Coach
diadopsi dari bahasa Inggris abad pertengahan yang berarti kereta dengan tempat
duduk berbantalan. Hingga hari ini kata coach masih digunakan untuk bis
penumpang, dan gerbong kereta api. Bahkan di stasiun Bogor saja masih ada papan
petunjuk yang bertuliskan Coach 1 sampai dengan Coach 9.
Namun
apa pentingnya mengetahui istilah ini secara mendalam? Idenya adalah untuk
merepresentasikan peran seorang coach yang bagaikan coach—kereta, mengantarkan
orang lain mencapai tujuan yang diinginkan. Dengan demikian coach dan coachee
atau client bersama-sama mencapai tujuannya masing-masing. Coach melakukan
tugasnya mengantarkan dengan selamat, sedangkan coachee tiba di tempat yang
diinginkannya.
Sudah
berpuluh-puluh tahun para pelatih atlet menyadari tidak cukup hanya melatih
fisik para atlet, Dibutuhkan juga penggemblengan mental. Tapi para pelatih
masih menekankan peningkatan tekanan pelatihan fisik dengan tujuan menggembleng
mental. Perkembangan pengetahuan tentang kekuatan pikiran dan pemahaman
hubungan tubuh dan pikiranlah yang akhirnya menimbulkan kesadaran kalau
pendekatan mereka keliru. Pelatihan fisik dan mental menjadi satu-kesatuan yang
tak terpisahkan dengan menggunakan suatu program yang terintegrasi. Sejak
1970an pelatihan atlet tidak lagi semata-mata ditargetkan pada pelatihan fisik,
dan pelatihan mental kemudian berkembang menjadi pelatihan yang penting.
Penanda perkembangan ini antara lain dipelopori W. Timothy Gallwey dengan
bukunya The Inner Game of Tennis (1974)
Pada
dekade 1980an John Whitmore mengenalkan coaching ke dalam dunia manajemen dan
sekitar 10 tahun sesudahnya (1992) menerbitkan buku Coaching for Performance:
GROWing People, Performance and Purpose dan mengenalkan GROW model ciptaannya.
Seperti
ia tulis pada pendahuluan bukunya: “Coaching has been a buzzword sometime now
in business circle.” GROW model kemudia berkembang sangat luas dan popular,
hampir semua coach menggunakannya. Walaupun demikian hingga edisi ketiga bukunya,
Whitmore yang meninggal dunia April 2017 ini merasa risau bahwa coaching dipresentasikan
dan dipersepsi secara salah atau tidak dipraktikkan secara layak oleh para
manajer (bos) di dunia kerja. Namun coaching terus bertumbuh juga ditandai
dengan semakin banyak bermunculan professional coaches dan segmen pasar semakin
banyak seperti executive coaching, business coaching, career coaching dan
sebagainya.
Sekali
lagi pada seperti halnya di Indonesia dewasa ini, keprihatian Whitmore masih
berlaku, sebab belum banyak manager (atasan terlepas apapun jabatannya yang
memiliki satu atau lebih bawahan) mau berpindah dari kebiasaan—Whitmore
menyebutnya ujung spectrum memberi instruksi ke ujung spectrum melatih.
Comments
Post a Comment