6 Alasan NLP Bagus Untuk Para Remaja

Berbagi NLP Dengan Komunitas Tanoker
Pada kesempatan liburan akhir tahun, saya dan rekan Poedjiati Tan, mengunjungi para sahabat yang tergabung dalam Komunitas Tanoker  di Kecamatan Ledokombo, Jember. Saya sungguh merasa sangat berbahagia disambut dengan tabuhan gendang, drum, juga rangkaian bunga hasil karya tangan-tangan mungil nan cekatan. Wah, sungguh tidak menyangka disambut sedemikian mesra penuh kasih. Niat saya berkunjung sebenarnya adalah untuk berbagi inspirasi, namun justru akhirnya saya yang terinspirasi bahkan tercerahkan! 
Ketika saya memasang beberapa photo yang terekam selama kunjungan singkat tersebut dan status update di Facebook, beberapa kawan bertanya pada saya: Komunitas apa itu Tanoker?
Sebenarnya kunjungan yang sangat singkat ini tidak membuat saya pantas untuk menjawab pertanyaan tersebut secara lengkap dan baik. Jadi saya usulkan untuk mengakses situs komunitas ini dengan mengklik link: www.tanoker.org. Selain itu dengan melakukan pencarian menggunakan mesin pencari google, pasti akan mendapatkan ribuan links yang dapat memuaskan keingintahuan.
Sedangkan informasi yang dapat saya tambahkan hanyalah pengalaman pribadi. Pengalaman yang begitu mengesankan, kesempatan belajar dan menyadari bahwa memang betul setiap orang adalah guru bagi orang lainnya. Pengalaman kita tidak ada artinya tanpa warna-warni pengalaman orang lain. Mudah-mudahan bermanfaat pula bagi yang belum sempat berkunjung ke Tanoker Ledokombo.

Pelajaran Pertama: Tanoker ~Perubahan
Menyambut dengan tabuhan drum dan gendang. 
Pertama kali mendengar nama ini adalah saat berusaha menemukan alamat komunitas sesampainya di Ledokombo. Supaya tidak tersasar-sasar, kami telah mengumpulkan cukup informasi bagaimana mencapai Kecamatan Ledokombo di Kabupaten Jember, Jawa Timur ini. Namun, kami masih harus berhenti untuk bertanya di mana persisnya “markas” komunitas yang diurus oleh pasutri Dr. Ir. Suporahardjo, M.Si dan Dra. Farha Ciciek, M.Si ini. Itulah pertama kali saya mendengar nama Tanoker ketika rekan Poedji bertanya kepada masyarakat yang ditemui dalam perjalanan: “Di mana letaknya komunitas Tanoker.”
Butuh beberapa saat bagi lidah saya untuk memfasihkan kata tanoker. Apa itu tanoker? Apakah singkatan? Tanya saya penasaran, dan seorang anak SMP, putra pasangan pengurus menjelaskan bahwa tanoker adalah kepompong dalam bahasa Madura (mayoritas masyarakat Ledokombo adalah Suku Madura yang telah menetap sejak lama). Sebagai penggemar metaphor dan pengagum Joseph Campbell, tentu saja saya segera ingin menghubungkan anak-anak Ledokombo dengan kepompong yang nantinya akan bermetamorfosis menjadi kupu-kupu yang indah dan bermanfaat bagi kehidupan secara luas. Setelah mendapatkan konfirmasi dari Mbak Ciciek (sapaan akrab Dra. Farha Ciciek), saya langsung dapat menghafal kata baru tanoker dan artinya yang demikian dalam.
Pelajaran Kedua: Egrang~Keseimbangan
Salah-satu Karya Komunitas Tanoker,
Ledokombo, egrang dari bahan-bahan
yang mudah didapatkan. 
Permainan egrang mungkin tidak akrab bagi anak-anak yang bermukim di kota metropolitan, atau bahkan di desa-desa juga? Maka dari itu Lek Hang (panggilan akrab Dr. Ir. Suporahardjo, M.Si) dan Mbak Ciciek berusaha menghidupkan kembali permainan ini. Mereka berdua dan kemudian dibantu oleh para relawan tidak sekedar mengajarkan permainan egrang tradisional kepada anak-anak di Ledokombo, tetapi sekaligus melakukan improvisasi dengan musik dan tari-tarian. Selain telah berhasil menyelenggarakan festival selama empat kali berturut-turut sejak 2010, juga telah melakukan pertunjukan di berbagai kota di Indonesia dan manca negara.
Mengapa memilih egrang? Pertama main egrang itu asyik. Kalau saja ada kesempatan mungkin saya pun ingin mengulang kembali keasyikan main egrang seperti di masa kanak-kanak. Tetapi itu tidak terlalu penting, yang penting adalah apa yang telah saya pelajari?
Egrang dimainkan dengan menggunakan dua batang bambu panjang (biasanya dua kali panjang dari tinggi pemainnya), dua pijakan kaki dipasangkan pada salah-satu ujung bambu. Pemainnya menginjakkan kakinya dan berjalan atau bergerak sambil menjaga keseimbangan. Pemain yang mahir adalah yang paling baik menjaga keseimbangan di atas kedua batang tiang bambu tersebut. Anggota komunitas Tanoker tidak hanya bermain-main dengan egrang, mereka juga mengombinasikan dengan beraneka aktivitas seperti menari, berpidato, main drama dan pawai berkelompok. Jadi keseimbangan pikiran dan tubuh (body and mind) harus benar-benar congruent dan syntax. Nah, penggemar NLP seperti saya tentunya belajar lagi bahwa mind and body are systemic. Mbak Ciciek, Lek Hang dan para relawan juga tidak menyia-nyiakan kesempatan menanamkan filosofi ini kepada anak-anak Ledokombo. Selain itu, pawai dan festival egrang juga membuka kesempatan bagi anak-anak untuk berunjuk kecakapan menghias egrang seindah-indahnya menurut kreativitas mereka yang masih segar.
Ah, rasanya saya semakin ingin merasakan kembali melangkah di atas egrang. Betapa indahnya bermain yang sayangnya bagi saya tak pernah benar-benar tersalurkan karena keadaan yang mirip dengan masyarakat Ledokombo pra kehadiran Komunitas Tanoker. Bermain yang menjadi hak anak-anak memang sering terampas tanpa kompromi dan ini membawa saya pada pelajaran berikutnya.
Pelajaran Ketiga: Bermain Yang Tidak Main-Main
Berprestasi walaupun sejak kecil hidup bersama
tetangga karena orangtua harus bekerja di Bali. 
Bagi anak-anak bermain memang tidak main-main. Bermain itu penting untuk menunjang pertumbuhan tubuh dan perkembangan pikiran, termasuk di dalam sikap, mentalitas, empati maupun aspek psikologis lainnya. Sayangnya, kesempatan bermain bagi seorang anak sering terampas oleh orangtua, baik sengaja ataupun tidak. Namun, perampasan hak anak-anak untuk bermain yang paling menyedihkan tentu saja yang disebabkan faktor ekonomi. Anak-anak tidak saja kehilangan hak untuk bermain, mereka pun dipaksa untuk menjalani peran orang dewasa—mencari nafkah. Dan tentu saja berada di dunia yang kerja yang keras, anak-anak juga rentan tereksploitasi. 
Kegiatan belajar dan bermain yang diselenggarakan Tanoker Ledokombo tentunya telah mempertimbangkan bagaimana meningkatkan pendapatan masyarakat ke dalam program kerjanya. Contohnya program Egrang City Tour sebagai proses pemberdayaan berbasis budaya. Kegiatan bulanan yang diadakan di alun-alun Kota Jember atau beberapa tempat strategis lainnya ini diisi dengan kegiatan kampanye ‘Peduli Anak’, pelatihan egrang kepada masyarakat/peminat, penjualan egrang serta hasil kerajinan tangan dan kuliner tradisional. (Selengkapnya silakan membaca di situs: www.tanoker.org/).
Pelajaran Keempat: Semangat Yang Mengasihi
Barangkali para filsuf benar; manusia pada dasarnya baik dan pengasih seperti sifat-sifat Pencipta sendiri. Tetapi mengasihi juga memerlukan semangat atau motivasi. Di Komunitas Tanoker, anak-anak dibiasakan memberi dari apa yang mereka miliki. Misalnya ketika ada tamu, mereka sangat antusias untuk menyambut dengan rangkaian acara yang gegap gempita walaupun jauh dari gemerlap glamor. Kami berempat yang berkunjung di hari yang sama masing-masing mendapatkan karangan bunga yang indah, disambut dengan pertunjukan nyanyian diiringi tabuhan drum dan gendang yang meriah.
Bagi saya yang sangat menarik adalah “Tepuk Semangat” dan “Tepuk Kasih Sayang” yang selalu dilakukan ketika berkumpul bersama. Memberi kasih, berbagi sesungguhnya mudah, hanya saja kita sering kehilangan semangat, antusiasme atau motivasi. Seringkali orang mengagungkan semangat untuk melakukan suatu kegiatan, tetapi melupakan kasih sayang, dan akibatnya terjadi ketimpangan, mungkin “bagaikan egrang yang patah sebelah”?
“Karena itu lebih baik hanya sedikit yang benar-benar berkesungguhan hati melakukan kegiatan daripada banyak orang, tapi hanya merepotkan saja.” Salah satu komentar Mbak Ciciek terdengar senada dengan semangat penuh kasih melayani. 
Pelajaran Kelima: Segalanya Mungkin
Berbagi Cerita dengan anak-anak Komunitas
Tanoker, Ledokombo
di Minggu pagi yang cerah. 
Kecamatan Ledokombo ditengarai sebagai wilayah tertinggal dengan berbagai problem sosial-ekonomi. Menurut Mbak Ciciek semula banyak yang menyangsikan dapat dilakukan perubahan yang berarti. Namun, pengalaman mematahkan kesangsian seperti itu. Masyarakat Ledokombo berproses dengan kesungguhan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik melalui berbagai kegiatan kreatif yang dimotori anak-anak.
Salah-satu permasalahan yang dihadapi anak-anak Ledokombo adalah harus hidup jauh dari orangtua yang bekerja sebagai buruh migran di Bali maupun di luar negeri. Kami sempat mengobrol dengan salah seorang remaja yang sejak kecil dititipkan pada tetangganya. Dengan berkomunitas, remaja ini sadar bahwa ia tidak sendirian, banyak orang senasib dirinya dan mereka tidak harus terus terpuruk menantikan rasa iba orang lain. Di Komunitas Tanoker semua anak berwajah ceria, optimis menatap masa depan sementara menjalani kerasnya kehidupan. Setiap anak memiliki cita-cita untuk menjadi guru, dosen, dokter, ekonom, akuntan, fashion designer bahkan dosen di luar negeri.
Pelajaran Keenam: Cintai Apa Yang PANTAS Dilakukan Sementara Belum Berkesempatan Melakukan Yang Dicintai.
Cintai apa yang PANTAS dilakukan.
Sebuah proses pembelajaran terjadi dalam diskusi dengan para tutor dan relawan. Sebuah pertanyaan dari hati yang galau salah seorang peserta diskusi, apa yang harus dilakukan bila tidak menyukai apa yang dilakukan saat ini? Pernyataan “cintai apa yang sedang dilakukan” apakah bukan bentuk pembohongan pada diri sendiri?
Sebenarnya tidak ada yang lebih pantas memberikan nasihat bahwa orang lain harus berusaha mencintai apapun yang sedang dilakukannya. Kita hanya dapat memberikan pandangan untuk membantu seseorang mendapatkan lebih banyak pilihan-pilihan dalam hidup ini. Tak ada seorang pun yang cukup pantas memilihkan jalan untuk dilewati orang lainnya, jika kita memang cukup berwawasan, dan telah menempuh banyak jalan yang berbeda, mendatangi tujuan yang berbeda, maka kita hanya pantas berbagi pengalaman.
Terkadang seseorang menemukan dirinya berdiri di depan tembok yang tebal, di pinggir jurang yang curam. Pada saat seperti itu sebaiknya ia dibantu menemukan sumber daya dalam dirinya sendiri untuk berani mengubah haluan.
Saya tercerahkan hari ini dan tidak akan lagi mengatakan kepada orang yang sedang bete “kalau mau sukses, cintai apa yang kamu lakukan.” Tidak akan lagi.
Terima kasih teman-teman Komunitas Tanoker yang telah memberi saya kesempatan untuk belajar.
Minggu Ceria merupakan salah-satu program rutin Komunitas Tanoker. Di acara ini beberapa orangtua anak Tanoker berjualan berbagai penganan tradisional. Ketika saya lewat sambil menjinjing kamera,  ibu ini menyapa: "Good morning, Miss. Picture me please!" 
Berfoto bersama sebelum berpisah. Sampai jumpa lagi, you are awesome!







Comments