Suatu pagi di salah-satu
stasiun radio mengangkat topik tentang pengangguran intelektual sebagai bahan
diskusi. Menurut data yang diperoleh stasiun radio tersebut, jumlah penganguran
intelektual di Indonesia saat ini mencapai di atas sejuta orang. Meskipun tidak
diperinci berapa-berapa, di antaranya terdapat lulusan S2 dan S1.
Topik yang menurut saya
pribadi agak klasik itu lalu menjadi perbincangan ‘hot’ karena sekitar 5 atau 6
pendengar menelepon secara on-air
menyatakan pendapat mereka. Yang mewakili kalangan bisnis berpendapat atau
lebih tepatnya memanas-manasi suasana dengan mengatakan bahwa penganguran
disebabkan karena sistem pendidikan tinggi di Indonesia yang tidak menyiapkan
tenaga siap pakai, melainkan hanya meluluskan tenaga siap latih. Artinya, jika
suatu perusahaan merekrut lulusan perguruan tinggi, tenaga tersebut belum dapat
langsung bekerja, masih harus diberikan pendidikan dan pelatihan yang
menghabiskan biaya dan waktu yang tidak sedikit.
Sementara suara yang
mewakili dunia pendidikan membela diri, bahwa pendidikan tinggi memang
dirancang untuk mendidik logika berpikir, sehingga lulusan perguruan tinggi dapat
mengatasi/menghadapi masalah di kemudian hari. Sedangkan untuk tenaga siap
bekerja bukannya tidak ada wadah pendidikannya, karena sekolah-sekolah kejuruan
tetap terbuka untuk yang berminat atau yang mengambil jalur short cut ke dunia kerja. Tetapi sekolah
kejuruan memang tidak diharapkan menghasilkan lulusan untuk menduduki jabatan
menejer di perusahaan-perusahaan, sudah sejak dulu, yang mengisi jabatan
menejer adalah para Sarjana.
Ada pula penelepon yang
menekankan bahwa sejalan dengan CSR (Corporate Social Responsibility) maka
selayaknya dunia usaha yang mampu tidak berkeberatan mengeluarkan biaya dan menyediakan
waktu untuk melatih tenaga kerja yang baru direkrutnya.
Menurut pengetahuan saya
pribadi sebenarnya masalah penganguran intelek bukanlah masalah baru dan Indonesia
juga bukan satu-satunya negara yang menghadapi masalah seperti ini. Angka satu juta mungkin pula tidak akurat. Dan apakah seorang Insinyur yang bekerja
sebagai tenaga pembukuan atau bekerja di bengkel bubut dihitung sebagai
pengangur intelektual seperti di Amerika Serikat umpamanya? Bagaimana dengan
Sarjana Akuntansi yang buka toko hand phone di Mangga Dua? Lepas dari segala
pro kontra dan keakuratan data, saya pribadi tidak merasa terkejut dengan fakta
ini. Tetapi lebih menarik buat saya adalah apa yang menyebabkan para Sarjana
lulusan S1 bahkan S2 mengangur?
Seseorang dapat
menyelesaikan pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi setingkat S1 apalagi
S2 sangat kecil kemungkinannya berasal dari kalangan tidak mampu. Paling tidak
mereka adalah golongan ekonomi menengah. Karena itu setelah lulus kemungkinan
tidak segera menghadapi tuntutan bekerja. Mereka mungkin memilih-milih
pekerjaan, mengharapkan gaji dan tunjangan yang lebih baik, kondisi kerja yang
lebih baik atau kemungkinan sedang menunggu kesempatan bekerja sebagai PNS.
Tidak adanya tuntutan
untuk segera bekerja juga membuat pengangur intelektual tidak berusaha untuk
meningkatkan diri dengan menambah ilmu dan ketrampilan di luar jam kuliah. Terkadang
ada semacam arogansi yang membuat pengangur intelektual yang kemudian
menghambat mereka untuk berusaha lebih baik, misalnya dalam hal membuat surat
lamaran kerja.
Saya tidak asal saja
berbicara, tetapi saya memang pernah menghadapi pencari kerja yang
demikian—menulis surat lamaran asal jadi dan tidak melengkapi diri dengan
tambahan ilmu atau ketrampilan semenjak di perguruan tinggi dan saat setelah
lulus.
Harus diakui, tentu saja
tidak semua lulusan perguruan tinggi bersikap demikian. Sebagian sangat serius
dan ingin bekerja dengan baik. Dan mereka inilah yang akan memperebutkan
lowongan yang menurut catatan stasiun radio yang sama hanya berjumlah 50,000
saja.
Dengan menggunakan
prinsip NLP (Neuro-Linguistic
Programming); Meta Program Pattern, pengangur intelektual yang disebut
terlebih dahulu dapat dikatakan menjauhi atau menghindari suatu kondisi yang
dianggapnya sebagai masalah (moving away
from negative). Sedangkan golongan yang siap-sedia memperebutkan lowongan
kerja yang tidak sebanding dengan jumlah yang diluluskan perguruan tinggi
setiap tahun adalah profil atau orang-orang berpola laku mendekati/menghadapi
positif (toward positive).
Dari pengalaman pribadi
bertahun-tahun di dunia management dan bisnis, saya sering menyaksikan atau
melakoni bahwa jika terjadi pertemuan antara pengusaha dengan profil toward
positive maka proses perekrutan akan berlangsung mulus. Tidak jarang pula di
kemudian hari berkembang menjadi persatuan yang efektif dan sukses.
Persaingan Tidak Seimbang
Persaingan tidak seimbang
antara jumlah lulusan perguruan tinggi dengan tersedianya lapangan kerja memang
di satu pihak memberikan kebebasan kepada dunia usaha untuk memilih.
Kenyataannya setiap kali sebuah lowongan pekerjaan dibuka dan diumumkan di
media massa, maka pelamar yang masuk akan berpuluh-puluh kali lipat
dibandingkan yang dibutuhkan. Namun apakah hal ini berarti dunia usaha pasti
akan mendapatkan profil yang diinginkan?
Menurut survei yang kami
lakukan, sering kali proses pencarian tenaga kerja harus diulang dari awal:
Pasang iklan lowongan kerja, menunggu masuknya beratus-ratus surat lamaran
bahkan tidak jarang ribuan, menyeleksi surat-surat pelamar untuk mendapatkan
yang memenuhi syarat dan membuang yang tidak, menyeleksi lagi surat-surat yang
memenuhi persyaratan, mengirimkan surat panggilan atau email maupun menelepon yang
terseleksi, dan melakukan wawancara hingga berkali-kali.
Tidak heran bila Anda
sering mendengar keluhan pemilik perusahaan (management) betapa sulitnya
mendapatkan the right man (woman juga
dong) on the right place. Sama tidak
usah heran mendengar pencari kerja mengeluhkan betapa sulitnya mendapatkan pekerjaan.
Lantas apa yang harus diantisipasi oleh
kedua belah pihak?
Nah, yang berikut adalah
nasihat yang diberikan oleh seorang praktisi di lembaga Psikologi dan
perusahaan perekrutan, Poedjiati Tan, Msi.
- Sejak di bangku kuliah
seseorang hendaknya mempersiapkan diri dengan menambah ketrampilan yang
menunjang bidang pendidikannya. Misalnya untuk seorang mahasiswa jurusan
ekonomi akuntansi, dapat mengikuti kursus sertifikasi perpajakan, komputer
akuntansi dan bahasa asing.
- Setelah siap terjun ke dunia
kerja, rajin-rajinlah mencari lowongan pekerjaan di koran, media masa dan
alangkah baiknya jika mendaftar menjadi anggota bursa tenaga kerja melalui
berbagai lembaga perekrutan dan penyalur tenaga kerja yang ada.
- Persiapkan CV yang baik.
Jika tidak tahu bagaimana cara menulis CV yang baik, belajarlah dari
buku-buku, artikel di Internet atau bertanya kepada teman, kenalan. Titipkan CV Anda pada teman,
kenalan yang kemungkinan besar dapat merekomendasikan Anda.
- Ikuti praktek kerja dan
jangan mengharapkan imbalan yang besar untuk itu.
- Persiapkan diri untuk menghadapi wawancara kerja.
Saran Untuk Pengusaha (Management Perusahaan)
Ketimpangan antara jumlah
lulusan perguruan tinggi dengan tersedianya lapangan kerja seperti telah
disinggung sebelumnya memang dapat memberikan pilihan yang luas kepada
pengusaha (management perusahaan), namun kita juga telah membahas bahwa
banyaknya lulusan perguruan tinggi bukan berarti banyaknya ketersediaan tenaga
siap berkarya. Hal ini akhirnya menyebabkan pengusaha lebih menyukai calon
pegawai yang telah berpengalaman kerja. Sah-sah saja sih, namun faktor-faktor
berikut ini juga harus mendapatkan pertimbangan.
Kelebihan dan Kekurangan Calon Berpengalaman:
|
Kelebihan dan Kekurangan Calon Tidak Berpengalaman:
|
Dari faktor-faktor di
atas management hendaknya sudah dapat mengambil keputusan yang sesuai untuk
kebutuhan perusahaannya.
Terimakasih Masukkannya, saya tertarik pada pendapat Poedjiati Tan, Msi, itu yang saya lakukan dulu dikarenakan saya berasal dari lulusan yang boleh dibilang universitas terdengar, namun seiring jalannya waktu ternyata itu bukan suatu hambatan, namun malah menjadi sebuah tantangan untuk unujuk gigi bersaing dengan lulusa Univ ternama,
ReplyDeletesatu hal yang paling penting adalah itu semua tidak didapatkan pada waktu di bangku kuliah, sehingga dengan tekat kuat saya mencoba memberi masukkan /Ide kepada mantan dose saya untuk memasukkan ide saya dalam proses pengajaran mata kuliah sehingga Masiswa tidak hanya mampu secara akademis (IPK) namun juga dibuktikan dengan praktek di lapangan serta "Perasaa percaya diri merasa memiliki skill full"
Best Regard
Banjar Edi S
Iya Pak Banjar Edi, hanya orang yang mau maju dan berkembang yang bisa menghadapi persaingan dengan sukses.
ReplyDeleteBest Reagrd
Poedjiati Tan
Salam kenal pak edi, saya anak muda yang sesuai dengan topik..
ReplyDeleteYang saya bingung ini wacana sumbernya dari mana? Apakah bisa di pertanggung jawabkan?
Isinya cukup bagus dan membimbing, tp pointnya kurang kena alias 50-50, apa ga ada solusi?
Dan tolong untuk para komenters sebaiknya di pilih yg bisa membangkit semangat, jgn yang mirip "spam" yg timbul. Makasih.