Mendut menuju Borobudur dimulai pukul 13.00. Matahari yang terik di siang itu tidak mengurangi semangat peserta yang sejak pagi mengikuti acara puja dan doa di pelataran Candi Mendut. Sekali lagi terdeteksi dengan jelas tidak terorganisasinya dan berantakannya acara. Pedagang makanan dan minuman berdesakan di depan pagar Candi Mendut. Ditambah lagi pedagang burung dan ayam yang berusaha mendapatkan pembeli yang ingin berdharma melepaskan binatang-binatang tersebut dari kekuasaan manusia. Pedagang mainan, terutama balon juga sangat banyak hari itu. 

Mau Balon Itu
Anak ini misalnya tertarik untuk membeli balon dan merengek kepada aki dan neneknya. Meskipun sang nenek berusaha membujuk, pikiran mudanya tak mau menunggu, mau sekarang pokoke...maka sang aki pun menyerah dan berteriak kepada penjual balon di balik pagar, tak peduli umat Buddha yang lain sedang berdoa. Oh, pikirannya yang sederhana, yang hanya mengerti kerja keras perlu diatur dan yang mengatur juga perlu tahu bagaimana mengatur. 

Di sekitar tempat itu saya meihat sekelompok pelajar berjaket hijau dan berjilbab, mungkin mereka ditugaskan membantu demi basa-basi kerukunan beragama, tetapi tanpa koordinasi yang baik, mereka hanya berkelompok dan bercanda.

Saya mengimbau teman-teman untuk mendahului prosesi supaya berkesempatan makan siang. Saat matahari tepat membakar ubun-ubun kami "berprosesi" ke arah Borodubur. Garangnya matahari terasa menyilet kulit tangan saya yang terbuka. Untung saja saya mengenakan topi. 

Kami menemukan "Waroeng Rempah" dan beristirahat disitu sambil mengisi perut. Sayangnya nasi goreng yang saya pesan terlalu pedas untuk dimakan pada siang yang terik seperti ini. Sesaat sesudahnya saya baru membaca "tag line" warung tersebut: Warung Rempah, pedasnya nendang." Pedasnya menyengat saja sudah cukup, ini...? Nendang, mak! Untunglah jus jambu merahnya cukup menyegarkan. 

Selesai makan, tepat pukul satu siang, saya dan teman-teman bergabung dengan orang-orang yang berdiri di pinggir jalan menunggu rombongan prosesi. 

Kedua pembuka jalan, entah terlatih atau tidak, tapi mereka pasti amatir.
Perhatikan pula pengendara sepeda motor berbaju biru itu yangberada di antara
pembuka jalan dan rombongan prosesi. 
Prosesi
Seperti telah saya singgung di muka, prosesi melewati jalan yang dipenuhi penonton. Pengendara sepeda motor hilir mudik, delman dan beca menghadang di sana-sini. Gambar di atas saya tangkap dengan lensa tele, dari tempat saya berdiri dan rombongan prosesi Waisak sekitar 500 M. Masih bertanya-tanya bagaimana rombongan dapat melewati kerumunan tiba-tiba semua penonton menghilang. Ternyata, rombongan berbelok ke kiri melewati jalan pintas. Saya dan sejumlah fotografer  amatir pun berlari mencari short cut. 

Dan di samping kandang ternak yang berbau, saya menemukan tempat yang memungkinkan saya mengambil gambar sebaik-baiknya. Sangat sulit memang, sebab saya tidak menggunakan lensa wide angle. 

Drum Band Mendahului Barisan Prosesi
Biksu Manca Negara
Bhineka Tungga Ika
Bhineka Tunggal Ika
Berbagai buah-buahan yang sangat penting bagi Buddhist yang Vegetarian
Mobil yang membawa api dharma; di depannya tak lupa dipasangi lambang Negara NKRI Burung Garuda Pancasila.
Api Dharma Tri Suci Waisak diambil dari sumber api abadi Mrapen, Kabupaten Grobogan, Jateng.
Api merupakan lambangpengusir situasi siram diambil oleh para biksu yang didahului upacara atau prosesi pengambilan api 5 Mei 2012. Api kemudian dibawa ke Candi Mendut dan Borobudur sebagai bagian dari ritual. 
Di belakang Api Dharma Tri Suci para Biksu yang berada di atas kendaraan berbentuk kapal ini
mencipratkan air suci ke arah masyarakat yang berdiri di pinggir jalan. 
Barisan Biksu dari berbagai aliran dan golongan, majelis. 

Masyarakat yang menonton prosesi membentuk piramida manusia.
Ekspresi wajah mereka menunjukkan adanya garis pemisah yang tidak kasat mata; antara kami dan mereka.
Pagi hingga siang yang panas tiba-tiba terhapus oleh hujan deras. Proses meneruskan perjalanan mereka.
Para Biksu berjalan sambil melantunkan doa. Pastinya hujan yang turun itu sudah diantisipasi, buktinya
para biksu dan umat Buddhist yang berprosesi itu segera mengenakan jas hujan.

****
Jadi mengikuti semua ini terbersit pertanyaan di benak saya, apa yang akan terjadi jika Pemda Jateng menerapkan entrepreneurship untuk memanfaatkan sekaligus merawat Borobudur? Selain Borobudur sebagai daya tarik bagi wisatawan manca negara, terutama negara-negara yang banyak penganut agama Buddha dan Tao, maka Klenteng Sam Poh Kong di Semarang bisa diperhitungkan. Bandar Melaka dan Singapore telah memanfaatkan daya tarik seorang Zheng-he (Sam Poh Kong) untuk wisata religi selama puluhan tahun.

Karena entrepreneurship tidak dapat dipisahkan dengan inovasi, maka seharusnya perayaan Waisak kali ini bisa mendatangkan banyak keuntungan. Jangan berpikir bahwa ini dapat dan sanggup dilakukan oleh pihak Umat Buddha selama 59 tahun, Pemda Jateng lantas berpuas diri. Pikir saya sambil terkantuk-kantuk di warung kumuh Mpok Surti dekat pintu masuk satu kawasan Borobudur.

Saya dan teman-teman menunggu waktu yang tepat untuk memasuki pelataran utama Candi Borobudur sebab menurut informasi jika kami beli tiket dan masuk, maka kami tidak bisa keluar kecuali mau membeli tiket lagi. Sambil menunggu senja turun dan acara perayaan Waisak dimulai, beberapa orang teman bergabung di warung Mpok Surti yang sudah tutup. Menurut teman-teman yang baru bergabung ini, mereka sudah mencoba mendapatkan tiket masuk, tetapi petugas memberitahu bahwa ticket box sudah tutup sejak pukul 5 sore. Bagaimana ini? Tidak terima! Pokoke harus masuk! 

Menjelang pukul 6 sore kami mencoba keberuntungan kami—masuk tanpa tiket. Bukan salah kami bila penjual tiket tidak mau melayani. Kami bersembilan berjalan ke arah salah-satu pintu keluar di bawah gerimis. Dengan penuh keyakinan kami berjalan masuk, melewati petugas yang berdiri di pos. Kami berhasil masuk. Di dalam kami tertawa-tawa. Teman saya menggerutu: “Aneh peraturannya, tadi bilang nggak boleh masuk, sekarang kita masuk dibiarin.”

“Kan tadi kita semua mengenakan invisible cloak.” Maksud saya tentu saja jas hujan yang kami kenakan.

Setelah masuk ke dalam taman Borobudur kami berusaha mencari jalan ke pusat perayaan, maklumlah, tidak ada petunjuk yang bisa ditemukan. Kami akhirnya bergabung dengan serombongan biksu dan kelompok instan pengunjung seperti kami. Saat itu sudah keadaan di sekitar kami sudah gelap gulita. Tanpa penerangan kami berjalanan mengikuti biksu-biksu itu. Terkadang sepatu saya menapak di atas jalan keras, terkadang di tanah berlumpur. Di suatu tempat, kami bahkan melewati pagar yang dijebol secelah. Akhirnya kami keluar dari kegelapan dan tiba di tempat perkemahan; ada perkemahan Majelis Mahayana. Di mana seorang Biksu yang mengingatkan kita pada Chang San Chong (Journey to the West) memberikan berkat. Teman-teman saya tidak mau melewatkan kesempatan itu, mereka masuk untuk diberkati dan dapat bakpao pula.

Seorang pendeta Majelis Mahayana sedang memberikan pemberkatan kepada umat. 

Dari tenda majelis Mahayana kami nyasar ke tenda majelis lain (lupa mengecek namanya kalau tidak salah Theravada). 

Altar di salah-satu tenda majelis

Setelah berfoto di sini, kami segera menuju pelataran utama Candi Borobudur untuk mengikuti puncak acara perayaan Tri Suci Waisak. 

Dan inilah magis yang menanti kami. Patung Buddha bersepuh emas di atas altar utama. 
Pada latar belakangnya tampak Candi Borubudur dengan stupa utamanya. 
Keindahan dan daya tariknya membuat para fotografer amatir maupun profesional
tak henti-hentinya menjepret. 

Kami semua menunggu puncak acara yaitu pelepasan lampion dan harus rela serta belajar bersabar mendengarkan pidato, doa dari berbagai majelis, sekapur sirih hingga renungan dan kemudian prosesi mengelilingi Borobudur sebanyak tiga kali. Selama 3,5 jam kami menahan dingin dan lapar. Bahkan beberapa orang mulai melakukan hal apa saja. Mengupdate FB, ngetweet, memijit teman hingga mengepang rambut. 

Mengepang rambut teman

Bagi saya ini merupakan test kesehatan. Mulai pukul 4 pagi tadi "menderita" apakah saya masih bisa bertahan seperti 10 atau 20 tahun yang lalu? Ternyata saya lulus test. Dan menjelang pukul 10, lebih dari 10.000 orang kembali bersemangat (walaupun tidak ada motivator berbayar di sana). Yang memotivasi setiap orang tentu saja menerbangkan atau melepaskan lampion kertas seharga Rp 100.000 ke angkasa. 

Super Moon atau bukan yang tadinya tertutup awal hitam perlahan-lahan menerobos keluar...bagaikan usaha menguak tabir nasib buruk. Tentu saja hujan sejak sore yang baru berhenti menurut Ketua Umum Walubi, dra. Hartati Murdhaya adalah berkah atau berkat yang asli, sebab dicurahkan Tuhan YM Kuasa dari langit.  


Bulan akhirnya muncul pada pk. 21.15.  


Entah bulan malam ini masih terhitung Super Moon atau bukan, yang pasti ia berhasil menyingkirkan gumpalan-gumpalan awan pekat dan bersinar sempurna 10 menit kemudian. Komentar teman-teman saya, kan biksu-biksunya sakti bisa mengusir awan yang menutupi bulan, hahaha.


Bulan bersinar sempurna. 





Saya mengundang teman-teman untuk hadir dalam acara peluncuran buku ke-5 saya pada:
Sabtu, 2Juni 2012; pk. 09.00-12.00 WIB
di Universitas Ciputra, Citraland, Surabaya
dan
Sabtu, 23 Juni 2012; pk. 09.00-12.00 WIB
Lantai 7 Gedung Kompas Gramedia
Jl. Palmerah Barat No. 29-37, Jakarta 
Hubungi: 0811 340686

10.000 lampion kertas dilambungkan bersama doa dan permohonan. 

Dan akhirnya saat-saat yang dinantikan tiba jua! Saya dan teman-teman langsung bersemangat, rasa lapar sejak tadi mendadak lenyap. Berpuluh-puluh pemotret, amatir mau pun profesional segera menyiapkan peralatan pemotretan, termasuk saya. 


 Siap-siap melambungkan lampion masing-masing

Lampion mulai mengembang siap melambung

Giliran lampion kami melambung membawa doa dan permohonan kami. 

 Lampion-lampion terbang menuju ke bulan, betapa indahnya. 
Semoga damai di Bumi bagi kita semua. 

Comments

  1. Luar biasa bu Erni, seperti menyaksikan langsung di borobudur. Saya ingat malam itu pas supermoon ya, indah sekali. Malam di mana alam terasa begitu bersahabat, ramah dan dama, langit terasa begitu dekat. Salam sukses selalu!

    ReplyDelete
  2. Salam berdaya sukses bahagia, Pak Semuel S. Lusi yang hebat. Terima kasih sudah komen. Iya, malam itu bulannya luar biasa indah. Malam sebelumnya Super Moon juga menampakkan diri di atas kota Surabaya.
    Perayaan Waisak saya kira merupakan perayaan keagamaan yang bisa dikatakan terbesar (berdiri sendiri tanpa bergabung dengan Umat agama lain). Tapi di atas itu semua, Borobudur memberi keistimewaan tersendiri. Satu-satunya candi Buddhist terbesar di dunia. Sayang sekali tidak ada semangat entrepreneurship dalam Pemda Jateng untuk mengupayakan nilai tambah.
    Namun bagaimana pun, saya sangat menikmatinya kali ini.

    ReplyDelete
  3. Dear Bu Erni,

    Thanks alot for sharing.Very Nice pictures.

    Saya sangat menikmati hasil jepretan kamera dari Bu Erni untuk moment-moment perayaan Waisak tersebut.Serta untaian kata-kata untuk foto-foto tersebut membuat saya semakin dapat membayangkan, merasakan dan mendengarkan suasana secara live.

    Salam Berdaya,

    Indra

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, Pak Indra,

      Saya senang Anda dapat melihat, mendengar dan merasakan melalui foto-foto dan kata-kata yang saya rangkai di antaranya.

      Delete

Post a Comment