Tombak Tertajam Tameng Terkuat |
Di suatu
hari di pasar yang ramai pengunjung di negeri Tiongkok seorang penjual tombak
dan tameng sedang menggebu-gebu mempromosikan dagangannya. “Tuan-tuan, tombak
yang aku jual ini adalah tombak pusaka. Tangkainya dibuat dari kayu keras yang
didatangkan dari India. Sedangkan mata tombaknya bisa menembus perisai terbaik
di dunia! Ayo, miliki untuk menghadapi perampok dan penyamun! Niscaya Tuan-tuan
akan mengalahkan mereka dengan mudah! Ayo…ayo!”
Seruannya menarik perhatian puluhan
pria, tua dan muda untuk mendekat. Si penjual tombak dan tameng itu menjadi
bersemangat, ia mendemonstrasikan bagaimana mata tombak di tangannya dengan
mudah menembus berbagai benda, mulai dari kulit binatang hingga papan kayu
keras. Namun tidak ada seorang pun yang tertarik untuk membeli tombaknya. Pria
itu pun mengangkat perisai atau tameng dagangannya. “Tuan-tuan, tidak
membutuhkan tombak? Tapi jangan sampai tidak bisa melindungi diri ketika
diserang! Nah, dapatkan perisai pusaka ini! Perisai yang sangat kuat, tidak
bisa ditembus senjata mana pun di dunia ini!” Untuk membuktikan kata-katanya,
ia menusuk-nusukkan tombak yang disebutnya “tombak yang bisa menembus perisai terbaik
di dunia ini” ke atas perisai. Dan benar juga tombaknya mental.
“Tuan, coba katakan sejujurnya, apakah tombak ini memang benar-benar bagus sehingga bisa menembus perisai terbaik di dunia ataukah perisai itu benar-benar bagus sehingga tidak bisa ditembus tombak pusaka terbaik di dunia?” Tanya seorang pemuda yang berdandan seperti seorang pelajar.
“Tuan, coba katakan sejujurnya, apakah tombak ini memang benar-benar bagus sehingga bisa menembus perisai terbaik di dunia ataukah perisai itu benar-benar bagus sehingga tidak bisa ditembus tombak pusaka terbaik di dunia?” Tanya seorang pemuda yang berdandan seperti seorang pelajar.
Si penjual senjata itu pun terdiam
seribu basa. Hehehehe…!
Apakah si penjual senjata berusaha
menipu penduduk di kota kecil Tiongkok itu? Menipu sih tidak, tapi itulah
akalnya pedagang. Situasi yang similar saya alami beberapa hari lalu. Saya
menerima SMS dan email dari sebuah bank internasional papan atas. Bunyinya
kira-kira demikian: “Satu poin rewards bank
“anu” sama dengan voucher belanja “anu” (nama suatu mal hingga Rp 200ribu!
Berlaku tanggal “anu” di “anu” Info www.anu.com/offers atau hubungi “anu”
(nomor 6 digit).
Apakah Anda mengerti isi pesan
tersebut? Jika mau teliti maka sebenarnya kita bisa bertanya maksudnya satu
poin reward atau satu poin rewards? Orang pasti langsung terpesona
pada kata “satu poin” masalah kata reward
singular atau plural,
terlewatkan. Demikian pula saya pribadi. Berhubung untuk mendapatkan voucher
belanja Rp 200ribu semestinya dibutuhkan 4 x 15.000 poin, maka swear deh, kalau satu poin saja bisa
mendapatkan voucher belanja hingga Rp 200ribu, siapa gak mau? Sedikit latihan otak kiri, untuk mendapatkan 60.000 poins
rewards seorang pemegang kartu kredit dari bank “anu” perlu membelanjakan X
Rupiah jika setiap berbelanja Rp 1.000 dan kelipatannya mendapatkan satu poin?
Rp 60.000.000 bukan? Jadi pergilah saya bersama teman ke mal “anu”.
Audio visual efek yang sama dengan
cerita di jaman Sung Dinasti kembali terjadi di abab 21 ini. Di mal “anu” sudah
banyak yang ngantri (lihat foto). Saya lalu menghampiri petugas dari bank “anu”
untuk mendapatkan penjelasan. Soalnya otak kiri saya masih tidak memahami
informasi yang dicantumkan di atas beberapa banner.
Nah, jawabannya ternyata begini: “Ibu antri di barisan itu, tukarkan satu poin
dengan voucher belanja senilai 50 ribu Rupiah. Lalu ibu belanja senilai 200 ribu
Rupiah di toko-toko rekanan…nanti ada daftarnya toko-toko mana saja, voucher
yang 50 ribu bisa langsung digunakan. Setelah itu ibu tunjukkan struk belanja
tersebut untuk ditukarkan dengan voucher belanja senilai 150 ribu Rupiah.”
Antri Voucher Belanja di suatu mall; Lumayan! |
Ding! Otak kanan saya langsung berkelana
waktu kembali ke pasar di masa Sung Dinasti. Tombak ini hebat, bisa nembus
perisai manapun kecuali perisai yang paling kuat di dunia itu! Kog ga ngomong dari tadi sih? Wuahahahaha…! Teman saya menarik saya keluar
dari terowongan waktu. Ayo, antri! Katanya. Saya pun mengambil nomor antri dan
dapat urutan ke 702. Nah, ternyata begitu mulai antri, beberapa orang yang mengalami
kebingungan sebenarnya berapa nilai voucher yang didapatkan bertanya kepada
saya. Untung saya sudah mengerti bahwa pertama dapatkan voucer Rp 50.000. Lalu
belanja dengan uang tunai atau kartu kredit senilai—minimal—200 ribu Rupiah,
setelah itu kembali ke antrian, tunjukkan struknya dan dapatkan voucher senilai
Rp 150 ribu. Artinya nasabah digiring untuk belanja Rp 200.000 dengan
mengeluarkan dari kantong sendiri Rp 150.000 (meskipun boleh menggunakan kartu
kredit, tapi nanti kan tetap harus bayar—tidak bisa dibayar dengan voucher,
harus dengan uang!) Setelah antri dan mendapatkan voucher senilai Rp 150.000,
maka nasabah digiring untuk belanja selambat-lambatnya 3 minggu sejak hari “anu”
itu.
Sebenarnya bank “anu” menjebak
nasabahnya atau tidak? Mungkinkah memiliki dua jenis senjata, yang satu tombak
paling bagus di dunia yang bisa menembus tameng sekuat apapun dan juga memiliki
tameng yang sakti tak mempang tombak sesakti apapun? Mungkin saja! Kan si
pemiliknya tidak berantem dengan
dirinya sendiri! Cuma mendapatkan kedua-duanya
sekaligus itu sulit. Jadi sama saja, saya mendapatkan voucher senilai Rp
200.000 dengan menukarkan poin reward
namun tidak berarti saya hemat Rp 200.000. Saya tetap saja mengeluarkan Rp 150.000
(walaupun kenyataannya saya mengeluarkan lebih dari itu). Jadi yang bertambah
dalam hal ini hanya buying power saya
dan yang pasti bertambah ya penjualan toko-toko rekanan bank “anu”.
Apa
saya beruntung karena buying power saya
bertambah Rp 200.000? Dari sisi manajemen keuangan tentu saja tidak bisa dikategorikan
untung atau rugi secara gamblang. Sebab keuntungan atau kerugian dihitung
dengan rumus: Penerimaan dikurangi pengeluaran; jika penerimaan lebih besar,
maka untung, atau sebaliknya jika lebih kecil maka rugi. Nah, pertanyaannya
untuk mendapatkan Rp 200.000 apa pengorbanan saya? Pertama tentu saja waktu
yang digunakan untuk berkendaraan dari rumah menuju mal “anu”, waktu yang
digunakan untuk antri, bahan bakar kendaraan, bayar parkir dan seterusnya. Lalu
apakah opportunity cost-nya atas
waktu yang saya habiskan? Artinya jika saya tidak pergi ke mal “anu” apakah
bisa saya manfaatkan untuk mengerjakan sesuatu yang menghasilkan uang? Nah,
ribet kan?
Ada
satu hal lagi yang menarik. Mengapa orang-orang yang “sugih-sugih” itu mau
cape-cape ngantri sih? Saya sempat
menanyai beberapa orang. Yang pertama seorang wanita berusia di bawah 30 tahun.
Orang kedua pria separuh baya dan temannya pria berumur sekitar 30 tahun. Orang
keempat seorang perempuan berumur sekitar 40 tahun. Semuanya saya tanyai:”Apa
yang mendorong Anda ikut antri? Apakah voucher senilai 200 ribu Rupiah pantas
didapatkan dengan mengantri lebih dari satu jam?”
Jawaban para orang kaya itu adalah:
Lumayan. Jika hanya Rp 50.000? Oh, ya nggak
mau. Begitu jawab mereka. Apakah benar semua orang mau mendapatkan uang atau
sederajat uang? Tergantung jumlahnya dan pengorbanan untuk itu. Maka jangan
heran jika seseorang mau saja membungkukkan badan untuk memungut uang Rp 1000,
sebab uang selalu menarik untuk dimiliki, dan membungkuk demi uang Rp
1000—lumayan!
Bagaimana kalau yang diberikan oleh
bank “anu” itu bukan voucher belanja, tapi katakanlah es krim? Saya kira
peminatnya akan lebih rendah. Mengapa? Sebab uang mengandung “kebebasan
subjektif” dan “buying power”. Lain dengan benda yang belum tentu disukai semua
orang.
Pelajaran
yang dapat dipelajari adalah cara bank “anu”. Bayangkan jika bank “anu” seperti
isi SMS dan emailnya satu poin rewards dapat ditukarkan voucher belanja hingga
Rp 200.000 cukup dengan menunjukkan kartu kredit plus KTP? Dan voucher senilai
Rp 200.000 tersebut dapat dibelanjakan di toko-toko yang menjadi rekanan bank “anu”
pada hari yang sama…wow! Nasabah sih
seneng, tapi toko-toko rekanan? Wah, program apaan tuh, nggak menaikkan
penjualan? Dan bank “anu”? Emangnya
mereka Sinterklas? Bagi-bagi voucher belanja? Ya, nggak mungkinlah!
Comments
Post a Comment