Jangan jadi pengusaha kalau takut susah (karena harus kerja keras)
Business autopilot mode, bukan tanpa kerja keras terlebih dahulu. |
Bagi
saya, berbisnis itu sebuah venture,
jika Anda tambahkan ad menjadi adventure yang berarti penjelajahan,
perjalanan yang semestinya menarik seperti para penjelalah yang datang ke dunia
baru. Kalau begitu, buat apa autopilot dan leyeh-leyeh? Dengan autopilot Anda
tidak mungkin membesarkan bisnis semaksimal-maksimalnya.
Kata
auto atau otomatis dan pilot adalah menerbangkan ke satu arah, ya, kita
berbicara tentang menerbangkan pesawat tentu saja. Autopilot itu sendiri adalah
instrumen dalam ruang kemudi pesawat. Supaya bisa dioperasikan pesawat harus terlebih dahulu diterbangkan hingga
mencapai ketinggian tertentu dan dalam keadaan stabil. Ketika pesawat terbang secara autopilot
biasanya pilot dan co-pilot beristirahat. Ongkang-ongkang kaki.
Tetapi para anak muda yang termakan istilah bisnis autopilot tidak mau tahu metode kerjanya, maunya mereka duduk di dalam kopit dan pencet tombol autopilot-nya langsung, maka pesawatnya akan take off sendiri dan membawa mereka ke tempat tujuan yang diinginkan. Naif sekali.
Tetapi para anak muda yang termakan istilah bisnis autopilot tidak mau tahu metode kerjanya, maunya mereka duduk di dalam kopit dan pencet tombol autopilot-nya langsung, maka pesawatnya akan take off sendiri dan membawa mereka ke tempat tujuan yang diinginkan. Naif sekali.
Orangtua
juga sering melakukan kesalahan, terutama yang berduit. Mereka mendirikan
perusahaan yang tidak sanggup diusahakan sendiri dan berharap dapat dibesarkan
oleh anak-anak mereka yang sejak kecil hidup nyaman. Tetapi belajarlah dari
pengusaha sukses mana saja, mereka bekerja keras, berpikir keras, terus-menerus
melakukan inovasi. Mereka tidak langsung sukses, melainkan harus babk-belur
karena terjatuh dan bangkit kembali berulang kali.
Seharusnya
sebelum belajar autopilot kita
terlebih dahulu belajar dari para pengusaha sukses di atas Bumi ini, maka sudah
dapat dipastikan mereka semua bekerja keras di awal usahanya. Belajar saja dari
Susi Pujiastuti yang baru saja
dipekerjakan sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan dalam Kabinet Kerja
RI.
Berani bermimpi, berani bangun pagi-pagi dan bekerja keras untuk mewujudkannya. Kini bisnis Susi Pujiastuti sudah bisa autopilot. |
Hari
ini boleh jadi bisnis-bisnisnya sudah bisa autopilot,
kalau tidak akan berabe sekali harus merangkap sebagai menteri. Tapi ia memulainya dari bakul ikan. Bakul ikan
adalah sebutan untuk pengepul hasil laut tangkapan nelayan, yang dilakukan oleh
kaum wanita. Tahun 1983, berbekal Rp750.000 hasil menjual gelang keroncong,
kalung, serta cincin miliknya, Susi mengikuti jejak banyak wanita Pangandaran
sebagai bakul ikan. Tiap pagi di jam-jam tertentu, Susi nimbrung bareng yang
lain, berkerumun di TPI (tempat pelelangan ikan), menjadi peserta lelang. Ia
harus dapat menaksir cepat berapa harga jual ikan-ikan di keranjang yang sedang
ditawarkan juru lelang, memperkirakan kepada siapa ikan-ikan itu akan dijual,
dan dengan cepat memutuskan untuk membeli ikan-ikan yang dilelang itu atau
tidak.
Sungguh
bukan pekerjaan mudah bagi Susi yang masih
muda dan drop out SMA ini. (Saya baru menyimak wawancara yang dilakukan Prof.
Rhenald Kasali, ternyata Susi beralih dari jualan bed cover ke bisnis pengepulan ikan karena menikah dengan suami
yang bekerja di bidang tersebut). Di hari pertama misalnya, ia cuma berhasil
mendapatkan 1 kilogram ikan saja, pesanan sebuah resto kecil kenalannya.
Esoknya, setelah ia mulai lebih bisa meyakinkan calon pembeli, ikan yang
didapat lebih besar lagi jumlahnya. Tiga kilo, tujuh kilo… begitu seterusnya.
Tak jarang, ia juga salah taksir hingga merugi saat ikan-ikan yang dibelinya
harus dijual lagi. Bahkan, tak jarang pula pemesan ingkar, tak jadi membeli
ikan dari bakul Susi. Semua itu dinamika kerja bagi Susi, yang mesti dilalui di
bidang apa pun. Belajar dari pengalaman.
Hanya
karena Susi terjun sendiri mulai dari titik paling bawah, maka ia cepat belajar
dan menangkap peluang besar yang mungkin tidak terlihat jika ia tidur saja dan
mengaktifkan autopilot. Cuma setahun
Susi berhasil menguasai pasar Pangandaran, dan bahkan pasar Cilacap yang bisa
ditempuh dalam tempo tiga jam bermobil dari Pangandaran. Kian maju usahanya,
Susi pun mulai mengusahakan perahu untuk disewa nelayan. Hasil tangkapannya ia
beli dengan harga yang baik. Dari satu dua perahu, kini ada ratusan perahu di
Pangandaran dan Cilacap yang diakui nelayan penggunanya sebagai ‘punya Ibu
Susi’.
Karena terjun langsung, Susi menemukan ide, dan didukung oleh pengetahuan dari hasil belajar langsung, dan sudah terampil pula, maka ia mulai merambah pasar di luar Pangandaran dan sekitarnya. Sasarannya, kota besar. Bukan, bukan Bandung, apalagi Ciamis ataupun Tasikmalaya. Ia menyasar Jakarta, yang menurut perhitungan Susi penduduknya memerlukan pasokan banyak ikan. “Puluhan ton ikan segar tiap hari masuk ke Jakarta, dan selalu terserap habis! Intinya, ya, itu tadi… harus segar!” ucap Susi, yang cuma beberapa bulan saja jadi bakul, untuk kemudian meningkat jadi pengepul besar hasil laut.
Segar! Inilah kata kunci yang ditemukan Susi dalam melakoni bisnis hasil laut. Tetap, bagaimana membawa ikan ke pasar sesegar saat ikan diangkat nelayan dari laut? Sementara, ia tahu pasar besar itu ada di luar sana, berpuluh bahkan beratus kilometer jaraknya dari Pangandaran. Bagaimana hasil laut yang dikumpulkannya dari para nelayan yang menyewa perahu-perahunya, bisa sampai ke pasar dalam keadaan segar? Ia berusaha menemukan solusinya, bukan autopilot—kembali ke tempat tidur dan bermimpi sementara pesawat terdiam di hangar!
Karena terjun langsung, Susi menemukan ide, dan didukung oleh pengetahuan dari hasil belajar langsung, dan sudah terampil pula, maka ia mulai merambah pasar di luar Pangandaran dan sekitarnya. Sasarannya, kota besar. Bukan, bukan Bandung, apalagi Ciamis ataupun Tasikmalaya. Ia menyasar Jakarta, yang menurut perhitungan Susi penduduknya memerlukan pasokan banyak ikan. “Puluhan ton ikan segar tiap hari masuk ke Jakarta, dan selalu terserap habis! Intinya, ya, itu tadi… harus segar!” ucap Susi, yang cuma beberapa bulan saja jadi bakul, untuk kemudian meningkat jadi pengepul besar hasil laut.
Segar! Inilah kata kunci yang ditemukan Susi dalam melakoni bisnis hasil laut. Tetap, bagaimana membawa ikan ke pasar sesegar saat ikan diangkat nelayan dari laut? Sementara, ia tahu pasar besar itu ada di luar sana, berpuluh bahkan beratus kilometer jaraknya dari Pangandaran. Bagaimana hasil laut yang dikumpulkannya dari para nelayan yang menyewa perahu-perahunya, bisa sampai ke pasar dalam keadaan segar? Ia berusaha menemukan solusinya, bukan autopilot—kembali ke tempat tidur dan bermimpi sementara pesawat terdiam di hangar!
Kerja
keras! Kerja cepat! Belum bisa autopilot
dong! “Saya mesti bisa berpacu dengan waktu!” Nah ini dia! Solusi untuk memasok ikan ke
Jakarta dalam keadaan segar. “Saya mulai mengusahakan mobil untuk
mengangkut ikan-ikan yang berhasil saya kumpulkan,” katanya. Dari sekadar
menyewa, ia pun lantas membeli truk dengan sistem pendingin es batu, dan
membawa hasil laut ke Jakarta. Dari sekadar membawanya langsung ke pasar-pasar
di Jakarta, sampai kemudian ia menemukan pelanggan yang mau menerima langsung
ikan-ikan yang dibawa truk-truknya. Bahkan kemudian ia dipercaya oleh beberapa
pabrik sebagai pemasok tetap ikan segar untuk ekspor.
“Tiap hari, pukul 15.00, saya berangkat dari
Pangandaran. Sampai di Jakarta tengah malam. Mandi dan istirahat sebentar, lalu
balik lagi ke Pangandaran,” kata Susi tentang rutinitasnya. Bertahun-tahun
itu dilakukannya. Di mobil, sering ia tak sekadar tidur, istirahat menjaga
kesehatan, tetapi juga berpikir keras bagaimana membesarkan usahanya. Bagaimana
menerbangkan pesawatnya di atas ketinggian 30 ribu kaki yang tenang.
Karena
ia berpikir. Karena ia bekerja keras. Karena ia bekerja cepat dan karena ia
berpikir maka suara kodok pun memberinya inspirasi untuk menggapai dolar dan
yen. “Saya amati, sepanjang kawasan
Cikampek hingga Karawang itu, kalau malam selalu ramai oleh suara kodok,”
katanya. Ada banyak pencari kodok di
kawasan itu. Kodok hidup laku di pasar Glodok. Bahkan, ada orang yang ingin
membelinya untuk diekspor ke Singapura dan Hong Kong. Peluang bisnis yang tak
Susi sia-siakan. Dalam perjalanan Pangandaran-Jakarta pun ia tak pernah lupa
mampir ke sentra-sentra pengepul kodok itu, membawanya sekalian ke beberapa
pasar di Jakarta. Tak heran bila di tempat-tempat itu ia sempat juga dijuluki
‘Susi Kodok’!
Nah,
jika Anda adalah seorang pengusaha pemula yang bermimpi untuk membesarkan
bisnis Anda berkali-kali lipat, tanyakan pada diri Anda sendiri, "sudahkah aku bekerja keras dan berpikir
keras?" Saran saya, sebelum bisnis Anda stabil di tempat yang tinggi
janganlah berpikir tentang autopilot!
Comments
Post a Comment