Syadan ada seorang raja yang ingin sekali
memahami tiga hal penting dalam kehidupan ini. Siapa orang terpenting, kapan
waktu terpenting dan pekerjaan apa yang terpenting? Sang Raja berusaha mencari
tahu namun belum juga mendapatkan jawaban yang memuaskan hatinya. Akhirnya ia
mendengar tentang seorang pertapa mandara sakti dan Raja memutuskan untuk
bertanya kepada pertapa tersebut. Sayangnya sang pertapa tidak sudi
meninggalkan pertapaannya di tengah hutan, dan juga tidak hendak menemui raja, ataupun
bangsawan, maka pergilah sang Raja dengan menyamar sebagai orang biasa.
Sesampainya
di gubuk pertapa, Raja tidak menemukan orang yang ingin ditemuinya itu, ia lalu
duduk-duduk beristirahat di depan gubuk itu sambil menunggu si pertapa kembali.
Tetapi hingga hari menjelang senja Pertapa itu belum kembali juga dan Raja
merasa sangat lelah. Ia lalu merebahkan diri di atas dipan kayu untuk
beristirahat. Entah berapa lama Raja tertidur hingga lamat-lamat ia mendengar
langkah kaki bergegas disusul suara keras terpentangnya pintu. Raja melompat
bangun. Ternyata Pertapa datang sambil memanggul seorang lelaki yang tampaknya
terluka parah.
"Ayo,
bantu aku, orang ini terluka parah dan kehabisan banyak darah, bila tidak cepat
ditolong ia akan mati." Kata Pertapa itu.
Raja
segera membantunya membaringkan orang yang terluka parah itu ke atas dipan. Ia
lalu merobek jubahnya untuk membalut luka menganga di perut orang itu.
“Aku
akan mencari daun-daun obat di hutan untuk menghentikan pendarahan orang ini.” Pertapa
itu menghilang ke balik pintu. Tak lama kemudian ia kembali dengan seikat daun
obat, setelah dibasuh dengan air, ia menyuruh Raja menempelkan ke atas luka
orang itu. Setelah
berusaha semalaman Raja dan Pertapa berhasil menghentikan pendarahan orang itu
dan keadaan kritis berlalu. Karena kelelahan Raja lupa maksud kunjungannya dan
jatuh tertidur di atas lantai di samping dipan. Demikian pula halnya Pertapa.
Tiga
hari kemudian lelaki yang terluka parah itu sadarkan diri. Ketika ia melihat
siapa yang sedang merawat luka-lukanya, ia kaget bukan main, lupa akan sakit
dan luka-lukanya ia berusaha bangun untuk berlutut. Tetapi Raja berusaha
mencegahnya dan memaksanya tetap berbaring.
"Tuan
Raja, terima kasih telah menyelamatkan nyawa hamba dan merawat hamba selama
hamba pingsan. Tapi jikalau Tuanku tahu siapa diriku, Tuan pasti tidak sudi
menolongku." Kata lelaki itu lemah.
"Hm,
siapakah engkau ini?" Tanya Raja dengan sikap waspada. "Dan bagaimana
kau tahu aku adalah raja negeri ini?"
"Tentu
saja hamba tahu, sebab hamba mengikuti Tuan dari luar tembok istana. Mengetahui
Tuan akan melakukan perjalanan menuju hutan dengan menyamar, hamba melihat
kesempatan baik untuk...untuk...membunuh Tuan."
Raja
sangatlah terkejut mendengar pengakuan itu. "Siapakah kau dan mengapa kau
ingin membunuhku?"
"Hamba
adalah pangeran dari negeri yang telah Tuan taklukkan, karena sakit hati, hamba
telah lama mencari-cari kesempatan membalas dendam. Tapi pagi itu tanpa hamba
duga serombongan pengawal Tuan diam-diam mengikuti dan mereka mencurigai
gerak-gerik hamba lalu menyerang hingga hamba menderita luka parah. Mungkin
mengira hamba telah mati, mereka membiarkan hamba tergeletak di atas tanah. Untunglah
ada Pertapa yang menolong hamba, dan juga Tuan Raja. Nah, hamba telah mengakui
berterus-terang, jika Tuan Raja ingin menghukum hamba, lakukan saja."
Setelah
merenung beberapa saat Raja menjawab: "Hm. Selama tiga hari tiga malam aku
merawat dan menungguimu. Selama itu kau menjadi orang terpenting dalam
kehidupanku. Kau ingin membalas dendam karena perbuatanku terhadap keluarga dan
kerajaanmu, aku malah menyelamatkan nyawamu.”
"Dan
selama merawatmu itulah waktu yang paling penting dan pekerjaan merawatmu itupun
sesungguhnya pekerjaan yang paling penting. Akhirnya aku menemukan jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan yang selama ini mengganggu pikiranku.”
Mendengar
ucapan Raja, lelaki itu menangis terharu. Sejak itu ia takluk dan menjadi
pengawal Raja yang setia.
***
Cerita
di atas saya sadur dari buku Leo Tolstoi. Karena saya sangat suka, saya tidak hanya menceritakannya kembali
dengan versi berbeda. Namun juga menjadikannya filosofi. Ketika membacanya pertama kali beberapa tahun
silam, saya menyadari pelajaran mendalam di balik cerita ini yang juga didukung banyak value (nilai) yang saya yakini benar.
Banyak dari kita tidak pernah
benar-benar hadir pada saat ini untuk benar-benar bersama orang di samping kita
dan tidak benar-benar fokus melakukan pekerjaan kita. Pikiran kita mengembara
ke dunia penuh tanya: kapan sih waktu terpenting, apakah kemarin, besok atau
pada saat kita sedang merasa puas dengan diri? Kita tertarik ke saat yang belum
terjadi dan tersedot ke masa lampau. Tanpa menyadarinya, sebenarnya kita hanya
berputar-putar di sekeliling saat sekarang. Melelahkan, bukan?
Apa sih pekerjaan atau perkara
terpenting, apakah menikah, membuat keputusan penting, memenangkan pertandingan
olahraga atau mendirikan perusahaan, menyapu lantai atau menggosok wc? Hah,
sebenarnya kita hanya tidak puas dengan diri sendiri dan berusaha melarikan
diri. Berusaha melalaikan tanggung-jawab. Kita termakan kejenuhan dan
kebosanan. Melelahkan bukan?
Ya, orang akan mengakui bahwa,
ketidakmampuan mencintai pekerjaannya sungguh tidak baik, tapi tetap saja
mereka mengeluh panjang lebar—pekerjaannya adalah pekerjaan terburuk di
dunia—dan tidak ada seorang pun memahami betapa buruknya! Hari ini saya membaca
beberapa baris kutipan yang dituliskan dalam Man of Honor bahwa, Wiliam Soeryadjaya
adalah seorang pencipta lowongan pekerjaan, sebab pekerjaan itu sangat penting.
Pekerjaan membuat orang mendapatkan eksistensi dan harga diri. Dan membuat saya teringat kembali tulisan setengah
jadi ini. Jadi kalau pekerjaan memberi kita eksistensi dan harga diri, rasanya
sungguh tidak pantas mengeluh tentang pekerjaan kita.
Guru saya yang lain, almarhumah
Ching Ning Chu menulis dalam bukunya yang termasyur: Tick Face Black Heart:
“Kita yang membutuhkan pekerjaan dan bukan sebaliknya. Sepaham dengan
pernyataan di atas, pekerjaan merupakan sesuatu yang penting dan tidak sekedar
memberi nafkah tapi membantu kita eksis, tumbuh-kembang dan bermakna. Maka
bukan pula tugas “pekerjaan” membuat kita nyaman dan mampu menikmatinya,
melainkan kitalah yang harus berinisiatif, secara terus-menerus menemukan cara
terbaik melakukan pekerjaan kita.
Lalu siapakah orang terpenting dalam
kehidupan kita masing-masing. Ketika merenungkan ini saya merasa trenyuh.
Ketika kita masih belia dan sangat membutuhkan orangtua kita, maka mereka
adalah orang terpenting. Lalu kita tumbuh dewasa, menjadi orang-orang
hebat—tidak membutuhkan siapa-siapa sebab kita telah menguasai dunia—kita
meninggalkan orangtua. Kita jatuh cinta kepada seseorang. Tapi sebenarnya kita
tidak mencintai orang itu. Kita hanya menyukai beberapa hal yang menjadi
refleksi keinginan kita. Tanpa sadar kita ingin menguasai dan memiliki orang
itu. Kemudian kita memiliki keluarga kita sendiri, anak-anak menjadi milik yang
berharga, tapi mereka akan tumbuh dewasa kemudian meninggal kita, mereka bukan
milik kita.
Kita bertemu dengan orang-orang
hebat seperti guru, sahabat dan orang-orang yang menginspirasi kita. Tanpa
sadar kita memuja mereka, tapi yang penting bukanlah apa yang kita puja, tapi
yang lebih penting adalah altarnya—refleksi keinginan kita untuk menjadi
seperti mereka.
Jadi, saya bertanya kepada diri
sendiri—versi saya. Siapa yang paling penting dalam hidup saya? Jawabannya
tidak pernah muncul kecuali di saat saya bisa menyingkirkan semua orang penting
dari pikiran, menyingkirkan segala hal penting dan memberikan semua perhatian
hanya pada orang yang sedang bersama saya, berinteraksi dengan saya. Mudahkah?
Tidak! Sebab tidak selalu kita bersama orang yang kita sukai, yang penting dan
yang memiliki semua yang kita inginkan. Seperti cerita di atas, seorang
pembunuh!
Namun
tidak mudah bukan tidak mungkin. Membaca bukunya “The Mandala of Being” dari
Richard Moss saya sebenarnya sebenarnya menyadari bahwa, saat ini, orang ini dan perkara ini
merupakan tiga serangkai tak terpisahkan. Mandala berarti lingkaran dalam bahasa
Sanskerta, dan jika kita dapat berada di pusat dari lingkaran itu kita tak
perlu terikat kepada hal-hal di luar lingkaran itu. Waktu lampau, masa depan,
objek dan subjek semuanya penting dan tidak penting. Dengan begitu kita tetap
dapat berbahagia ketika kita bersama orang-orang lain ataupun sendirian. Kita
tidak lagi meratapi masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan. Hidup hanya saat
ini! The power of NOW!
Comments
Post a Comment