Guru Zen menerima laporan dari muridnya. |
Sang guru manggut-manggut sambil
tersenyum lebar dan berkata dengan nada penuh kesungguhan: “Semua yang kamu lakukan sungguh benar dan
baik adanya.”
“Bukankah murid kedua sudah
melakukan banyak perbuatan buruk?” Tanya murid pertama itu lagi. Dan masih
tersenyum lebar gurunya menjawab: “You
are dammed right!”
Murid pertama tersebut
mengucapkan terima kasih dan setelah memberi hormat ia mengundurkan diri dengan
perasaan puas.
Lalu masuklah murid kedua dan
melaporkan hal-hal baik yang telah diperbuatnya tanpa lupa melaporkan
kesalahan-kesalahan murid pertama tadi. Sang guru pun mendengarkan tanpa interupsi
agar sang murid dapat berbicara dengan lancar. “Bukankah murid telah
melaksanakan pesan-pesan Guru dengan benar?” Murid kedua itu bertanya sambil
mengakhiri laporannya.
Sang guru menganggukkan
kepalanya dengan senyum puas, “Semua yang kamu lakukan sungguh benar dan baik
adanya.”
Murid tersebut mengucapkan
terima kasih dan setelah memberi hormat mengundurkan diri dengan perasaan puas.
Pada saat itu di ruang pertemuan
di mana sang guru Zen menerima murid-muridnya ada seorang murid tingkat bawah
sedang menyapu lantai. Diam-diam dia menguping pembicaraan antara sang guru
dengan kedua muridnya. Dengan kesal murid itu membanting sapu dan menendang
pengkinya.
“Lho, kamu kenapa?” Menyaksikan
perilaku murid itu, sang guru bertanya lembut.
“Guru, sudah dua tahun lamanya saya
mengabdi di biara ini. Hal ini saya lakukan demi mendengar kebijaksanaan Guru
yang termasyur. Tapi apa yang saya saksikan tadi? Murid pertama dan murid kedua
melaporkan hal-hal yang saling bertentangan bagaikan langit dan bumi, dan Guru
membenarkan keduanya. Mereka saling menyalahkan dan Guru tidak menegur mereka. Saya
merasa kecewa dengan sikap Guru. Hm, ternyata Guru bukan orang yang bijaksana
dan tidak bisa membedakan yang benar dan yang salah.”
Sang guru tertawa terbahak-bahak
dan dengan tenang menjawab: ”Semua yang kamu katakan sungguh benar! Ha ha ha…”
Murid tingkat bawah itu semakin
kesal: “Saya tidak mengerti sikap Guru! Anda plin-plan.”
Guru Zen itu berhenti tertawa:
“Muridku, tiga tahun yang lalu ketika meninggalkan biara ini, aku tidak
menentukan apa itu baik, apa itu buruk untuk dilakukan di biara ini selama aku
mengembara. Sekarang aku kembali dan aku melihat biara ini terurus sebagaimana
mestinya. Murid pertama dan murid kedua yang menjalankan urusan di sini
memiliki pendapat yang berbeda satu terhadap lainnya. Dan itu wajar-wajar saja.
Nah, kamu yang berada di sini selama aku tidak ada, bisakah kamu membuktikan
kesalahan-kesalahan murid pertama dan murid kedua tadi?”
Murid muda itu terdiam agak
lama. Lalu dengan muka merah padam ia menjawab: “Maafkan saya, Guru. Saya
berpihak kepada Murid pertama ketika ia menceritakan kepada Guru
kesalahan-kesalahan dan perbuatan kurang baik yang dilakukan murid kedua.
Demikian pula halnya ketika murid kedua menceritakan kesalahan-kesalahan dan
perbuatan kurang baik murid pertama, saya mempercayainya begitu saja dan
berdiri di pihaknya.”
“Ha ha ha…kamu pembelajar yang
baik, muridku!” Kata guru Zen itu lalu meneruskan bersemedi. Sementara murid
itu melanjutkan menyapu lantai.
***
Cerita di atas mengingatkan saya pada seorang penyuluh di
suatu organisasi non-profit. Orang ini kita sebut saja Pak Badu sering sekali
menyalahkan anggota organisasi lainnya jika keperluannya dalam memberikan
penyuluhan tidak tersedia. Jika mendelegasikan suatu tugas kepada orang lain,
ia tidak pernah mengecek ulang apakah orang tersebut memahami delegasi tersebut
dan bersedia menjalankannya? Apakah orang yang didelegasikan mampu menjalankan
tugas tersebut dan terakhir apakah orang tersebut kapabel menjalankannya?
Sebagai deskripsi, suatu hari Pak Badu dijadwalkan untuk
memberikan pelatihan kepada sejumlah kader organisasi dan ia merencanakan
jauh-jauh hari akan memutar suatu film. Dalam suatu obrolan seorang temannya
menanggapi bahwa film yang dipilihnya bagus dan kayaknya ia pun memiliki DVD
film tersebut. Pak Badu menyatakan
keinginannya untuk meminjam DVD dari temannya. Waktu berlalu beberapa minggu
kemudian ketika hari yang dijadwalkan tinggal dua hari lagi, ia mendadak
menelepon temannya untuk meminjam DVD tersebut. Celaka! Temannya sedang di luar
kota. Maka paniklah ia dan dengan enaknya melemparkan tanggung jawab kepada
salah-satu staf, yakni A. Pak Badu
mengaku sudah memesan agar A menghubungi temannya yang punya DVD tersebut
(padahal ia bisa meminjam langsung). Staf ini tidak menyadari pendelegasian
tersebut.
Perlu disadari bahwa mendelegasi bukan melemparkan tanggung
jawab. Guru Zen di atas meninggalkan pesan kepada kedua muridnya untuk
menjalankan urusan-urusan di biara menurut kebijaksanaan masing-masing.
Seandainya cara-cara pengurusan oleh kedua murid tidak sesuai dengan
keinginannya ia tidak dapat menyalahkan, maka ia harus menerima tanpa komplain.
Lain halnya jika ia memerinci apa-apa yang harus, perlu dan boleh dilakukan
sebelum meninggalkan biara.
Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda mendelegasikan atau menyalahkan
orang lain begitu saja jika apa yang Anda inginkan tidak terjadi? Perlu juga
diingat bahwa, banyak kali mendelegasikan tugas tidak sama dengan
mendelegasikan tanggung jawab. Sebagai pemimpin—terutama—Anda tidak bisa
memindahkan tanggung jawab begitu saja ke atas bahu orang lain. Selanjutnya
mendelegasikan tugas harus dibedakan dari mendelegasikan tanggung jawab atau
meminta bantuan kepada teman.
Tip mendelegasikan tugas:
- Delegasikan kepada orang yang
tepat, dan bersedia, serta kapabel menerima dan menjalankan tugas tersebut. Beberapa waktu yang
lalu saya pernah menggaji seseorang untuk melakukan suatu tugas. Saya
sadar betul ia tidak memiliki kemampuan yang cukup, tetapi karena ia
menyatakan dengan penuh kesungguhan untuk belajar dan bekerja keras, saya
setuju mempekerjakan dia. Saya mendelegasikan tugas tersebut sambil
berpesan supaya ia bertanya kepada saya setiap kali menghadapi kesulitan.
Saya juga dengan jelas menyatakan akan memberi bimbingan setiap waktu ia
membutuhnya. Sayangnya, setelah mencoba satu atau dua kali orang ini
mutung. Ia tidak lagi menjalankan tugas yang saya berikan, tidak bertanya
atau berdiskusi apalagi memberi laporan. Mendelegasikan tugas kepada orang
yang salah bisa berabe jika Anda
tidak menyiapkan plan B. Sebab orang yang tidak bertanggung jawab tidak
bisa diberi tanggung jawab.
- Bila pendelegasian suatu tugas
terjadi berulang-ulang, buatkan SOP dan bagan tugas yang jelas. Pada sebuah
organisasi yang mapan pendelegasian justru semakin sulit, sebab
masing-masing anggota organisasi sudah mendapatkan porsi tugas yang baku.
Jadi jika Anda membutuhkan bantuan yang berulang-ulang dari seorang staf
atau karyawan namun belum dicantumkan dalam SOP dan bagan tugas, sebaiknya
segera dianalisa tugas tersebut dan dibakukan. Sebagai contoh jika Anda
merasa kewalahan mengecek email atas nama Anda sehingga Anda perlu meminta
bantuan staf atau rekan untuk melakukannya sementara Anda berkutat dengan occasional event, maka Anda
sebaiknya membuat SOP-nya yang rinci dan jelas.
- Pendelegasian tugas tidak terlepas dari kemampuan Anda mengomunikasikan kepada orang yang didelegasikan. Efektif tidaknya komunikasi dapat Anda ukur dari kepuasan Anda atas respon/tanggapan yang Anda terima. Misalnya pada saat Pak Badu mendelegasikan kepada staf A untuk meminjam DVD dari temannya, ia harus memastikan A memahami (a) DVD yang dimaksud, (b) dari mana atau dari siapa mendapatkannya, (c) kapan Pak Badu mengharapkan DVD tersebut teredia, berikan tanggal dan tempat yang jelas, agar bila tidak tersedia Pak Badu dapat menjalankan plan B.
Terima kasih untuk pencerahannya bu Erni...
ReplyDelete* Edisi hok hou to ye....
Terima kasih Ms. Pipiet Kinarya untuk komentar Anda. Silakan berkunjung kembali dan membaca artikel-artikel lainnya.
ReplyDelete