Berbagi NLP Dengan Komunitas Tanoker
Pada kesempatan liburan akhir tahun, saya dan
rekan Poedjiati Tan, mengunjungi para sahabat yang tergabung
dalam Komunitas Tanoker di Kecamatan Ledokombo, Jember. Saya
sungguh merasa sangat berbahagia disambut dengan tabuhan gendang, drum, juga
rangkaian bunga hasil karya tangan-tangan mungil nan cekatan. Wah, sungguh
tidak menyangka disambut sedemikian mesra penuh kasih. Niat saya berkunjung
sebenarnya adalah untuk berbagi inspirasi, namun justru akhirnya saya yang
terinspirasi bahkan tercerahkan!
Ketika saya memasang beberapa photo yang terekam
selama kunjungan singkat tersebut dan status update di Facebook, beberapa kawan
bertanya pada saya: Komunitas apa itu Tanoker?
Sebenarnya kunjungan yang sangat singkat ini
tidak membuat saya pantas untuk menjawab pertanyaan tersebut secara lengkap dan
baik. Jadi saya usulkan untuk mengakses situs komunitas ini dengan mengklik
link: www.tanoker.org. Selain itu
dengan melakukan pencarian menggunakan mesin pencari google, pasti akan
mendapatkan ribuan links yang dapat memuaskan keingintahuan.
Sedangkan informasi yang dapat saya tambahkan
hanyalah pengalaman pribadi. Pengalaman yang begitu mengesankan, kesempatan
belajar dan menyadari bahwa memang betul setiap orang adalah guru bagi orang
lainnya. Pengalaman kita tidak ada artinya tanpa warna-warni pengalaman orang
lain. Mudah-mudahan bermanfaat pula bagi yang belum sempat berkunjung ke
Tanoker Ledokombo.
Pelajaran
Pertama: Tanoker ~Perubahan
Menyambut dengan tabuhan drum dan gendang. |
Butuh beberapa saat bagi lidah saya untuk
memfasihkan kata tanoker. Apa itu tanoker? Apakah singkatan? Tanya saya
penasaran, dan seorang anak SMP, putra pasangan pengurus menjelaskan bahwa
tanoker adalah kepompong dalam bahasa Madura (mayoritas masyarakat Ledokombo
adalah Suku Madura yang telah menetap sejak lama). Sebagai penggemar metaphor
dan pengagum Joseph Campbell, tentu saja saya segera ingin menghubungkan anak-anak
Ledokombo dengan kepompong yang nantinya akan bermetamorfosis menjadi kupu-kupu
yang indah dan bermanfaat bagi kehidupan secara luas. Setelah mendapatkan
konfirmasi dari Mbak Ciciek (sapaan akrab Dra. Farha Ciciek), saya langsung
dapat menghafal kata baru tanoker dan artinya yang demikian dalam.
Pelajaran
Kedua: Egrang~Keseimbangan
Salah-satu Karya Komunitas Tanoker, Ledokombo, egrang dari bahan-bahan yang mudah didapatkan. |
Mengapa memilih egrang? Pertama main egrang itu
asyik. Kalau saja ada kesempatan mungkin saya pun ingin mengulang kembali
keasyikan main egrang seperti di masa kanak-kanak. Tetapi itu tidak terlalu
penting, yang penting adalah apa yang telah saya pelajari?
Egrang dimainkan dengan menggunakan dua batang
bambu panjang (biasanya dua kali panjang dari tinggi pemainnya), dua pijakan
kaki dipasangkan pada salah-satu ujung bambu. Pemainnya menginjakkan kakinya
dan berjalan atau bergerak sambil menjaga keseimbangan. Pemain yang mahir
adalah yang paling baik menjaga keseimbangan di atas kedua batang tiang bambu
tersebut. Anggota komunitas Tanoker tidak hanya bermain-main dengan egrang,
mereka juga mengombinasikan dengan beraneka aktivitas seperti menari,
berpidato, main drama dan pawai berkelompok. Jadi keseimbangan pikiran dan
tubuh (body and mind) harus
benar-benar congruent dan syntax. Nah, penggemar NLP seperti saya tentunya
belajar lagi bahwa mind and body are
systemic. Mbak Ciciek, Lek Hang dan para relawan juga tidak menyia-nyiakan
kesempatan menanamkan filosofi ini kepada anak-anak Ledokombo. Selain itu,
pawai dan festival egrang juga membuka kesempatan bagi anak-anak untuk berunjuk
kecakapan menghias egrang seindah-indahnya menurut kreativitas mereka yang
masih segar.
Ah, rasanya saya semakin ingin merasakan kembali
melangkah di atas egrang. Betapa indahnya bermain yang sayangnya bagi saya tak
pernah benar-benar tersalurkan karena keadaan yang mirip dengan masyarakat
Ledokombo pra kehadiran Komunitas Tanoker. Bermain yang menjadi hak
anak-anak memang sering terampas tanpa kompromi dan ini membawa saya pada
pelajaran berikutnya.
Pelajaran
Ketiga: Bermain Yang Tidak Main-Main
Berprestasi walaupun sejak kecil hidup bersama tetangga karena orangtua harus bekerja di Bali. |
Kegiatan belajar dan bermain yang diselenggarakan Tanoker Ledokombo tentunya telah mempertimbangkan bagaimana meningkatkan pendapatan masyarakat ke dalam program kerjanya. Contohnya program Egrang City Tour sebagai proses pemberdayaan berbasis budaya. Kegiatan bulanan yang diadakan di alun-alun Kota Jember atau beberapa tempat strategis lainnya ini diisi dengan kegiatan kampanye ‘Peduli Anak’, pelatihan egrang kepada masyarakat/peminat, penjualan egrang serta hasil kerajinan tangan dan kuliner tradisional. (Selengkapnya silakan membaca di situs: www.tanoker.org/).
Pelajaran
Keempat: Semangat Yang Mengasihi
Barangkali para filsuf benar; manusia pada dasarnya
baik dan pengasih seperti sifat-sifat Pencipta sendiri. Tetapi mengasihi juga
memerlukan semangat atau motivasi. Di Komunitas Tanoker, anak-anak dibiasakan
memberi dari apa yang mereka miliki. Misalnya ketika ada tamu, mereka sangat
antusias untuk menyambut dengan rangkaian acara yang gegap gempita walaupun
jauh dari gemerlap glamor. Kami berempat yang berkunjung di hari yang sama
masing-masing mendapatkan karangan bunga yang indah, disambut dengan
pertunjukan nyanyian diiringi tabuhan drum dan gendang yang meriah.
Bagi saya yang sangat menarik adalah “Tepuk
Semangat” dan “Tepuk Kasih Sayang” yang selalu dilakukan ketika berkumpul
bersama. Memberi kasih, berbagi sesungguhnya mudah, hanya saja kita sering
kehilangan semangat, antusiasme atau motivasi. Seringkali orang mengagungkan
semangat untuk melakukan suatu kegiatan, tetapi melupakan kasih sayang, dan
akibatnya terjadi ketimpangan, mungkin “bagaikan egrang yang patah sebelah”?
“Karena itu lebih baik hanya sedikit yang
benar-benar berkesungguhan hati melakukan kegiatan daripada banyak orang, tapi
hanya merepotkan saja.” Salah satu komentar Mbak Ciciek terdengar senada dengan
semangat penuh kasih melayani.
Pelajaran
Kelima: Segalanya Mungkin
Berbagi Cerita dengan anak-anak Komunitas Tanoker, Ledokombo di Minggu pagi yang cerah. |
Salah-satu permasalahan yang dihadapi anak-anak
Ledokombo adalah harus hidup jauh dari orangtua yang bekerja sebagai buruh
migran di Bali maupun di luar negeri. Kami sempat mengobrol dengan salah
seorang remaja yang sejak kecil dititipkan pada tetangganya. Dengan
berkomunitas, remaja ini sadar bahwa ia tidak sendirian, banyak orang senasib
dirinya dan mereka tidak harus terus terpuruk menantikan rasa iba orang lain.
Di Komunitas Tanoker semua anak berwajah ceria, optimis menatap masa depan
sementara menjalani kerasnya kehidupan. Setiap anak memiliki cita-cita untuk
menjadi guru, dosen, dokter, ekonom, akuntan, fashion designer bahkan dosen di
luar negeri.
Pelajaran
Keenam: Cintai Apa Yang PANTAS Dilakukan Sementara Belum Berkesempatan Melakukan
Yang Dicintai.
Cintai apa yang PANTAS dilakukan. |
Sebenarnya tidak ada yang lebih pantas memberikan
nasihat bahwa orang lain harus berusaha mencintai apapun yang sedang
dilakukannya. Kita hanya dapat memberikan pandangan untuk membantu seseorang
mendapatkan lebih banyak pilihan-pilihan dalam hidup ini. Tak ada seorang pun
yang cukup pantas memilihkan jalan untuk dilewati orang lainnya, jika kita
memang cukup berwawasan, dan telah menempuh banyak jalan yang berbeda,
mendatangi tujuan yang berbeda, maka kita hanya pantas berbagi pengalaman.
Terkadang seseorang menemukan dirinya berdiri di
depan tembok yang tebal, di pinggir jurang yang curam. Pada saat seperti itu
sebaiknya ia dibantu menemukan sumber daya dalam dirinya sendiri untuk berani
mengubah haluan.
Saya tercerahkan hari ini dan tidak akan lagi
mengatakan kepada orang yang sedang bete “kalau
mau sukses, cintai apa yang kamu lakukan.” Tidak akan lagi.
Terima kasih teman-teman Komunitas Tanoker yang telah memberi saya kesempatan untuk belajar.
Terima kasih teman-teman Komunitas Tanoker yang telah memberi saya kesempatan untuk belajar.
Berfoto bersama sebelum berpisah. Sampai jumpa lagi, you are awesome! |
Comments
Post a Comment