Bagian Kedua
Tulisan ini bukan tulisan wisata melainkan pengalaman melakukan perjalanan lintas perbatasan RI-Malaysia. Saya bagi menjadi tiga bagian: Menuju Tapal Batas, City of Kuching dan Hujan Batu Di Negeri Sendiri. Selamat membaca. O ya, komentar Anda akan sangat berharga bagi saya, jadi jangan pelit-pelit. Hitung-hitung latihan menulis juga kan?! Terima kasih sebelumnya.
Tulisan ini bukan tulisan wisata melainkan pengalaman melakukan perjalanan lintas perbatasan RI-Malaysia. Saya bagi menjadi tiga bagian: Menuju Tapal Batas, City of Kuching dan Hujan Batu Di Negeri Sendiri. Selamat membaca. O ya, komentar Anda akan sangat berharga bagi saya, jadi jangan pelit-pelit. Hitung-hitung latihan menulis juga kan?! Terima kasih sebelumnya.
City of Kuching
Setelah mendapatkan ijin masuk ke negeri jiran Malaysia,
segera kami merasakan perbedaan dengan negeri sendiri tercinta Republik
Indonesia. Pengalaman pertama menggunakan kamar kecil umum yang disebut tandas
itu harus diakui di sisi Tebedu jauh lebih bersih dibandingkan di sisi Entikong.
Perbedaan apa lagi yang membuat perbedaan kalau bukan sikap manusianya?!
Barangkali orang Indonesia memandang wc umum adalah tempat jorok untuk membuang
kotoran. Jadi buat apa harus bersih-bersih? Sedangkan orang Malaysia memiliki
pandangan bahwa tandas adalah tempat di mana manusia menggunakannya—tak peduli
apapun tujuannya—harus manusiawi. Setidaknya tersedia air bersih yang cukup,
bebas dari bau sehingga orang tidak harus menutup hidung selama berada di
dalamnya.
Perbedaan sikap ini juga dengan mudah diidentifikasi pada berbagai aspek kehidupan berbeda. Misalnya rumah ‘hanya’ sebagai tempat berteduh atau rumah sebagai tempat menjalani hidup yang bermakna. Makanan sekedar untuk membuat kenyang atau makanan sebagai seni yang tidak hanya mengenyangkan dan menyehatkan melainkan juga untuk dinikmat oleh mata, hidung dan mulut. Perbedaan sikap ini akhirnya bermuara pada perilaku melakukan berbagai pekerjaan. Memeriksa setiap bis harus dilakukan tanpa pandang buluh berapa penumpang di atasnya dan apa yang dilaporkan supirnya harus dapat dibuktikan kebenarannya jika informasi tersebut memang penting. Jika tidak penting, lalu buat apa melakukannya?
Perbedaan sikap ini juga dengan mudah diidentifikasi pada berbagai aspek kehidupan berbeda. Misalnya rumah ‘hanya’ sebagai tempat berteduh atau rumah sebagai tempat menjalani hidup yang bermakna. Makanan sekedar untuk membuat kenyang atau makanan sebagai seni yang tidak hanya mengenyangkan dan menyehatkan melainkan juga untuk dinikmat oleh mata, hidung dan mulut. Perbedaan sikap ini akhirnya bermuara pada perilaku melakukan berbagai pekerjaan. Memeriksa setiap bis harus dilakukan tanpa pandang buluh berapa penumpang di atasnya dan apa yang dilaporkan supirnya harus dapat dibuktikan kebenarannya jika informasi tersebut memang penting. Jika tidak penting, lalu buat apa melakukannya?
Bis kami
melanjutkan perjalanan menempuh jarak Tebedu menuju kota Kuching yang memakan
waktu sekitar dua jam. Hal pertama yang kuinginkan sesampainya di terminal bis
Kuching yang berada satu kompleks dengan pertokoan adalah secangkir kopi susu hangat.
Tanpa seringgit pun dalam dompet bukanlah masalah, kami menarik 300 ringgit
Malaysia dari ATM dan segera mendatangi satu-satunya kopitiam (warung kopi)
yang buka.
Sebelumnya
kami sudah mendapatkan informasi dari beberapa teman tentang cara dan ongkos
taksi di Kuching. Seorang teman menganjurkan supaya aku meminta supir taksi
mengantarku keliling kota dan ongkosnya 30 ringgit. Pagi itu kami berdua cukup
beruntung mendapatkan seorang supir taksi yang baik, Tuan Lie namanya, ia seorang
pria Tionghoa berumur antara 55-60 tahun. Ia menerangkan setiap tempat yang
menarik sepanjang perjalanan dari terminal menuju hotel yang belum dipesan. Aku
sangat bergembira ketika melewati stasiun radio Sarawak ia menunjukkannya dan
pada saat yang sama radio dalam taksi juga sedang tune-in di stasiun radio tersebut. Alasanku bergembira? Beberapa
dekade yang lalu, di kala berbicara Mandarin merupakan dosa dan tidak ada satu
pun radio dalam negeri yang menyiarkan program bahasa Mandarin, aku sering
mendengarkan radio tersebut melalui gelombang pendek atau short wave (SW).
Supir taksi Lie
membawa kami ke sebuah hotel di bagian waterfront dan kota lama.
Bangunan-bangunan di sini terpelihara dengan baik. Hotel kami Furama Lodging
House yang disarankan supir taksi Lie termasuk satu dari sekian banyak bangunan
lama itu. Menurut supir taksi Lie ada banyak hotel atau penginapan yang dikenal
dengan bed and breakfast di sekitar daerah itu, tanpa ragu ia menyarankan
Furama Lodging House. Ternyata setelah proses check-in yang berlangsung sekitar
15 menit, Supir Lie masih menunggu di luar. Ia memastikan kami telah
mendapatkan kamar dan tidak perlu diantar ke hotel lain. Sebuah pelayanan yang
pantas dipuji.
Rencananya
kami ingin menginap dua malam, namun setelah keliling-keliling dan mencobai
beberapa macam makanan yang dikatakan khas Kuching, kami memutuskan untuk
meninggalkan kota ini dengan bis siang. Selain tidak ada atraksi yang menarik—bandingkan
beberapa tempat terkenal di Indonesia Kuching hanya sebuah kota yang
‘ngebosani’! Mataharinya panas terik dengan kelembaban tinggi, terasa
gerah—sangat-sangat tidak nyaman. Karena sangat panas itu pula, kami naik taksi
ke mal terbesar di Kuching, The Spring dengan maksud cari adem. Kami menuju food court dan memesan minuman sebab
kami sudah makan sebelumnya. Pendingin ruangan segera membuat kami mengantuk
berat. Jadi akhirnya kami kembali ke hotel untuk bobok! Kami berembuk, daripada
membelanjakan uang di negeri orang lebih baik kami belanjakan di negeri
sendiri. Keputusan bulat, pulang ke Kalbar keesokan siangnya.
Malamnya kami bermaksud berjalan-jalan di
sepanjang waterfront, namun bukan
copet—baik supir taksi maupun resepsion hotel telah memperingati kami supaya
berhati-hati dengan tas kami—yang membuat kami membatalkan rencana melainkan
hujan deras. Untunglah hujan segera berhenti sehingga kami masih sempat mengambil
beberapa gambar. Kami sempat pula membeli souvenir di pusat kota, tidak jauh dari
hotel. Pada saat kami duduk-duduk menikmati kopi instan dicampur susu kental
manis, aku mengamati empat laki-laki yang gerak-geriknya seperti copet yang
digambarkan supir taksi kami.
Sudut kota lain dilihat dari arah Waterfront. Pusat bisnis, perbankan dan beberapa musium, salah satunya musium Batik. |
Menikmati kopi susu hangat. Kopi instan dicampur dengan dengan susu kental manus. |
Ngeceng di depan kapal cruise yang sedang sandar karena tidak ada turis yang naik. |
Comments
Post a Comment