Applicable NLP~High Impact Training Skills


Public workshop I Excellent Selling with NLP
Sheraton Hotel, Surabaya 5 years ago.
Juni mendatang genap lima tahun sudah saya menjalani karir sebagai full-time trainer. Suatu profesi yang tadinya saya masuki dengan tidak sengaja kini menjadi suatu kegiatan yang sangat saya cintai.
Training should be fun.
But humor has structure too.
Sebelum-sebelumnya saya sering berada di posisi trainee atau peserta suatu pelatihan dan menjadi silent faultfinder. Saat-saat duduk di ruang training dan bete setengah mati seperti itu saya sering berkata kepada diri sendiri: “Seandainya aku yang menjadi trainer, aku gak akan melakukan ini-itu yang dilakukan orang ini.” Tetapi, namanya juga pencari kesalahan diam-diam, saya justru melakukan kesalahan besar dan hal itu membuat saya tidak tahu positive feedbacks yang seharusnya diberikan kepada para trainer tersebut. Lebih-lebih lagi saya tidak menyadari bahwa masukan-masukan yang bermutu tidak saja berguna bagi si penerima tetapi juga sekaligus bermanfaat bagi si pemberi.
Untunglah akhirnya saya menemukan trainer hebat yang bisa saya model. Lebih beruntung lagi mereka semua itu trainer hebat di bidangnya yang memiliki satu atau dua hal yang tidak saya setujui.
Di samping trainer yang menjadi teladan dan menguatkan saya seperti Robert Dilts, Judith De Lozier, beberapa trainer lain menjadi amplas yang mengilapkan kapabilitas saya. Bagi saya mereka semuanya adalah raksasa-raksasa yang mengijinkan saya berdiri di bahu mereka sehingga saya dapat memiliki pandangan dan acuan yang jelas, luas serta indah.
Setengah dekade menjalani profesi ini saya baru menyadari betapa tidak mudahnya menjadi seorang trainer yang dapat memuaskan setiap orang. Sebenarnya tidak hanya profesi ini, profesi manapun pasti tidak mudah memuaskan semua orang. Seorang trainer ternyata tidak cukup jika ia menguasai materi saja, ia harus mampu menyampaikannya (delivery). Seorang trainer dituntut seperti bunglon yang dapat memotivasi peserta untuk belajar. Pada saat yang sama ia harus berganti-ganti menjadi pelatih yang mengajarkan caranya melakukan suatu keterampilan. Supaya tidak membosankan ia harus memiliki keterampilan seperti seorang stand-up comedian. Humor-humornya harus cerdas supaya tidak menjadi bumerang.
Motivate trainees to be enthusiastic.
Tidak cukup dengan keterampilan-keterampilan di atas, ia harus mampu menginspirasi peserta untuk mengadopsi pandangan hidup baru dan melakukan perubahan mind-set. Semua itu membedakan seorang trainer dengan public speaker. Public speaker harus mampu meraih perhatian penuh dari audiens, tetapi ia tidak dituntut mengajarkan sesuatu kepada audiens secara langsung. Seorang trainer selain menguasai semua keterampilan yang dimiliki seorang public speaker harus piawai pula dalam public speaking.
Kita semua setuju bahwa pembicara publik yang mampu berinteraksi dengan audiens menggenggam nilai tambah, namun bagi seorang trainer, interaksi adalah syarat utama kesuksesan suatu pelatihan. Dengan demikian seorang trainer harus pula menguasai keterampilan berkomunikasi.
Trans session is necessary.
Saya bersyukur dan berterima kasih sebab untuk menguasai semua keterampilan yang saya perlukan, guru kami, Robert Dilts telah menulis sebuah buku “From Coach to Awakener” yang memberi panduan lengkap menguasai keterampilan pada level-level logika yang berbeda. Pendekatan neurological levels seperti ini sungguh memudahkan.

Program Training Design

Kesuksesan seorang trainer menyampaikan materi yang—harus dikuasainya—tidak terlepas dari bagaimana ia menyusun program training. Karena selama ini saya sering diminta memberikan topik pelatihan practical leadership, supervisory/managerial, sales motivation, creative problem solving, public speaking, communication dan sebagainya  kepada management staffs organisasi perusahaan, saya merasakan betapa beruntungnya memiliki pengalaman managerial berpuluh-puluh tahun di berbagai perusahaan dan industri berbeda karena hal ini memudahkan saya menyusun program pelatihan yang sepenuhnya customized.
Demonstration to be modelled by participants.
Tanpa pengalaman berkecimpung di korporasi barangkali saya hanya mampu membawakan materi orang lain dan standar isinya. Istilahnya, hanya bisa mengajarkan topik dan materi yang saya kuasai saja bukan yang dibutuhkan oleh peserta. Memimpin para peserta mencapai outcome training bukan sekedar menyelesaikannya tepat waktu. Hal ini  menuntut trainer untuk mengenali siapa pesertanya. Bagaimana membekali peserta dengan sikap dan panduan berpikir serta berperilaku agar mampu mengatasi persoalan-persoalan dalam organisasi yang dipengaruhi politik kantor dan birokrasi tentunya dibutuhkan pengetahuan dan pengalaman pribadi trainer.
Selain memperhatikan prinsip-prinsip desain, suatu training, trainer harus memikirkan struktur aktivitas sehingga materi mudah disampaikan dan gampang diterima oleh peserta. Struktur aktivitas yang baik selain membuat suatu training menyenangkan (fun) juga membuka kesempatan memasang peserta untuk menghayati peran berbeda dari yang mereka lakoni sehari-harinya. Untuk membantu peserta senior lebih memahami dan menghargai para junior mereka dan sebaliknya dapat dilakukan dengan role plays. Diskusi dan brainstroming dapat dilakukan sebagai langkah awal yang dapat diteruskan setelah kembali ke tempat kerja.

Pendekatan Neuro-Linguistic Programming (NLP)

Beberapa teknik dan model NLP dapat dimanfaatkan trainer misalnya State Management (bagaimana mengelola dan menjaga states yang tepat) sehingga dapat tetap bersemangat membawakan training sepanjang hari—bahkan maraton berhari-hari. Teknik-teknik hypnosis atau relaksasi juga akan sangat membantu proses pembelajaran peserta. Selain itu saya merasa sangat terbantukan dengan mengaplikasikan filosofi NLP Next Generation. Kecerdasan kognitif sangat mungkin diperkaya dengan kolaborasi kecerdasan somatik dan kecerdasan ‘medan’ atau field.
Teach and show trainees a NLP technique.
Saya pun tidak melupakan empat pilar utama NLP; sensory awareness, rapport, outcome thinking dan behavioral flexibility. Dengan menggabungkan semua teknik dan model yang sederhana pelatihan dapat didesain dan membuktikan NLP dapat diaplikasikan.

Belajar Dari Peserta

Seberapa pun banyak dan sejauh mana pun saya belajar, level kompetensi saya tidak akan meningkat jika saya tidak terus-menerus dan dari waktu ke waktu belajar dari para peserta.
Belajar dari peserta bisa diperoleh langsung dari interaksi selama pelatihan berlangsung, dari mengobservasi reaksi peserta terhadap cara penyampaian dan materi yang diberikan. Walaupun sulit mengobservasi reaksi seluruh peserta, saya menggunakan pendekatan ‘sampling’ dengan mengutamakan sepertiga peserta yang paling aktif dan yang paling pasif.
Public speaking; to inspire.
Peserta yang aktif biasanya cukup ceplas-ceplos sehingga saya bisa langsung tahu reaksinya. Sedangkan peserta yang pasif sebenarnya tidak pernah menyembunyikan reaksi mereka dan hal itu tercermin baik dari cara duduk maupun ekspresi wajah. Misalnya seorang peserta yang pendiam dan belajar dari mendengarkan akan menegakkan posisi tubuhnya justru pada ia merasa penjelasan saya sulit dipahami. Sebaliknya ia akan terlihat santai ketika menikmatinya.
Selain cara langsung, tentunya mengumpulkan evaluasi pada akhir pelatihan sangat umum dilakukan dan cukup bermanfaat sebagai sumber positive feedback. Setiap kali selesai melaksanakan pelatihan saya harus memastikan outcome yang diset di awal training tercapai. Selain itu saya harus tahu apakah peserta menyukainya dan apa yang disukai dan apa yang tidak disukainya.
Demikian sharing saya kali ini. Jika Anda tertarik untuk menjadi seorang trainer yang hebat, silakan bergabung dalam workshop saya Applicable NLP~High Impact Training Skills. Namun jika Anda lebih banyak melakukan coaching utamanya one to one coaching, workshop yang cocok bagi Anda tentunya Applicable NLP~High Impact Coaching & Counseling Skills. Silakan menghubungi saya di erni.julia@gmail.com

Comments