Pohon Tua dan Suaranya Ketika Tumbang

Ahli fisika bertanya-tanya dan tidak pernah menyetujui jawabannya. Pertanyaannya adalah: Bila tidak ada seorang pun yang mendengarkan, apakah pohon tumbang di hutan masih mengeluarkan suara?

Aku bertanya-tanya: Jika aku tidak memotret pohon ini, apakah pohon ini eksis? Satu hal yang aku tahu pasti, orang lain tidak akan memandang pohon ini seperti cara aku memandangnya.  

Pohon berumur lebih dari 100 tahun yang tumbuh di UCSC, CA, USA
Dan Lao-Tzu berkata: Yang ada berasal dari tiada. Segalanya ada karena kita memberinya makna, memberi nama. Namun Lao-Tzu menegaskan: Nama yang bisa dipanggil dengan kata-kata bukanlah nama yang mulia dan absolut. Dan oleh sebab itu (barangkali), Carl Jung mengakui: Kita ini uncomprehend (tidak sempurna).
Segalanya ada karena kita dikarunia alat persepsi--yakni panca indera kita. Namun bukan berarti semua ada karena kita mampu melihat, mendengar, menghirup, mencecap dan merasakan. Orang bijak mampu memaknai persepsi tanpa menilai benar atau salah, tetapi ia bertanya: Apa yang mengarahkan aku mempersepsi perilaku orang ini kasar dan orang itu sopan? Bukankah karena aku dan orang ini memiliki persamaan nilai dan dengan orang itu nilai kami berbeda?!

Ketika ia marah, ia tidak lantas menuduh orang lain membuatnya marah, tetapi dengan kebijaksanaannya ia memeriksa batinnya: "Bagaimana perasaanku dengan adanya rasa marah ini?"  Seperti pertanyaan yang sering dilontarkan Virginia Satir: Apa yang kamu rasakan dengan perasaan marah? Atau apa yang kamu sadari dengan adanya perasaan marah?

Orang tidak bisa marah hanya karena seseorang berbicara kasar kepadanya. Demikian pula seseorang tidak bisa mencintai hanya karena ia mempersepsi ia sedang mencintai orang itu. 

Orang tersinggung dengan perilaku seseorang karena ia mempersepsi perilaku tertentu  orang tersebut buruk (cara ia berbicara sangat ketus, cara ia meletakkan barang sembrono, cara ia menatapku tajam menusuk, cara ia menepis tanganku kayak menepis taik dsb). Tetapi kita tidak bisa pula mengatakan kepadanya: "Salahmu sendiri mengapa mempersepsi demikian itu!!!" Sebab di dalam landasan pikirannya, dalam deep structure-nya (Noam Chomsky) tertanam sebuah pengalaman yang perlu dipahami jika ia ingin mengubah respon tersebut. Kita bisa bertanya dengan pola-pola linguistik: Secara spesifik bagaimana ia berbicara--, meletakkan barang--,menatap--,menepis.., dsb? 

Contoh lain: Amir mempersepsi segala perilaku dan tindak tanduk Betty soooo loveable (menyenangkan hati Amir). Karena itu, apapun yang dilakukan Betty dianggap baik oleh Amir dan Amir semakin dalam jatuh cintanya kepada Betty (respon).  Mengapa kita tidak bertanya "apa landasannya persepsi Amir? Dalam kehidupan nyata, cepat atau lambat, Betty akan melakukan sesuatu atau mengatakan sesuatu yang berada di luar landasan berpikir Amir sebagai yang menyenangkan (loveable) sehingga memicu perubahan pada cara persepsi Amir terhadap Betty, dan Amir mengeluh: "Betty sudah berubah, dia sekarang tidak lagi mencintaiku!" Jika dibiarkan hanya dengan: "Ah, Amir! Itu hanya persepsi kamu aja!" Respon Amir mulai berubah dan semakin banyak ia mempersepsi yang buruk-buruk pada diri Betty. Dan ia berpikir: Dulu Betty tidak begitu! Pertanyaan kita: Siapa yang berubah? Jawabannya: DUA-DUANYA berubah. 

Mungkin, itulah akibatnya jika dalam berelasi Betty tidak pernah bertanggung jawab terhadap respon yang diinginkannya dari Amir dan sebaliknya.  Tapi ini BUKAN SALAH AMIR BUKAN PULA SALAH BETTY. Sebagai orang yang mendengarkan keluhan Amir, kita pun tidak dapat berkata sekenanya kepada Amir: "Ah, itu hanya persepsimu!" (Ini yang mungkin dimaksud Lao-Tzu, nama yang dapat dipanggil dengan kata-kata bukanlah nama.) Jadi kita perlu bertanya kepada Amir: "Apa yang secara spesifik dilakukan Betty yang menyebabkan kamu berpendapat kalau dia tidak lagi mencintaimu?"

Tapi ya, persepsi adalah cara kita menerima dan memaknai informasi. Di dalam diri kita landasan pikiran memberi makna kepada apa yang kita alami melalui penglihatan, pendengaran, penciuman, pencecapan dan perasaan. Sebab itu orang bijaksana tahu ia harus memikirkan respon yang diharapkannya dan berusaha mendapatkannya. Bukan sekedar mengatakan hal yang sudah ada dari tiada: ITU KARENA PERSEPSImu! Jadi salahmu sendiri mempersepsi demikian!!!

Itu sikap yang egois dalam berelasi dengan orang lain. Seakan-akan meniadakan tanggung jawab diri sendiri untuk menjaga perilaku dan berusaha bertanggung jawab atas respon yang kita dapatkan. 

Akhirnya orang bijaksana juga harus belajar menunda mengomunikasikan pemaknaannya atas realita (sikap dan perilaku orang-orang di sekitarnya). Ia harus bertanya kepada dirinya sendiri: Apa yang menimbulkan PENILAIANku atas persepsi ini? Disasosiasi dari landasan pikirannya sendiri dan berdiri di posisi netral. Tanpa menilai, tanpa menghakimi. 

Pengaplikasiannya:

Amir mendengar Betty mengisi cerek di tengah hari (bukan saatnya membuat teh atau kopi) dan ia bertanya: Ngapain kamu merebus air?

Sambil meneruskan kegiatannya, Betty balik bertanya: Emangnya kenapa?

Betty mempersepsi: Cara bertanyanya penuh curiga, seperti biasa suka melarang-larang. 

Amir mempersepsi: Tatapan Betty dingin menusuk, suaranya menantang (seakan ia kalimat tak terucap: memangnya kenapa kalau aku merebus air), sikap menantang, tak peduli sekaligus seperti pesakitan (korban yang sering dicela atau dilarang). 

Solusi: 
Betty: Apa yang menyebabkan aku mempersepsi perilaku Amir seperti ini? Apa alasannya bertanya sebenarnya? Yang mana yang membuat aku merasa terganggu: persepsi atau landasan pikiranku? Menyadari perasaannya saat itu menghentikan lanjutan perasaan tidak nyaman berikutnya. 

Amir: Persepsiku negatif. Ok. Tanggung jawabku untuk menciptakan kejelasan dan mendapatkan respon yang aku harapkan, yakni basa-basi bersahabat. Maka Amir menjelaskan: "Oh, aku hanya ingin tahu saja." (Sambil mengubah intonasi menjadi lebih ceria, ringan dan senyum). 


Comments