Beberapa
hari yang lalu saya berbincang-bincang dengan seorang teman. Ia bercerita
tentang saudaranya yang menderita kanker payudara. Katanya saudaranya sering
mengeluh dan bertanya: "Apa dosaku
ya sehingga Tuhan menghukum aku dengan penyakit ini?"
Agak
kaget juga mendengar kutipan kalimat di atas dan diingatkan akan masa
kanak-kanak pernah dikelilingi beberapa anggota keluarga yang menderita
berbagai macam penyakit seperti asma, malaria, pencernaan dan pendarahan. Bila
penyakitnya kumat sering mengeluh seperti itu: Apa dosaku, mengapa menghukumku dengan penyakit ini? Mengapa tidak
cabut saja nyawaku? Sebagai kanak-kanak saya merasa bingung. Ketika dewasa,
saya sangat takut ketika mengalami gangguan kesehatan seperti flu, demam dan
batuk. Saya paling merasa menderita ketika mengalami muntaber. Barangkali
karena kurangnya pemahaman setiap kali sakit ibu saya mengharuskan saya diet
daging, ikan laut, dan gorengan. Tanpa disadari diet extreme memperlambat proses penyembuhan dan setelah sembuh
terasa lemas karena malnutrisi. Selain diet ekstrim saya juga biasanya
dikarantina, tidak boleh kena angin apalagi hujan, dan dijauhkan dari orang
yang sedang hamil, orang yang sedang berkabung dan orang yang baru pulang dari
pemakaman.Google image |
Tentu saja setelah dewasa saya tidak lagi memercayai nonsenses seperti itu, tapi tetap saja sangat tidak nyaman bilamana salah-satu anggota keluarga sakit. Dan bila yang sakit itu saya sendiri, saya merasa sangat menyesal. Untungnya saya tidak pernah mempertanyakan kenapa Tuhan menghukum saya dengan penyakit, sebab saya tahu hal itu tidak benar. Tapi tetap saja secara tidak sadar saya 'mengundang' batuk dan influensa untuk mengganggu tubuh saya setiap musim hujan berlangsung. Biasanya batuk disertai atau tanpa temannya si pilek ini bisa bertahan lebih dari sebulan, bahkan 100 hari atau sekitar 3 bulan. Saya pun percaya saja dan memberinya nama 'batuk seratus hari' tanpa sadar bila menamakan berarti mengamini dan menginstruksi tubuh untuk sembuh setelah 100 hari. Sebenarnya saya jarang mengalami gangguan kesehatan selain batuk tahunan tadi, namun setiap kali sakit ringan, saya berpikir bahwa untuk sembuh dan benar-benar pulih harus memakan waktu dan pantang ini itu.
Untunglah
akhirnya saya belajar dari seorang guru NLP yang luar biasa—Robert Dilts, yang
mengembangkan NLP Next Generation. Jika pada generasi pertama NLP fokus
perhatian diarahkan pada pikiran (mind),
dan generasi kedua mulai memperhatikan pikiran dan tubuh sebagai satu kesatuan
sistemik, maka next generation sudah
memasukkan field mind sebagai bentuk
energi yang dihasilkan oleh kolaborasi pikiran dan tubuh. Field mind bukan sekedar beliefs
system (sistem keyakinan-keyakinan) kita, tetapi bagaimana ia memengaruhi
pikiran, tubuh dan jiwa untuk menghasilkan sinergi-sinergi.
Sejak
2010 saya mempraktikkan pengetahuan NLP Next Generation setiap ada kesempatan.
Saya harus percaya bukan sekedar tahu kalau jiwa, pikiran dan tubuh saling
memengaruhi. Saya harus percaya kalau pikiran dapat berbicara kepada setiap
dari triliunan sel tubuh. Saya tidak lagi mengabaikan dan menerima begitu saja kalau
ujung jari tertusuk peniti sakitnya dapat dirasakan oleh seluruh tubuh sebagai
fakta, tapi saya memahami maksud-maksud mulia di baliknya. Contonya suatu hari
karena terburu-buru, jari telunjuk saya terjepit pintu mobil, kuku saya menjadi
merah kehitaman karena pecahnya pembuluh-pembuluh darah. Saat itu saya harus
segera naik pesawat dan tidak ada waktu untuk merasakan sakitnya. Teringat akan
filosofi pikiran dan tubuh, saya segera menenangkan pikiran dan berbicara
kepada bagian tubuh saya yang sedang menderita. Saya ceroboh, maka dengan
lembut dan tulus saya minta maaf kepada ujung telunjuk dan meminta bantuannya
untuk mendukung saya beraktivitas hari itu. Jiwa saya memuji Tuhan yang telah
menciptakan pikiran dan tubuh sebagai sistem yang maha sempurna. Ajaib, ujung
jari saya merespon secepat satu helaan nafas! Sakitnya sirna, pendarahannya
berhenti. Walaupun tampaknya seperti hal sepele, tapi saya mendapatkan pijakan
untuk mempraktikkan pengetahuan ini lebih lanjut.
Saya
pernah menderita migraine selama lebih dari 25 tahun dan sembuh ketika saya
mulai mempraktikkan NLP dan melakukan modeling bagian kanan kepala yang tidak
sakit setiap kali bagian kiri menderita. Setelah mengulang beberapa kali akhirnya
sembuh total. Tapi bila sekali-kali gejala sakit kepala muncul (dan biasanya
tidak parah, hanya samar-samar) saya menghargai kalau tubuh saya sedang meminta
waktu untuk memulihkan diri dari kelelahan. Pikiran saya mengucapkan terima kasih dan jiwa saya
bersyukur. Istirahat sejenak, dengan memejamkan mata sambil mengatur nafas,
kepala saya pulih.
Migraine
mungkin bukan gangguan kesehatan yang serius bagi kebanyakan orang. Mereka
terbiasa menelan pil penahan sakit setiap kali gejala itu muncul. Tapi teknik
dan pendekatan yang sama saya terapkan pula ketika tekanan darah saya menanjak
dari skala 120/70 menjadi 140/80. Ketika kolesterol saya juga mulai abnormal
dan gula darah melonjak hingga ambang berbahaya. Saya tidak pernah merasa marah
atau kecewa apalagi menuduh Tuhan. Sebaliknya saya bersyukur karena saya diberi
kesempatan menimba pengetahuan luar biasa ini. Saya pernah mendengar seorang
teman mengekspresikan kesulitan 'meminta' lidah berhenti menikmati
makanan-makanan lezat nan gurih agar jantung, pankreas, lambung, ginjal dan
organ-organ lain dapat hidup sehat. Sesungguhnya lidah tidak pernah menuntut,
bila jiwa mensyukuri makanan minuman yang kita masukkan ke dalam rongga mulut,
nikmatnya sungguh berlipat ganda. Pikiran akan secara bijaksana menolak makanan
yang tidak menyehatkan atau makan berlebihan dan tubuh pun akan bekerja sama.
Migraine,
tekanan darah tinggi, kolesterol dan gula darah mungkin tidak kritis bagi
sebagian orang, tetapi kanker pun sebenarnya dapat disembuhkan dengan kolaborasi
trio ini (yang saya sebut Tritunggal). Tapi pertama-tama kita harus dapat
menerima penyakit yang diderita sebagai: bagian tubuh—pikiran—jiwa dan memahami
pesan atau panggilannya. Kanker, misalnya juga merupakan part (bagian) dari tubuh, dan karena itu ia harus diterima sebagai
kawan, bukannya musuh. Dari berbagai hasil penelitian kita mengetahui bahwa
kanker adalah sel-sel tubuh yang berubah secara kimiawi dan sifatnya menjadi
'ganas'. Kanker bukan benda asing yang masuk ke dalam tubuh seperti halnya virus
atau kuman. Kalau begitu, maka dapat dipastikan perubahan sifatnya terjadi
karena pengaruh dua dari trio. Jiwa yang penuh gejolak dan pikiran yang penuh
konflik. Seandainya penderita mampu menenangkan jiwa dan pikirannya kemudian
merangkul sel-sel yang membelot mesra, penuh kasih sayang dan jiwanya pasrah,
sangat besar kemungkinannya mereka akan 'pulang' dan sekali lagi trio hidup
rukun serta bersinergi.
Kisah
Ibunda Robert Dilts
Akan
hal ini saya sekali lagi mengutip Robert Dilts tentang kisah ibunya yang
berhasil menenangkan sel-sel tubuhnya yang sempat berubah menjadi kanker
stadium terakhir.
Tujuh tahun sebelumnya (1982), ibu saya
menghadapi masa transisi dalam hidupnya. Adik saya, putra bungsunya
meninggalkan rumah dan ibu harus merasakan akibat dan arti kepergiannya. Kantor
pengacara di mana ayah bekerja mengalami perpecahan dan tiba-tiba ayah berganti
haluan, dari pengacara menjadi pebisnis, dan perubahan mendadak ini tentu saja
membawa dampak bagi ibu. Hampir bersamaan, dapur ibu, tempat spesial dirinya,
tempat di mana ia dapat merasa menjadi dirinya, ludes terbakar dan membuatnya
merasa frustrasi serta marah. Di atas itu semua, sebagai perawat ibu bekerja
siang malam kepada beberapa orang dokter. Tak dapat disangkal lagi, ia sangat
membutuhkan liburan yang tidak mudah diperolehnya.
Di tengah masa transisi yang menimbulkan
stres tinggi itu, kanker payudara ibu kambuh berkali-kali dan mengalami
penyebaran hingga ke tempurung kepala, tulang belakang, tulang-tulung rusuk, dan
tulang panggul. Beberapa dokter memberikan diagnosa ‘tanpa harapan’ dan pada
dasarnya hanya berupaya agar ibu tidak usah terlalu menderita. Ibu memutuskan untuk mengabaikan semua
diagnosa tersebut, dan tidak mau melakukan kemoterapi, radiasi atau terapi
lainnya selain mengubah sistem keyakinan dan mengurai konflik internal.
Saya dan ibu bekerja bersama untuk mengubah
berbagai sistem keyakinan-keyakinan lama. Saya menggunakan segala NLP’s tools
yang saya tahu untuk membantu proses perubahan itu. Proses itu berlangsung
terus-menerus dan hanya terhenti ketika ibu sedang makan atau tidur.
Sekarang (1990) ibu sudah sembuh total dan
menikmati hidupnya. Ia berenang satu setengah mil beberapa kali seminggu.
Melakukan perjalanan ke Eropa dan muncul di iklan-iklan TV. (Beliefs,
Pathway to Helath & Well-Being, 1990).
Parts
Integration
Parts Integration (integrasi
bagian-bagian) adalah satu dari banyak variasi NLP’s tools yang melintas di
benak saya saat mendengarkan teman saya menuturkan keadaan saudaranya. Sebuah
metode yang sederhana dalam arti kata mudah dipelajari dan dipraktikkan. Saya
berpikir: “Mengapa tidak menggunakan tool
ini dan memahami sel-sel yang sakit?”
Tampaknya
terlalu sederhana? Saya terus berpikir dan ingat dengan metode yang diajarkan
oleh Joyce Whiteley Hawkes, Ph.D., dalam bukunya Miracle of Cell Healing.
Lalu
part sehat mana yang dapat disinergikan dengan sel-sel yang sedang menderita?
Setelah berpikir sambil berbicara (mungkin salah-satu kelebihan saya), saya
menyimpulkan bahwa part (bagian) yang
dimaksud mestinya anggota Trio Canggih lainnya, yakni pikiran dan jiwa si
penderita.
Parts
Integration seperti halnya NLP’s tools lainnya terdiri dari empat tahap
utama. Yang pertama adalah penetapan tujuan dan merancang well-formed outcome dari tujuan. Contoh: Tujuan: Ingin sel-sel di
bagian tubuh tertentu pulih. Sel-sel yang sedang mengamuk itu umum disebut kanker
dan saya menganjurkan kita menamainya dengan penuh respek) dan well-formed outcome dapat mengakses
secara inderawi diri yang sehat bugar.
Tahap
kedua menyadari (menemukan) bagian-bagian yang sedang mengalami konflik lalu
mengajak masing-masing bagian berkomunikasi. Setelah bagian-bagian tersebut
bersedia berkomunikasi (kita menyadari hal ini secara intuisi dan lebih mudah dilakukan
dalam keadaan trance), memberi
apresiasi tulus serta menanyakan apa positive
intention (maksud atau niat positif) dari masing-masing bagian tersebut.
Maksud positif ini digali satu persatu dan di-chunking up hingga mendapatkan yang paling penting.
Tahap
ketiga adalah memindahkan secara simbolis (dengan pikiran) masing-masing bagian
ke atas sepasang punggung tangan supaya mudah membuat simbolisasi pe-sinergiaan
positive intention dari kedua bagian
yang terungkap tadi (tahap kedua), yaitu dengan menempatkan telapak tangan di
atas punggung tangan lainnya dan ditempelkan keduanya ke atas dada. Dalam
proses sinergi kedua positive intentions,
simbol-simbol spiritual dapat muncul dan pengalaman menyejukkan jiwa yang luar
biasa terjadi.
Sebagai
contoh; ibunda Robert Dilts di satu pihak merasa sedih karena putra bungsunya
meninggalkan rumah. Di pihak lain ia merasionalisasi bahwa hal itu baik bagi
putranya. Setelah digali pada tahap kedua, positive
intention “sedih” yang dapat diasosiasikan dengan sebuah tempat di dada
adalah “kasih sayang kepada putranya”. Sedangkan bagian lain yang tadinya
merasionalisasikan sebagai “baik untuk meninggalkan rumah” juga kasih sayang,
yang dapat diasosiasikan pula dengan suatu tempat di kepala (contoh saja).
Sekarang bagian dada dan bagian kepala yang sebelumnya telah dibayangkan pindah
ke atas punggung-punggung tangan ditangkupkan di atas dada.
Setelah
terjadi integrasi, maka bagian terakhir adalah menguji efeknya, dalam contoh
yang sama: Apa yang keyakinan baru ibunda Robert Dilts terhadap tindakan
putranya meninggalkan rumah? Jika keyakinan baru yang melahirkan wisdom baru muncul, maka anggota Trio
Canggih yakni pikiran dan jiwa siap berbicara kepada sel-sel kanker di
tubuhnya.
Ketika
saya baca ulang bukunya Hawkes yang saya sebutkan tadi, berbicara kepada
sel-sel yang sedang sakit itu diterapkan dalam langkah-langkah meditasi, dan visualisasi
untuk menjangkau sel-sel tersebut. Hawkes menyarankan agar sebelum memulai
“jembatan” penyembuhan ini terlebih dahulu memahami kanker sebagai:
1. Sel-sel
kanker adalah sel-sel yang tidak normal atau diakibatkan pembelahan diri yang
terlalu cepat di dalam tubuh.
2.
Sel-sel kanker adalah sel-sel yang tidak
memiliki enzim pengatur—yang disebut p53 atau pengatur jadwal pembelahan sel.
Untuk
melakukan terapi dengan meditasi ini, saya sarankan pembaca yang berkepentingan
membaca buku Miracle of Cell Healing dan buku-buku lainnya serta mendapatkan
bimbingan ahli. Untuk mencapai hidup
yang lebih sehat, maka keharmonisan hubungan Trio Canggih sangatlah penting.
Setiap kali bernafas tariklah keseimbangan dan setiap kali menghembuskannya
ingatlah keselarasan.
Salah satu
penyembuhan melalui meditasi yang saya tahu adalah Bapak Merta
Ade Tejena, Anda dapat mengakses lebih banyak informasi melalui websitenya www.baliusada.com.
Comments
Post a Comment