-->
Apakah Menikah Berarti Kehilangan Kebebasan?
Pasti aku tidak bisa menjawab pertanyaan di
atas, sebab aku tidak cukup JUJUR. Entah bagaimana dengan Anda? Tapi aku
berharap Anda tidak salah memahami maksud diriku menulis artikel singkat ini
(kemungkinan di suatu hari ditulis versi panjangnya).
Memang ada beberapa peristiwa yang mendorong
diriku untuk teringat kepada nasihat ibunda aku kepada keponakan-keponakan
perempuannya. Ya, ibunda waktu itu memberikan nasihat kepada
keponakan-keponakannya, bukan kepada puteri-puterinya sendiri. Jangan bertanya
kepadaku apa sebabnya, sebab aku tidak tahu pasti. Mungkin saat itu aku masih
muda atau mungkin ibundaku berharap aku cepat-cepat menikah, syukur-syukur
dapat menantu kaya raya.
Beginilah kata ibunda: "Wahai, keponakan-keponakanku
tercinta. Puas-puaskanlah dirimu bersenang-senang sebelum kau menikah. Setelah
menikah, kau tidak lagi bebas, kau harus mengurus rumah, melayani suami dan
mertua, hamil, melahirkan dan mendapatkan amanah tambahan, mengurus anak-anakmu.
Kalau kau bepergian, kau harus memastikan rumah, suami, anak-anak, mertua sudah
terurus dengan baik. Kau harus sudah kembali ke rumah sebelum mereka
membutuhkanmu. Kau tidak bisa melakukan perjalanan keluar kota, apalagi keluar
negeri yang memakan waktu berhari-hari kecuali seluruh anggota keluarga pergi
bersamamu. Dan bila seluruh anggota keluarga pergi bersamamu, berarti kau tidak
sempat liburan, hanya memindahkan tempat kerjamu dari dalam rumah ke tempat
lain."
"Wahai keponakan-keponakanku tercinta..."
Lanjut ibundaku. "Kau akan menjadi istri yang bahagia jika di hari tuamu,
anak-anakmu sukses, putera-puteramu menjadi orang terpandang, kaya dan
berkuasa. Puteri-puterimu menjadi istri dan ibu yang baik...."
STOP! STOP! STOP!!! Aku mematikan audio dalam kepalaku
dan kembali memusatkan perhatian kepada seorang perempuan yang tampil dengan
gaya pebisnis. Teman mengobrol yang tadi mengaktifkan suara ibundaku di dalam
benak yang tak pernah diam ini. Dia tadi mengajakku ke suatu pertemuaan dan aku
tidak bisa.
"Minggu depan aku akan mengikuti meditasi
di Bali, Jeng! Jadi nggak bisa."
Dia lalu bertanya meditasi apa dan setelah aku
menjelaskan panjang lebar diakhiri dengan mengajaknya, perempuan itu berkata
sambil beranjak pergi: "Sangat menarik, Er. Aku mau sekali ikut, tapi
tujuh hari, mana bisa aku meninggalkan suamiku selama itu?!!!
"Diajak saja sekalian suamimu. Bagus
sekali kalau bisa ikut bareng seperti peserta-peserta lainnya." Kataku.
Dengan nada kecewa yang tak berhasil
disembunyikan ia menjawab: "Ah, suamiku mana mau!"
Dalam hati aku bersyukur, aku mendapatkan
kesempatan (walaupun tidak semua yang aku inginkan). Setidaknya aku bisa ke
mana saja setiap saat aku inginkan.
Kesimpulannya? Masihlah mentah. Pertanyaan yang
belum terjawab, apakah menikah membuat seseorang kehilangan kebebasan?
Aku juga teringat ibu kosku. Ketika aku masuk
di kos-kosan itu, suami ibu kos (aku memanggilnya om dan memanggil ibu kos
tante), baru saja pensiun sebagai akuntan di sebuah perusahaan peninggalan VOC.
Ia mulai mengambil alih pengurusan rumah kosnya dari tangan istrinya. Mereka berdua
sudah menikah lebih dari 40 tahun, namun jarang melakukan sesuatu bersama-sama.
Tante pagi-pagi pergi ke lapangan berolahraga Taichi, om duduk-duduk di depan
rumah dengan lembar-lembar surat kabar terpentang di depan mukanya. Aku tidak
tahu apa yang mereka lakukan di siang hari, sebab aku tidak pernah di kos
jam-jam tersebut. Setiap sore pulang kerja aku menjumpai tante di depan
televisi dengan tayangan telenovela atau sinetron. Sedangkan si om
mengutak-atik mobil tuanya di halaman depan. Aku tidak pernah melihat mereka
mengobrol.
Tidak lama setelah om mengambil alih pengurusan
kos-kosan, teman-teman kos mulai mengeluh. Mereka merasa om "jahat"
tidak seperti tante yang "baik" hati. Suatu hari aku bertengkar
dengan si om gara-gara bolam di kamarku yang mati tidak kunjung diganti.
Sebelumnya aku cukup kheki karena dituduh belum membayar uang kos, padahal
sudah aku titipkan pada tante. Aku yang bertabiat jelek mengamuk dan keluar
dari rumah kos tersebut. Dari pantauan jarak jauh, aku mengetahui rumah kosnya
mulai kehilangan peminat. Sebab om sangat pelik dan cerewet.
Beberapa tahun kemudian om meninggal dunia.
Pengurusan kos-kosan kembali di tangan tante dan kamar-kamar mulai terisi kembali.
Tante tampak lebih bahagia. Bertahun-tahun sesudahnya aku masih sering
mengunjungi tante. Umur membuatnya rapuh, tapi ia mengaku tahun-tahun tanpa om
ia merasa lebih bahagia. Untuk pertama kalinya pada usianya yang hampir
menjelang 70 tahun, tante mendapatkan kebebasan. Jangan salah paham, tante
tidak mengatakan suaminya dan keluarganya merebut kebebasannya. Tetapi,
perbandingan antara masa-masa 40 tahun dengan masa-masa menjanda itulah ia
memahami arti kebebasan mengekspresikan diri.
"Dulu tante pikir hidup tanpa om itu
menakutkan, mungkin itu namanya zona nyaman ya? Beberapa tahun terakhir ini,
tante merasakan kebebasan yang tak pernah tante rasakan sejak umur 18."
Kata tante di suatu kesempatan.
Seorang teman lain, Gadis berusia 42 tahun
hidup mapan dengan karier yang membanggakan dan aktif bersosialita. Gadis
sempat galau ketika umurnya menjelang 35 tahun. Orangtuanya panik,
saudara-saudaranya panik. Di saat orangtuanya menuntut ia cepat-cepat menikah,
Gadis menemukan kenyataan tidak semudah seperti yang diajarkan budaya:
"Setiap orang pasti punya jodohnya, berdoalah supaya cepat ketemu belahan
jiwamu." Well, Gadis sudah berdoa tanpa henti-hentinya. Gadis sudah
berusaha dan mengikuti petunjuk para suhu the secrect dan universal mind. Ia
menujukan fokusnya semata-mata menemukan pasangan hidup. Ia isi setiap
pembicaraannya dengan usaha menemukan calon suami. Waktu berlalu, tidak ada
keajaiban. Keputusasaan mulai melingkupi pikirannya dan kecantikannya memudar
cepat. Gadis bukan lagi perempuan enerjik ceria dengan dandanan modis.
Rambutnya awut-awutan, wajahnya kusut dan agak tidak nyaman dipandang. Energi
negatif telah menelan energi positifnya. Untunglah di saat seperti itu ia
menemukan NLP. Singkat cerita ia digodok hingga matang di kelas-kelas NLP Practitioner
dan Master Practitioner. Submodalities-nya yang merupakan sumber state
negatifnya diobok-obok dan limiting
beliefs-nya dihancurkan. Gadis akhirnya kembali bersinar, ceria, bergaya
dan dia bilang: "Ya, akhirnya aku menyadari tidak ada jeleknya being
single. Aku bersyukur tidak menuruti desakan orangtua untuk married dengan
mantan pacarku waktu itu. Bayangkan, keuangan aku saat itu morat-marit, gaji
habis untuk support keluarga, ayah sakit, kakak mengangur, semua itu jadi
tanggunganku, Coach. Bayangkan kalau aku menikah dengan si doi yang gajinya
hanya separuh gajiku, bukankah aku mendoublekan kesulitan?" Kata Gadis ketika
telah mencapai usia 40 tahun.
Gadis melanjutkan bercerita bahwa penyebab
stress utamanya dulu bukan disebabkan ia tak kuat melajang, tapi desakan
orangtua yang mengatakan tidak apa-apa kalau calonnya masih miskin, sebab
biasanya setelah menikah orang akan lebih rajin, bekerja lebih keras dan Tuhan
pasti akan menggandakan rejeki. Gadis tidak hendak menelan mentah-mentah nilai-nilai
tradisional tersebut, namun ia juga takut kualat atau dianggap melawan
orangtua.
-->
Barangkali pikiran bawah sadar aku ingin
berbicara kepada teman-teman yang belum menikah di usia semakin tinggi atau
memutuskan tidak menikah tapi tak sanggup membebaskan diri dari dari kegalauan:
"Jangan risau. Hidup melajang bukan nista. Hidup melajang bukan perawan
tua yang suka marah-marah dan sensi. Melajang bisa saja menyenangkan loh...,
pikirkanlah."
Comments
Post a Comment