Burung Beo Dan Celotehnya #007
Suatu sore yang cerah Rio dan Bijak Kecil bersantai di taman
kota. Sementara Bijak Kecil duduk di bangku taman membaca buku dari tablet
elektroniknya, Rio terbang kian kemari di sekitar tuannya supaya aman.
Bijak Kecil sedang tenggelam dalam bacaannya ketika Rio hinggap di atas lututnya sambil menyapa: "Tuan! Tuan! Tuan! Cup...cup...cup!"
Bijak Kecil sedang tenggelam dalam bacaannya ketika Rio hinggap di atas lututnya sambil menyapa: "Tuan! Tuan! Tuan! Cup...cup...cup!"
Bijak Kecil mengalihkan perhatiannya dari buku elektroniknya
kepada burung beo kesayangannya dan ternyata Rio mencengkram selembar uang, ya,
ampun seratus dolar.
"He, dari mana kau mendapatkan uang ini, Rio?"
Tanya Bijak Kecil. Gelisah ia memandang sekelilingnya. Apakah ada orang yang
kehilangan dan sedang mengejar Rio? Ternyata tidak seorang pun yang menghampiri
tempat mereka. Beberapa pengunjung taman asyik dengan aktivitas masing-masing.
"Kamu mencopet ya?" Tanya Bijak Kecil semakin
khawatir. "Ayo, kembalikan kepada orang yang kamu copet."
Rio bergeming sambil berdiri di atas lembaran hijau dengan
lukisan wajah Benjamin Franklin itu.
"Baiklah kalau kau nggak mau mengaku telah mencuri uang
orang. Berikan kepadaku uangnya, biar aku yang kembalikan sambil meminta maaf
kepada orangnya." Kata Bijak Kecil.
Tetapi Rio malah menjepit uang kertas itu dengan paruhnya
yang keras bagaikan sepasang capit itu.
Bijak Kecil pun menyerah dan mereka
segera pulang.
Di rumah Rio tetap tidak mau melepaskan uang kertas itu dari
paruhnya. Dia bahkan rela berpuasa tidak makan semalaman.
Bijak Kecil pun menjadi bingung dan semakin berkurang kebijaksanaannya.
Perilaku burung peliharaannya itu mengingatkannya akan sebuah cerita yang
pernah didengar atau dibacanya. Sebuah analogi bahwa orang yang memegang uang
adalah orang yang berkuasa. Begitu uang berpindah tangan maka berpindah pulalah
kekuasaan.
Setelah perang dunia pertama berakhir banyak infrastruktur di
Eropa mengalami kerusakan dan turut memperburuk keadaan ekonomi. Banyak pengusaha
bangkrut dan harus hidup prihatin. Namun keadaan seperti itu tidak berlaku bagi
dua bersaudara James dan Richard di Cheshire, Britania Raya. Kedua remaja itu
tinggal di sebuah mansion mewah dan dilayani oleh beberapa pelayan keluarga.
Setelah perang usai, setiap hari banyak sekali veteran perang datang untuk
menerima makanan gratis yang dibagikan pelayan keluarga mereka di luar pagar
halaman belakang. James dan Richard suka mengamati kegiatan tersebut dari
sebuah gacebo. Mereka akan memperbincangkan setiap orang yang dilihatnya, contohnya
James akan memulai: “Lihat orang berjaket biru itu? Aku belum pernah melihat
dia sebelumnya.”
Richard akan menanggapi: “Ya, orang baru agaknya. Matanya
bersinar tajam, dia pasti bukan orang sembarangan.”
“Setuju!” Sahut James, “sepertinya dia cukup terpelajar.”
“Ya, sorot matanya itu!” Richard menambahkan, “aku ingin tahu
siapa namanya.”
“Apa artinya sebuah nama.” Sahut James.
Richard mengabaikan saudaranya dan berlari ke arah pintu
pagar halaman belakang dan memanggil salah satu pelayan. “Tolong tanya orang berjaket biru itu, siapa
namanya dan dari mana asalnya!”
Pelayannya yang segera melaksanakan perintah tanpa cerewet.
Tak lama kemudian ia kembali dan melaporkan bahwa pria berjaket biru itu
bernama Ian.
Keesokannya harinya James dan Richard kembali mengamati
rombongan veteran perang yang mengantri makanan di pintu belakang taman. Tetapi
hari ini Ian tidak datang, demikian pula keesokannya. Untuk beberapa hari
lamanya James dan Richard tidak
mendapatkan orang baru atau orang yang menarik perhatian untuk dijadikan topik
pembicaraan hingga seminggu kemudian seorang pria tampan yang masih muda
tiba-tiba muncul.
“Mari kita bertaruh.” Kata James.
“Tentang apa?” Tanya Richard
“Pendatang baru itu.”James menjelaskan, “aku bertaruh dia
tidak pernah bertempur di medan perang, dia masih terlalu muda dan halus untuk
itu. Perang biasanya mengubah orang menjadi getir dan kasar.”
“Aku setuju sajalah.” Jawab Richard.
James mengerutkan keningnya, “jadi kau tidak mau bertaruh
denganku?”
“Siapa bilang aku tidak mau bertaruh? Mari kita bertaruh
seperti ini, kita berikan dia selembar cek
senilai seribu pound dan bertaruh apa yang akan dilakukannya dengan kekayaan
sebanyak itu.” Kata Richard. Perlu diketahui seribu pound pada awal abab 20 itu
adalah jumlah yang fantastik sebab jika dihitung daya belinya akan sama dengan
sejuta pounds hari ini.
“Hm. Menarik juga! Baik, kalau besok dia kembali kita berikan
cek itu.” James setuju.
Keesokan harinya pemuda itu kembali untuk mendapatkan makanan
di halaman belakang keluarga bangsawan Lawrance. James meminta pelayannya
mengundang pemuda itu untuk bergabung dengan mereka di gazebo.
“Siapa namamu dan dari mana asalmu?” Tanya James setelah
pemuda itu dijamu dengan the dan biskuit.
“Aku bernama Adam dan berasal dari Derby. Ayahku tadinya
seorang pedagang dan ketika perang menghancurkan usahanya, dia menembak
dirinya. Ibuku yang memang sakit-sakitan tidak tahan dan meninggal dunia seminggu
kemudian.” Cerita Adam.
James dan Richard saling pandang dan saling mengangguk
sebagai tanda bahwa Adam adalah objek percobaan yang mereka harapkan.
“Ini adalah selembar cek setara seribu pound. Ambillah dan
lakukan apa saja sesuka hatimu.” Kata James sambil memberikan cek itu.
Mata Adam terbeliak, tentu dia sangat kaget diberikan uang
sebanyak itu. Tapi dia terlalu cerdas untuk menolaknya. Buru-buru tangannya
menyambar cek tersebut sebelum kedua bangsawan dungu itu berubah pikiran.
Setelah mengucapkan terima kasih dia pun cepat-cepat berlalu.
“Aku bertaruh dia akan menghabiskan uang sebanyak itu dalam
waktu tiga hari di meja judi, rumah bordil dan pub. Dan setelah uangnya ludes
dia akan kembali mengemis di tempat kita.” Kata James.
“Aku bertaruh dia akan membelanjakan uangnya hanya untuk
makanan dan pakaian. Dia akan kembali ke Derby dan kita tidak akan pernah
meihatnya lagi.” Tantang Richard.
Masih dengan perasaan senang mendapatkan uang sebanyak itu
dan tanpa disangka-sangka, Adam masuk ke sebuah butik khusus untuk pria. Dia
memilih bahan pakaian dan meminta dijahitkan satu set stelan formal. Ketika
pesanannya selesai, Adam menyodorkan ceknya kepada pemilik toko.
Pemilik butik hanya menatap cek itu dan menggelengkan
kepalanya. Di masa sulit seperti itu, orang yang memiliki kekayaan 1,000 pound
pastilah orang yang sangat kaya raya. Pasti suatu saat nanti dia akan kembali
dan menjadi pelanggan setia bila diperlakukan dengan baik. Pikir pemilik toko
dan setelah mantap hatinya dia berkata: “Tuan, Anda pastilah orang yang sangat
kaya raya dan berpengaruh. Saya akan merasa sangat terhormat jika Tuan mau
menjadi pelanggan saya, karena itu anggaplah stelan ini sebagai tanda perkenalan
kita. Tidak usah dibayar.”
Bukan hanya tidak perlu membayar untuk stelannya, bahkan
pemilik toko itu juga menghadiahkan Adam sepasang sepatu baru dan sebuah topi.
Ketika merasa lapar, Adam yang kini berpakaian bagus itu
memasuki sebuah restoran dan memesan makanan favoritnya. Selesai makan, Adam
kembali menyodorkan ceknya kepada kasir yang lalu memberikannya kepada
majikannya. Si pemilik restoran pun menimbang-nimbang dalam hati: “Orang ini
tampak seperti seorang pemuda terhormat dan penting. Aku harus bisa memikat hatinya untuk menjadi pelanggan loyal.
Aku juga berharap dia mengajak keluarga dan relasinya untuk makan di
restoranku, maka dari itu tidak ada salahnya aku gratiskan makanan dan
minumannya yang tidak seberapa ini.”
Maka sekali lagi cek Adam dikembalikan kepadanya oleh pemilik
restoran dengan basa-basi penuh keramahan.
Tanpa maksud memanfaatkan kesempatan Adam kemudian berbelanja
pakaian dan asesorinya di toko-toko lain, makan di restoran atau minum di pub
dalam perjalanan pulang ke kampung halaman dan bersungguh-sungguh membayar
dengan cek 1,000 poundnya, dan setiap pemilik toko, restoran dan pub selalu
menolak pembayarannya dengan sopan sambil berpesan supaya dia kembali lagi
sambil mengajak relasi-relasinya. Akhirnya Adam tiba di kota asalnya dan
menemui salah satu sahabat almarhum ayahnya dengan maksud mengajak pedagang itu
untuk bekerja sama.
“Hi, Adam, kau baru kembali dari perjalanan jauh ya? Wah, kau
tampak keren sekarang!” Sambut pedagang itu.
“Ya, aku baru kembali dari Ceshire, dan Manchester.” Jawab
Adam.
“Keberuntunganmu pasti sangat bagus di sana ya? Lihatlah
dirimu! Kau tampak seperti seorang pemuda terhormat dan kaya raya. Ayahmu pasti
bangga padamu, Adam.” Kata pedagang yang bernama Simon itu.
Selesai berbasa-basi Adam lalu menyerahkan ceknya kepada
Simon sambil berkata: “Aku ingin menjadi investor di bisnis perdaganganmu,
Simon. Dan aku mulai dengan menanamkan seribu poundsterling, apakah kau bisa
menerimanya?”
Mata Simon terbeliak melihat cek dengan nilai fantastik itu.
“Wah, dengan uang sebanyak itu kau bisa membeli separuh perusahaanku, Adam.
Tentu saja aku bersedia bekerja sama denganmu. Begini saja, kau simpan cekmu
dan mulailah bekerja di perusahaanku sebagai rekanan. Bila sewaktu-waktu kita
membutuhkan tambahan modal kerja, barulah kau cairkan cek ini.”
Adam pun mendapatkan pekerjaan dengan gaji lima pound
perbulan. Suatu hari Simon memberitahukan Adam bahwa perusahaan mereka
dipercaya menjadi penyalur resmi suatu produk baru dan untuk itu Simon
membutuhkan tambahan modal kerja. “Sekarang saatnya kau pergi ke bank untuk
mencairkan cekmu dan sebagai gantinya kau akan mendapatkan seribu lembar saham
di perusahaan ini.”
Adam segera menemui banker Thomas untuk mencairkan cek, dan
ternyatalah bahwa cek yang diberikan oleh anak-anak keluarga Lawrance di
Chesire tersebut ternyata cek kosong. Namun karena penampilan dan reputasinya
selama ini, banker Thomas menawarkan kepadanya pinjaman sebesar seribu pound
untuk memperbesar modal kerjanya. Tidak lama kemudian Simon menjual seluruh
saham usaha dagangnya kepada Adam dan usahanya terus berkembang hingga Adam
menjadi seorang pengusaha sukses dan kaya raya. Semuanya dimulai dengan
selembar cek kosong!
Comments
Post a Comment